LUDUS & PRAGMA

110. Semesta benar-benar Gila



110. Semesta benar-benar Gila

0Ada satu kalimat tanya yang belum sempat ia berikan sebuah jawaban pasti untuk melegakan bukan hanya untuk orang yang memberi tanya padanya, namun juga pada dirinya sendiri. Kalimat yang didengarnya dari mulut dua orang berbeda sebelum ia memutuskan untuk melaju membelah padatnya jalanan kota untuk menuju ke tempat Arka Aditya. Mengenai pertanyaan bahwa siapa yang akan Davira pilih jikalau keduanya berada di dalam situasi genting yang tak bisa disisihkan, Adam Liandra Kin atau Arka Aditya?     
0

Davira kini mendapat jawabannya. Semesta membantunya untuk memutuskan secara benar dan menurut hati nurani yang terdalam. Arka Aditya! Davira akan lebih menuju dan menghampiri untuk membantu juga menemani masalah yang sedang terjadi pada sahabatnya itu. Fakta bahwa Davira begitu menyayangi Arka lebih dari dirinya menyayangi hati dan perasaannya sendiri adalah sebuah tamparan teruntuk harapannya pada Adam.     

"Kita sudah sampai, Nak." Sopir taksi yang membawa Davira untuk membelah padatnya jalanan kota kini menyela lamunan gadis dengan sesengukan ringan sebab perasan takut dan kalut yang kini menyelimuti dalam hatinya.     

Davira kecewa! Jujur ia sangat ingin pergi bersama Adam dan menghabiskan malam indah bersama remaja jangkung itu. Mulai menaruh rasa dan harapan untuk memulai hubungan baik dengan Adam Liandra Kin. Akan tetapi, Arka sedang membutuhkannya saat ini.     

Davira menyodorkan satu lembar uang lima puluh ribuan. Mendorong pintu taksi kemudian melangkah keluar tanpa menunggu kembalian atau reaksi dari si supir taksi.     

Gadis itu kini berlari. Menerobos kerumunan yang ada di depannya untuk sampai ke meja pendaftaran tempatnya bisa menanyakan di mana keberadaan Arka saat ini.     

"Ada yang bisa saya bantu?" ucap petugas yang berdiri di belakang meja besar dengan senyum ramah pada gadis yang kini sejenak terdiam sembari mencoba untuk menenangkan napas dan kondisinya yang bisa dibilang sedikit kacau. Hidungnya memerah, matanya sedikit sembab, juga rambutnya tak lagi tertata rapi sebab lari kencang menembus hawa dingin dan semilir bayu yang berembus sukses mempora-porandakan penampilannya malam ini.     

"Pasien kecelakaan atas nama Arka A—"     

"Lo nyari gue?"     

Davira tersela. Sejenak menghentikan kalimatnya kemudian sigap menoleh dan memutar tubuhnya untuk menatap remaja jangkung di belakang punggungnya.     

Davira menghela napasnya kasar. Menatap kondisi Arka yang tak separah dalam bayangannya. Sigap tangannya merengkuh tubuh jangkung remaja yang ada di depannya. Memeluknya hangat kemudian membiarkan tangis pecah menyelimuti kondisi yang terjadi antara keduanya saat ini.     

Satu tangan Arka berbalut perban. Menandakan bahwa patah tulang adalah resiko yang didapat sebab ugal-ugalan di jalan raya. Lecet di beberapa bagian tubuh dengan satu perban kecil yang ditahan oleh dua hansaplas menempel di sisi dahi kirinya.     

"Gue gak papa," lirihnya mengusap puncak kepala gadis yang semakin tegas membenamkan wajahnya di atas dada bidang milik Arka Aditya.     

"Ck, sialan!" umpat Davira di sela-sela tangisnya. Sukses membuat remaja jangkung yang kini menunduk mencoba menatap paras Davira tertawa kecil. Alih-alih menanyakan kondisinya dan rasa sakit apa juga di bagian tubuh mana yang ia rasakan sekarang, Davira malah mengumpatinya dengan kasar. Memukul-mukul lengan berotot milik Arka yang masih kuat menahan hantaman dari sang sahabat.     

"Gue bilang kalau lo terluka, gue bakalan bunuh lo sekalian!" rengeknya dengan nada tegas kala isak tangia sudah mulai surut.     

