LUDUS & PRAGMA

106. Teman untuk Rena



106. Teman untuk Rena

0Davira memilih pergi. Mendengar pertengkaran yang terus saja terjadi di antara sang sahabat dengan Adam Liandra Kin benar-benar membuat dirinya muak kali ini. Ia tak tahu, sebenarnya apa yang salah dari sistem dan pola cara berpikir seorang Adam Liandra Kin dan Arka Aditya. Karena dirinya? Hanya sebab Davira mereka saling melukai fisik dan perasaan dengan kata-kata pedas nan menyakitkan?     
0

"Davira Faranisa?" Lagi! Seseorang menyela langkah gadis yang kini terpaksa kembali terhenti sebab satu panggilan lirih dari suara yang terdengar begitu asing untuknya.     

Ia menoleh. Menatap paras seorang gadis dengan riasan sedikit mencolok kalau sinar sang surya atau cahaya lampu memamar tegas permukaan paras cantiknya. Tubuhnya tinggi semampai. Dengan kaki jenjang yang indah mendukung penampilan sempurna miliknya. Rambutnya panjang tergerai tanpa poni dengan satu jepit rambut kecil yang menahan sisi kiri rambutnya agar tak turun melalui batas telinganya yang sedikit cuping. Parasnya memang cantik, namun sedikit asing untuk Davira Faranisa.     

"Itu nama kamu 'kan?" tanyannya mengimbuhkan. Berhenti tepat di depan gadis yang kini hanya mengangguk sembari terus menyentralkan fokus menatap paras gadis di depannya.     

"Kekasih baru Adam Liandra Kin?"     

Davira membulatkan matanya sejenak. Terdiam mengunci rapat bibirnya kemudian menghela napasnya kasar kala mulai menyadari satu hal yang pasti terjadi di sini. Gadis cantik di depannya itu adalah si mantan teman dekat atau bahkan mantan kekasih gelap seorang Adam Liandra Kin. Datang menemui Davira sebab rasa tak suka dan tak bisa menerima karena Adam memutuskannya secara sepihak. Tunggu jikalau diingat dengan benar, Davira pernah melihat paras cantik miliknya. Namun dengan penampilan yang sedikit lain.     

Pasar malam! Gadis di depannya itu adalah si teman yang menemani Adam datang ke pasar malam kala itu. Menjadi si cantik nan seksi bertubuh semampai yang sukses membuat Davira mengira bahwa Adam adalah remaja brengsek yang suka mengencani gadis berbeda dalam satu malam yang sama.     

"Aku bukan pacarnya Adam." Davira menyahut dengan nada tegas.     

"Alasan Adam memutuskan hubungan kita karena dia menyukai gadis lain, itu pasti kamu 'kan?"     

"Kakak yakin? Maksudku ... Adam itu sedikit brengsek. Dia gak hanya mengencani satu gadis dalam satu malam. Kakak udah memastikan?" kekeh Davira menjawab dengan nada meremehkan. Bukannya tak ada sopan-santun, ia hanya tak suka saja. Tak suka akan kehadiran gadis aneh yang tiba-tiba saja menyela langkah dan menanyainya pasal hal-hal aneh nan menyebalkan seperti sekarang ini.     

"Kamu meremehkan aku? Kenapa dengan nada bicaramu? Hei! Kamu itu junior di sini, bukankah sopan santun adalah kewajibanmu?" Lalita —gadis berambut panjang tergerai— kini mempertegas setiap kalimat yang diucapnya. Memberi tatapan tajam pada sang gadis sembari mengambil langkah maju untuk mendekat pada Davira.     

"Kakak mencoba mengintimidasi aku?" Davira kembali tertawa kecil nan singkat di bagian akhir kalimatnya. Ikut memberi tatapan tajam membalas apa yang diberikan Lalita untuknya.     

"Dasar gadis gak tau—"     

"Selain suka menyiksaku, kakak juga suka menyiksa junior kakak di sini?" Sebuah suara tegas menyita perhatian seluruh orang yang ada di sekitarnya. Membuat banyak pasang mata kini mengarah pada gadis berambut pendek yang menggantung di bawah telinganya yang sudah berani menyela obrolan singkat Lalita juga Davira Faranisa.     

