LUDUS & PRAGMA

37. Teman Adalah Pengkhianat Yang Tertunda.



37. Teman Adalah Pengkhianat Yang Tertunda.

0Semua penghuni ruangan diam saling melempar tatap satu sama lain kala yang ditunggu-tunggu batang hidungnya tak kunjung menampakkan diri. Lima belas menit kiranya setelah jam istirahat kedua berbunyi menandakan bahwa tengah hari datang dan waktunya mengisi perut dengan menyantap hidangan makan siang yang disediakan di dalam kantin. Untuk para anggota tim basket, siang menyapa artinya waktu latihan dimulai. Sesuai perjanjian yang sudah disepakati bersama, bahwa setelah bel kedua berbunyi nyaring memekak di kedua lubang telinga dengan toleransi keterlambatan 15 menit lamanya, semua harus sudah berkumpul dalam ruang basket. Jika ingin ijin, serahkan surat ijin pada guru BK atau guru yang bertugas untuk menandakan bahwa ijin yang diambil bukanlah sebab malas atau sudah bosan berlatih di bawah teriknya sinar mentari yang membakar kulit.     
0

Arka—remaja yang membuat latihan terhambat siang ini hanya mengirimi salah satu dari mereka pesan singkat yang membawa informasi mengenai ketidakhadirannya hari ini sebab satu masalah besar yang sedang dihadapinya. Selebih dari itu, tak ada! Tak ada kabar lagi perihal remaja jangkung bertubuh atletis dengan otot pepak yang menghiasi kedua lengannya itu. Tak banyak meninggalkan jejak dan kini, nomor ponselnya sedang tidak aktif.     

"Kita latihan tanpa Arka?" tanya seseorang pada Adam yang masih diam sembari terus menatap lurus ke depan. Raganya memang ada di sana, namun hati dan pikirannya pergi entah ke mana tempatnya. Dari pagi hingga jam makan siang ia tak melihat perawakan tubuh gadis yang diidam-idamkannya sekarang ini. Davira Faranisa.     

"Dam!" panggilnya tegas. Membuyarkan lamunan remaja yang kini dipaksa untuk memindah sorot matanya menatap si teman sebaya yang baru saja menghela napasnya kasar.     

"Apa gak usah latihan aja?" imbuhnya melirih. Keadaan seakan tak mengijinkan mereka melaksanakan tugas sebelum perang besar dimulai beberapa hari lagi. Membawa nama sekolah juga nama mereka sebagai tim basket muda berbakat antar provinsi.     

"Kalian ganti baju dulu aja, gue mau ke kamar mandi." Adam kini menyela. Menepuk kasar pundak temannya itu kemudian berlalu pergi meninggalkan ruangan. Semua yang mendengar perintah dari kaptennya diam sejenak kemudian saling melempar tatapan satu sama lain. Arka hilang bak ditelan bumi tiada lagi kabar yang bisa memastikan bahwa remaja jangkung itu masih dalam keadaan baik-baik saja hari ini. Sekarang? Adam —si kapten basket sedang tak fokus dengan apa yang ada di depannya. Entah apa yang masuk dan menganggu pikiran remaja berponi belah tengah itu. Namun, dalam tebakkan semua orang yang ada di ruangan Adam tak benar pergi ke toilet, pasti remaja itu mampir ke suatu tempat sebelum dinyatakan kembali dan 'bermain' bersama timnya.     

***LnP***     

Langkah kaki jenjang itu kini tegas menyusuri lorong demi lorong yang sedikit ramai sebab jam istirahat masih berlangsung saat ini. Remaja yang memfokuskan tatapannya ke jalanan di depannya itu terus saja mengabaikan lirikan bahkan bisikan kaum hawa yang mengatakan dengan samar terdengar di kedua lubang telinganya bahwa mereka sedang mengagumi ketampanan remaja yang jikalau dilihat dari jarak yang lebih dekat, tampannya pun lebih dari kata normal. Jika bisa diresepkan, maka semua kaum hawa ingin meminta pada remaja itu mengenai yang diberikan sang ibu dan ayahnya untuk bisa membuatnya benar-benar tampan dengan fisik yang mumpuni meskipun peringainya terkadang sedikit brengsek. Akan tetapi, brengsek pun tak mengapa yang terpenting fisik dan paras sudah mendekati sempurna!     