Semua pasang mata sejenak menatap dua remaja gila yang sedang berpelukan di depan umum. Beberapa dari mereka berbisik kemudian kembali tak acuh kala Davira mulai melepaskan pelukannya. Menatap paras Arka yang menyimpan banyak tawa di dalamnya. Bagi Arka, Davira sangat menggemaskan.     

"Kita bicara di luar." Arka menyahut. Mengusap puncak kepala gadis yang kini tegas mengangguk sembari menatap Arka Aditya.     

***LnP***     

Setengah jam lebih berlalu hampir satu putaran penuh jarum jam menyusuri angka-angka dan mengelilingi setiap bagian sisi bulat melingkar sempurna dihabiskan oleh remaja yang terlihat begitu tampan nan mempesona dengan perpaduan kemeja biru muda yang digulung seperempat lengan juga celana jeans pekat sepekat sepasang sepatu yang membelit hangat jari jemari kaki miliknya. Tatapannya sesekali mengudara. Menatap langit yang tak mendung menandakan bahwa hujan tak akan turun malam ini. Jadi, belum hadirnya gadis yang dinanti pastilah bukan sebab hujan menghadang di tengah perjalanannya. Ia kini merogoh ponsel yang ada di saku celana panjang yang dikenakan olehnya. Mengelurkan ponsel mililnya kemudian menekan beberapa tombol untuk memulai panggilan dan memeriksa keadaan gadis yang sedang ditunggunya untuk datang dan memenuhi janji yang sudah dibuat.     

Nihil! Satu panggilan, dua panggilan, bahkan tiga panggilan tak ada jawaban dari orang yang dituju. Davira lupa? Adam rasa tidak!     

Mungkinkah Davira berubah pikiran dan mendustai janjinya malam ini? Adam rasa juga tidak. Davira bukan gadis yang suka ingkar pada apa yang dikatakannya. Meskipun terlihat tak acuh dan tak mau peduli dengan apa-apa yang ada di lingkungannya, namun Adam yakin bahwa dusta dan ingkar janji bukan sikap buruk yang ada di dalam dirinya.     

Haruskah Adam menyusul?     

"Dia gak akan datang," sela seseorang menghentikan niat baik Adam Liandra Kin. Membuat remaja jangkung itu sejenak menoleh dan menghentikan langkahnya. Menatap sepasang kaki jenjang nan ramping yang berjalan tegas mengarah padanya. Seorang gadis dengan celana panjang dan blouse merah maroon terlihat cantik nan anggun berjalan ke arahnya. Di satu tangan, ia menenteng jaket hitam milik Adam yang sempat disimpan oleh Davira Faranisa.     

Tunggu, bagaimana bisa Kayla Jovanka membawa jaket miliknya?     

"Dia gak akan datang." Gadis itu mengulang kalimatnya. Tersenyum tegas mengakhiri ucapan singkat yang sukses membuat sepasang lensa milik Adam Liandra Kin menyipit. Dahinya samar berkerut dan sepasang alisnya hampir saja bertaut.     

"Davira gak akan—"     

"Kenapa jaket gue ada di lo?" sahut Adam menyela dan memotong kalimat Kayla. Membuat gadis di depannya melipat bibirnya sembari tegas menaikkan kedua sisi bahunya.     

"Mungkin karena dia berubah pikiran."     

Adam diam sejenak. Menatap paras Kayla yang sedikit lain kali ini. "Ada sesuatu yang lo lakuin ke dia?" tanya Adam memberi tatapan tajam menelisik pada gadis yang kini menarik satu sisi bibirnya untuk tersenyum seringai menanggapi kalimat dari Adam Liandra Kin.     

"Kenapa lo jadi berubah banyak seperti ini hanya karena Davira?"     

"Adam! Gue adalah Kayla Jovanka! Bahkan gantungan boneka yang lo kasih masih menggantung rapi di tas gue, belum rusak. Artinya hubungan kita belum lama—"     

"Lo sendiri?" Adam kembali menyela. Membuat Kayla sejenak menghentikan kalimatnya sembari melipat keningnya samar.     

"Hanya karena Davira lo berubah jadi gadis jahat." Remaja jangkung itu mengimbuhkan. Menghela napasnya kasar untuk mengekspresikan betapa jengkel hatinya saat ini.     

"Udah lah. Gue gak mau bertengkar sama lo. Gue mau pergi," pungkasnya menutup kalimat.     