"Kamu?! Ngapain kamu—"     

"Aku pindah ke sini," sahutnya menyodorkan beberapa kertas yang ada di dalam genggamannya. Tersenyum picik pada sang kakak yang sejenak mengubah arah tatapannya menatap kertas yang disodorkan padanya oleh sang adik.     

Lalita tak acuh. Enggan menerima sodoran dari sang adik dan kembali menatap Davira yang diam mematung sebab baru pertama kali ini, Davira mengetahui cara interkasi antara Lalita juga Rena. Menyiksa? Benarkah Lalita sekejam itu pada sang adik?     

"Mau Adam pergi ke siapa, itu bukan jadi urusan kakak. Jadi jangan—"     

Lalita menoleh. Menatap sang adik yang kini menghentikan kalimatnya sebab tatapan tajam dari sang kakak. Kini seluruh pasang mata tertuju pada mereka. Tiga orang gadis yang saling pandang satu sama lain sebab situasi aneh yang sedang terjadi saat ini.     

"Ikut kakak," tegasnya berucap. Menarik tangan sang adik dan berjalan menjauh dari kerumunan orang masih terus menatap kepergiaan mereka berdua saat ini. Meninggalkan Davira Faranisa yang masih mematung dalam diam untuk memahami situasi yang sedang terjadi padanya. Perihal hubungan Rena dan sang kakak, benarkah mereka adalah saudara kandung satu ayah dan satu ibu? Ataukah darah yang mengalir dalam diri mereka itu tak sama sebab orang tua yang berbeda? Davira rasa tidak! Meskipun tak identik seperti Adam Liandra Kin dan Raffardhan Mahariputra Kin, namun setidaknya dalam lukis wajah milik Rena Rahmawati ada semburat kecantikan sang kakak. Begitu juga sebaliknya. Jadi, Davira rasa mereka adalah saudara kandung yang sedang tak baik hubungannya saat ini.     

***LnP***     

"Kenapa datang ke sekolah ini? Dari sekian banyak sekolah, kenapa memilih ke sini?!" bentak Lalita kala sepi suasana dirasa olehnya. Tak ada orang yang akan datang di kawasan belakang sekolah tempat ruang gudang berada. Juga, tak akan ada CCTV yang menjadi pengawas segala gerak gerik yang diciptakan oleh keduanya saat ini.     

Rena tersenyum picik. "Aku sudah bilang kemarin. Di hari ulang tahun kakak, aku akan beri satu kejutan terbaik."     

"Dengan datang ke sini?" sahut Lalita melunak. Berdecak lirih kemudian tegas melipat tangannya dan berkacak pinggang di depan sang adik.     

"Apa kesepakatannya?" Lalita melanjutkan. Menatap sang adik yang hanya terus tersenyum ringan sembari melontarkan tatapan aneh pada sang kakak.     

"Apa kesepakatannya, Rena!" Kini gadis berambut panjang terurai di atas punggungnya itu mulai kembali meninggikan nada bicaranya.     

"Aku akan kuliah di jurusan manajemen." Rena menyahut dengan nada lirih. Menatap paras sang kakak yang baru saja melukiskan semburat wajah keheranan. Hanya itu? Tentu tidak!     

"Apa lagi?" tanya Lalita dengan nada memelan.     

"Aku akan belajar dengan baik."     

"Hanya itu?" Lalita kembali menyahut. Melontarkan pertanyaan demi pertanyaan untuk sang adik sebab ia belum juga kunjung mendapat kepuasan.     

"Aku akan mengawasi kakak."     

Lalita melunak. Membulatkan matanya sejenak kemudian menyeringai samar. "Apa yang perlu kamu awasi? Bukankah seharusnya aku yang mengawasi kamu?"     

Rena terkekeh kecil. "Bayi yang ada —ah tidak, mantan bayi yang ada di kandungan kakak dulu, aku memberi tahu pada mama kalau kakak lebih brengsek dari aku."     

PLAK! Tamparan sukses mendarat di sisi pipi gadis yang kini semakin tegas mengembangkan senyum seringai di atas paras cantiknya. Mengabaikan ekspresi sang kakak yang jelas memerah sebab rasa marah menguasi dalam dirinya saat ini.     

"Kamu menjual informasi pribadi hanya untuk mendapat kesenangan dalam diri kamu?" Lalita kini tegas menarik lengan milik Rena. Mencengkramnya kuat seakan tak ingin sang adik lepas dari jangkauannya saat ini.     