Adam memelankan langkahnya kala pintu ruangan kelas Arka terekam jelas oleh kedua lensanya. Membuatnya sedikit ragu, haruskah ia melakukannya? Datang ke ruang kelas Arka untuk memastikan bahwa hari ini Arka murni tak datang sebab memang benar ada sebuah masalah besar yang menimpa teman basketnya itu. Cara memastikannya sangat sederhana, jikalau Davira ada di dalam kelas maka bisa disimpulkan bahwa partner berjuangnya itu tak sedang dusta. Namun, jikalau Davira tak ada ... dusta adalah jawaban dari semua pertanyaannya pasal 'hengkangnya' Arka dari sekolah selama satu hari ini.     

Adam kini benar-benar menghentikan langkahnya kala tubuhnya sudah berada di depan ambang pintu. Mencoba untuk memastikan bahwa yang dicarinya ada di dalam. Akan tetapi terlalu banyak tubuh yang menghalangi tatapannya saat ini. Membuat remaja jangkung dengan sepasang kaki jenjang itu mau tak mau harus sedikit berjalan lebih dekat lagi dengan ambang pintu.     

"Cari Arka?" sela seseorang membuyarkan fokus Adam. Membuat remaja itu mau tak mau harus menoleh dan memberi tatapan pada gadis cantik dengan tubuh tak semampai tapi juga tak krempeng tipis bak kertas yang sering digunakannya untuk menulis. Matanya monoliod dan bibirnya tipis berwarna merah muda. Rambutnya tergerai panjang melewati batas telinga dan jatuh tepat di atas dadanya.     

"Arka gak masuk?" tanyannya lirih.     

Gadis itu menyeringai. Menghela napasnya kasar sesaat setelah pertanyaan itu terdengar jelas di kedua lubang telinganya.     

"Sepertinya enggak," imbuh Adam tersenyum kaku.     

"Mereka mengkhianatiku!" katanya tegas kemudian. Sejenak melirik Adam yang baru saja tegas menuatkan kedua alis hitam legam dan mengerutkan keningnnya samar sebab kalimat ambigu yang diucapkan oleh gadis sebaya dengannya itu. Adam diam sejenak. Melirik nametage yang sebagian tertutup oleh rambut pekat gadis itu. Matanya menelisik. Seiring dengan bibirnya yang lirih berucap. Nama gadis itu ... Adam kini mengingatnya! Davina Fradella. Gadis yang sama yang menegurnya juga mengajaknya berfoto beberapa hari yang lalu.     

"Mereka?" tanya Adam memastikan. Sorot lensa Davina kini kembali pada Adam. Sejenak menatap paras tampan yang sumpah demi apapun, itu sangat tampan tak kurang apapun!     

"Davira dan Arka," jawabnya singkat.     

Adam kini semakin antusias mendengarkan dalam diam setelah nama Davira disebut tegas oleh celah bibir tipis milik Davina.     

"Davira yang selalu sama kamu itu?" tanyannya bebasa-basi. Persetanan brengsek memang Adam itu, kalau masalah berpura-pura dan berdusta dialah juaranya.     

"Hm, mereka bolos barengan kayaknya," sambung Davina melirih. Tubuh tegangnya kini melemas. Lesu sebab mendapati satu fakta bahwa dirinya dikhianati oleh dua sahabat dekatnya sekarang ini.     

"Davira sama Arka bolos?"     

"Davira pernah cerita kalau hari ini mamanya akan pergi. Jadi dia bikin surat ijin buat nganter mamanya. Tapi, kemaren dia kabari aku ... katanya mamanya pergi sendiri dan surat terlanjur masuk meja BK," terang Davina menjelaskan.     

"Kamu yakin Arka bolos sama Dav—"     

"100 persen yakin!" selanya tegas. Menatap Adam yang kini mulai tak acuh setelah membuang tatapannya ke samping. Mendengus kesal sesaat setelah dirinya merespon dengan jawaban tegas tak bisa dibantah lagi.     