"Ke mana? Menyusul Davira?" Lagi-lagi Kayla menyela. Menatap Adam yang kini terdiam sejenak kemudian menganggukkan kepalanya tegas.     

"Davira lagi sama Arka. Berduaan." Kayla berjalan mendekat. Menyodorkan jaket yang ada di genggamannya pada remaja yang kini tegas memberi tatapan padanya.     

Senyum merekah di atas paras cantik milik Kayla. "Jadi ayo kita tonton konsernya sekarang."     

Adam menyeringai tajam. Menyahut sodoran jaket yang diberikan Kayla untuknya. Tertawa kecil kemudian kembali membuka suaranya untuk menanggapi kalimat dari gadis menyebalkan di depannya itu. "Gue akan tetep nyusul dia."     

Adam kini memutar langkahnya. Benar-benar menjauh dari posisi Kayla juga suasana konser yang mulai ramai sebab band indie kesayangannya sudah memulai hiburannya.     

Adam gagal! Bukan pasal taruhan yang disetujui bersama timnya beberapa minggu lalu, namun Adam gagal untuk menyakinkan dirinya sendiri bahwa Davira Faranisa sudah mulai membuka hati untuk dirinya dan melupakan sejenak pasal Arka Aditya.     

Semesta menamparnya dengan keras malam ini. Seakan menacaci dan memaki seorang Adam Liandra Kin yang sudah banyak nan tinggi menaruh harapan pada Davira Faranisa. Fakta bahwa gadis itu akan lebih memilih Arka Aditya ketimbang dirinya adalah sebuah fakta yang tak akan pernah bisa diubah oleh Adam Liandra Kin.     

Adam kecewa sebab ia terlalu terlambat bertemu dengan Davira Faranisa. Jikalau ia adalah remaja pertama yang bertemu dengan gadis itu sebelum Arka datang dan menjabat sebagai sahabat dekatnya, mungkin saja Davira akan lebih mementingkannya saat ini. Menjadikan namanya sebagai orang utama juga pertama yang akan ia datangi, hampiri, dan panggil kala gadis itu membutuhkan sesuatu.     

Haruskah Adam berhenti saja sekarang ini? Melupakan segala harapan dan rasa cintanya pada seorang Davira Faranisa. Kembali hidup menjadi remaja brengsek yang mendekati banyak gadis cantik hanya untuk sekadar bermain bersamanya.     

Tidak! Adam sudah terlalu mencintai Davira Faranisa sekarang ini. Rasa suka yang ada di dalam dirinya terlalu banyak dan terlalu besar hingga tak mampu ia kurangi dan ia musnahkan. Adam ingin terus berjuang. Apapun hasilnya, meskipun raganya akan remuk dihancurkan dan hatinya akah patah sebab fakta-fakta yang akan menamparnya nanti, Adam tak akan pernah mau memperdulikannya.     

Arka adalah Arka dan Adam adalah Adam. Remaja yang akan terus menyukai seorang Davira Faranisa.     

Remaja jangkung itu kini kembali menyalakan ponselnya. Menggeser layar untuk membuka kunci dan menekan beberapa tombol untuk menemukan kontak orang yang dituju. Bukan Davira bukan juga Arka. Namun, Candra Gilang.     

Adam membuat panggilan. Menunggu dering di jawab oleh orang yang sedang ditujunya saat ini. Berharap Candra sedang longgar dan mau mengangkat panggilan darinya sekarang ini.     

"Hallo, Adam?" Suara samar sedikit serak menyahut. Membuat remaja jangkung yang kini berjalan semakin tegas untuk mencari taksi di sisi jalanan bisa bernapas lega.     

"Lo tau di mana Arka sekarang?" tanyanya tegas.     

Candra diam sejenak. Menghela napasnya kasar kemudian berdecak ringan.     

"Ada apa? Kenapa lo bereaksi begitu? Ada masalah?"     

"Lo beneran gak dianggep temen sama Arka rupanya," kekeh Candra menyela kalimat Adam.     

"Apa maksud lo?"     

"Arka kecelakaan kecil di jalanan. Dia menabrak—"     

"Di rumah sakit mana?" Adam menyela.     

"Citra—" Belum sempat remaja itu menyelesaikan kalimatnya, Adam sudah memutuskan panggilan. Menatap jalanan yang ada di depannya kemudian berlari kencang untuk menjangkau taksi yang sedikit jauh posisi dengannya saat ini.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.