"Kakak juga melakukan hal yang sama bukan?"     

"Apa maksud kamu?"     

"Rokok yang ada di dalam tasku waktu itu, kakak bukan yang menaruhnya?" Rena melirih. Mendekatkan wajahnya ke sisi telinga sang kakak yang kini mulai melunakkan cengrakaman miliknya.     

"Kakak hamil di luar nikah dan merokok untuk membunuh bayinya, karena kakak tau mama dan papa akan mengecek kamar kita, kakak menaruhnya di dalam tasku. Bukankah begitu?" kekeh Rena memungkaskan kalimat dengan tegas melepas cengkraman jari jemari milik Lalita.     

"Karena itu, aku harus dipindahkan dan dijauhkan dari teman-temanku! Papa dan mama mengurungku juga membatasi pergaulanku! Kakak itu adalah jalang sialan yang tak punya—"     

PLAK! Sekali lagi, tamparan mendarat di atas paras cantik milik Rena. Membuat gadis tomboy itu kini semakin tegas menyeringai kala merasakan perih dan panas di atas permukaan kulit wajahnya.     

"Tenang. Hanya mama yang tahu, papa gak akan tau kalau kakak bisa berperilaku baik padaku. Aku ingin bertaruh sekarang. Kita punya kartu AS masing-masing 'kan? Mau menggunakannya sekarang atau—"     

Rena lagi-lagi menghentikan kalimatnya kala tangan Lalita kembali terayun ke atas dan siap untuk kembali melayangkan tamparan di atas pipi tirus milik Rena Rahmawati untuk membuat sang adik benar-benar diam kali ini. Rena memejamkan rapat matanya. Menunggu rasa perih nan panas itu kembali menghujani dirinya untuk kesekian kalinya.     

Akan tetapi, tamparan itu tak kunjung mendarat di sisi pipi tirus miliknya. Seseorang menghentikan ayun gerak tangan sang kakak. Mencegah agar tak ada lagi tamparan yang datang untuk Rena Rahmawati.     

Rena membuka matanya cepat. Menatap paras tampan seorang remaja yang sudah kuat mencengkram pergelangan tangan sang kakak sembari menatapnya tajam.     

"Cukup! Atau aku bisa panggil BK sekarang," ucapnya melirih. Kasar menghempaskan tangan milik Lalita yang hanya diam sembari terus menatap paras remaja yang dengan lancangannya datang dan menyela.     

"Kita pergi dari sini," tukas Arka menarik kasar tubuh gadis berambut pendek yang ada di sisinya.     

"Lo pacarnya?" Lalita menyela. Sukses membuat langkah milik Arka Aditya terhenti dan kembali memutar tubuhnya untuk menatap gadis sialan yang dengan pandainya bersilat lidah dengan sang adik.     

"Jadi lo adalah alasan Rena—"     

"Pacar? Gue pacarnya Davira." Arka menimpali dengan kalimat asal. Sukses membuat Rena membulatkan matanya cepat. Jikalau Arka adalah kekasih Davira, lalu bagaimana dengan Adam?     

"Rena adalah temannya Davira. Kalau Davira tau temennya disiksa sama orang gila, dia akan marah besar," sambungnya menimpali.     

Lalita tersenyum ringan. "Gadis jalang seperti Rena punya teman?"     

"Lo yang jalang sialan," ucap Arka dengan nada malas. Melirik sekilas Rena yang tersenyum picik kemudian kembali menarik tubuh gadis di sisinya itu untuk kembali berjalan dan pergi meninggalkan Lalita di sana. Mengakhiri pertengkaran kecil yang sudah membuat satu sisi pipi Rena memerah dan panas.     

"Thanks," ucap Rena lirih. Menyela langkah keduanya yang tegas menyusuri lorong untuk menjauh dari keberadaan Lalita saat ini.     

"Tapi bisa lo lepasin genggamannya tangannya? Segitunya lo pengen genggam tangan gue?" kekeh gadis itu tertawa geli. Membuat Arka sontak menoleh dan melepas genggaman tangannya. Menatap Rena yang masih tersenyum ringan untuknya.     

Bahkan dalam keadaan begini, gadis itu masih saja bisa tersenyum dan melucu?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.