Ekspresi wajah kesal bercampur marah yang dilukiskan seorang Adam Liandra Kin saat ini, entah ditujukan untuk siapa. Untuk rekannya yang membolos tiba-tiba dan mengacaukan acara latihan mereka hari ini? Atau untuk gadis bernama Davira yang jujur saja, jikalau memang benar itu jawabannya, Davina tak akan pernah paham mengapa Adam kesal sebab Davira yang membolos hari ini? Juga ada satu kemungkinan lain yang masih berhubungan dengan marah dan kesalnya Adam, fakta bahwa Davira juga Arka yang membolos dan menghabiskan waktu bersama seharian tanpa ada yang menganggu mereka adalah hal mengejutkan yang mampu membuat raut wajah tampannya berubah. Mungkinkah sebab itu? Jika memang sebab fakta yang terakhirlah yang mendorong Adam melukiskan jenis wajah macam itu, maka bisa dikatakan dengan tegas nan jelas bahwa Adam sedang mencemburi Davira yang sedang bersama Arka Aditya. Lalu, pada akhirnya Davina akan paham satu hal baru bahwa Adam menyukai Davira.     

***LnP***     

Adam menatap pantulan bola basket di depannya yang tak sukses masuk ke dalam ring sebab remaja berkaos biru tua dengan celana pendek yang menyelimuti separuh kakinya itu melemparnya asal. Permainan selesai. Tim Adam kalah dalam latihan kali ini. Meskipun kalimat yang diucapkan oleh Davina sudah beberapa jam yang lalu, namun perasaannya masih sama. Was-was, marah, gundah, dan gelisah menjadi satu saat ini. Seakan Arka sudah diam-diam mengkhianati dan menusuknya dari belakang dengan bermain bersama gadis yang dicintai Adam.     

Remaja itu kini duduk di tengah lapangan. Fokus mendengar suara bel pulang nyaring berbunyi dan beberapa menit kemudian semua anak berhamburan keluar. Merubah suasan sepi nan damai menjadi riuh bergemuruh sebab bahagia rasanya jikalau jam pulang datang menyapa.     

"Gak tiduran di situ sekalian?" tanya seseorang membuat kepala Adam menoleh sedikit mendongak untuk menatap gadis yang kini mengambil langkah maju dan ikut duduk di sisi Adam.     

"Aku gak lihat Arka," sahutnya kemudian.     

Adam kembali menghela napasnya. "Dia bolos," sahut Adam kemudian.     

"Tumben." Suara lirih nan lembut kini kembali terdengar.     

Adam mengangkat dua sisi bahu lebarnya. Melirik sekilas gadis cantik berwajah orinental di sisinya itu—Kayla Jovanka.     

"Gue kayaknya gak bisa lihat lo tanding nantinya. Jadi aku lihat latihannya aja terus," kekehnya sesaat setelah hening sejenak membentang.     

Adam kembali menoleh. "Kenapa? Lo gak suka pertandingan basket?     

Gadis di sisinya diam sejenenak. Menggeleng ringan kemudian terkekeh kecil. "Keluarga gue mau ngajak pergi."     

Adam mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Kembali mengembangkan senyum manis di atas paras tampannya.     

"Kayla," panggilnya lirih kemudian. Gadis di sisinya lagi-lagi dipaksa untuk menoleh dan memberi tatapannya pada Adam. Melipat keningnya samar sesaat setelah remaja itu kembali diam sembari memfokuskan tatapannya pada bola basket yang sudah berhenti pantulannya.     

"Kalau Lo lagi was-was dan khawatir juga curiga, biasanya lo ngapain?" tanya Adam tegas.     

Kayla terkekeh kecil. Pertanyaan Adam kali ini sedikit aneh.     

"Lo lagi ngrasain itu dari tadi? Karena itu lo jadi duduk di tengah lapangan dan ngeliatin bola basket kayak orang gila?" kekehnya kemudian tertawa lepas.     

Adam ikut tertawa kecil nan singkat. Jujur saja, dalam masa pubernya dengan mendekati banyak gadis-gadis cantik, ia tak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Baginya, cinta adalah arena permainan yang menyenangkan. Kau beruntung maka kau akan mendapatkan pasangan yang tepat, namun jika kau belum beruntung maka sakit hati dan rela melepas pergi adalah jawabannya.     

"Gue bakalan memastikan apa yang bikin gue khawatir," tukasnya menjawab singkat.     

Adam menoleh. Ah benar, memastikan! Itulah yang harus dilakukannya saat ini.     

"Gue cabut dulu!" ucapnya tegas kemudian beranjak dan meninggalkan Kayla yang masih mematung sebab aktivitas dan keputusan Adam yang tiba-tiba meninggalkannya begitu saja.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.