LUDUS & PRAGMA

111. Harapan Baru untuk Asa yang Terpatahkan



111. Harapan Baru untuk Asa yang Terpatahkan

0Keduanya kini tegas menatap halaman rumput yang ada di depannya. Sesekali tersela dengan lalu lalang orang yang berjalan di depannya untuk sampai ke tujuan mereka. Aroma rumah sakit masih tegas menari-nari dalam lubang hidung gadis yang baru saja menyeka habis air matanya hanya bersisa mata sedikit sembab dengan hidung yang memerah. Isak tangis gadis itu sudah selesai beberapa menit lalu selepas Arka datang dan memberinya pelukan hangat tanda baik-baik saja keadaannya selepas sebuah musibah kecil datang dan menimpanya sore tadi.     
0

Arka menuntun Davira untuk duduk di halaman rumah sakit sebab dirinya ingin sejenak menghirup udara malam juga suasana tenang khas rumah sakit kalau malam tiba menyapa. Lampu remang yang apik berdiri di setiap sudut halaman rumah sakit menjadi penerang utama selain indahnya bulatan sang dewi malam di atas cakrawala.     

"Kok bisa kecelakaan? Motor lo—" Davira menghentikan kalimatnya sejenak. Menggelengkan kepalanya sebab ini bukan saatnya menanyakan bagaimana keadaan motor gede yang selalu membawanya datang ke sekolah.     

"Gue jemput Alia."     

Davira menoleh. Menghentikan aktivitasnya menainkan ujung sepatunya untuk menggesek kasar rerumputan hijau yang ada di bawahnya kemudian menatap remaja yang kini menundukkan kepalanya.     

Malu? Tidak! Arka sudah berbuat baik dengan menjemput dan menolong gadis yang menjadi adik tiri dari sahabat kecilnya itu atas permintaan Diana. Remaja itu menunduk sebab lagi-lagi ia membohongi Davira Faranisa pasal keterlibatannya dengan keluarga tiri gadis itu. Arka paham benar, kalau ia berbicara jujur pada Davira maka gadis itu akan marah besar.     

"Lo sebut nama Alia?" Davira mengulang. Samar mengerutkan dahinya sebab ia tak percaya dengan kebaikan yang dilakukan oleh Arka.     

"Mama lo minta gue jemput Alia dari lesnya sore ini karena papa lo lagi ada pertemuan dengan kliennya, sedangkan mama lo—"     

"Itu yang gue maksud! Kenapa lo peduli sama keluarga mereka!" bentak Davira meninggikan nada bicaranya. Membuat seluruh fokus lensa orang-orang yang ada di sekitarnya menoleh padanya. Pada gadis gila yang baru saja membentak remaja dengan satu tangan yang digendong dan beberapa luka di atas fisik jangkung dan paras tampannya.     

"Lo bohongin gue lagi?" tanya gadis itu melirih.     

Arka mengangguk samar. "Gue tau lo akan marah karena ini. Mama lo bilang—"     

"Itu sebabnya gue benci sama mereka. Karena mereka adalah kumpulan manusia sialan yang tak tahu diri. Merepotkan mama, dan sekarang merepotkan lo?!" pekik Davira menyeringai. Matanya berbinar. Menahan air yang sudah berkumpul di dalam kelopak matanya.     

"Davira ...." Arka menarik tangan gadis yang baru saja bangkit dari tempat duduknya. Berkacak pinggang sembari terus menengadahkan kepalanya dan sesekali mengembuskan napasnya kasar untuk mencegah agar air mata tak turun menyelimuti wajahnya untuk kedua kalinya.     

Jikalau Davira kali ini menangis lagi, bukan sebab sedih dan khawatir menyelimuti dalam hatinya seperti sebelum ia datang pada Arka Aditya. Air mata yang turun adalah representasi dari rasa kecewa bercampur amarah yang ada di dalam hatinya saat ini.     

"Bukankah lo pernah bilang ini ke gue. Tak semua ular, suka terlahir dengan bisa mematikan dan wajah yang menyeramkan. Jika bisa itu mampu membunuhmu, maka hilangkan bisanya bukan bunuh ularnya." Arka berkelit. Sukses menarik perhatian gadis yang kini menoleh sembari menatapnya sayu.     

"Jika Alia tahi bahwa mamanya adalah wanita jalang perebut suami orang, ia pasti membenci dirinya sendiri juga. Ia akan menyesal lahir dari rahim seorang wanita sialan yang sudah merebut kebahagian orang. Bukan 'kah begitu?" Arka melunak. Mengusap punggung tangan milik gadis yang kembali memalingkan wajahnya.     

Dalam keyakinan Arka, Davira pasti sedang meneteskan air matanya kali ini. Bukan pasal kalimat puitis yang diucapkannya dengan sisipan umpatan untuk menghibur gadis di sisinya itu, namun pasal fakta yang membuatnya bak orang bodoh tak bisa memutuskan juga melakukan apapun untuk saat ini.     

Membenci Alia dan sang adik bukanlah hal berguna yang bisa dilakukannya untuk saat ini. Apa yang dikatakan Arka benar adanya. Alia seperti layaknya anak ular berbisa yang tak tahu apa kesalahan dan dosanya sebelum lahir di dunia ini, membenci dan bersikap tak acuh pada gadis itu adalah sebuah dosa tersendiri untuk Davira Faranisa.     

"Cobalah untuk menyayangi dia seperti adikmu sendiri."     

"Lo tau apa yang bikin gue bersyukur?" Davira menyela. Sukses membuat Arka mengerutkan dahinya samar kali ini.     

"Karena dia bukan bayi yang dikandung wanita sialan kala itu. Aku mendengar bahwa ia keguguran beberapa bulan selepas pernikahannya dengan mantan suami mama."     

"Aku bahagia mendengarnya." Davira memungkas kalimatnya. Melepas kasar genggaman Arka yang kini mulai melunak kala mendengar kalimat dan senyum miris bercampur dengan tetesan air mata milik Davira Faranisa.     

"Meskipun begitu, Alia adalah gadis yang menggantikan posisi bayi yang meninggal itu. Jadi mereka sama saja," ucap Davira mempertegas kalimatnya. Sejenak diam untuk menyeka kasar air mata yang semakin deras membasahi pipinya kali ini.     

"Mencintai Alia adalah hal mustahil yang gak akan pernah gue lakuin sebab gue adalah manusia biasa, bukan Tuhan yang bisa memaafkan seorang hamba dengan kesalahan terbesar sekali pun." Gadis itu memungkaskan kalimatnya dengan tatapan semakin sayu. Membuat Arka hanya bisa terdiam bak orang bisu yang tak mampu banyak berkata-kata selepas menatap sepasang lensa penuh makna milik sang sahabat.     

Davira terluka lagi. Luka yang ada di dalam hati gadis itu kini disebabkan oleh kebodohannya sendiri.     

"Gue pergi. Lo bisa pulang sendiri 'kan?" Davira kini kembali bersuara. Menyambar tas slempang kecil miliknya kemudian berpaling untuk meninggalkan Arka di tempatnya.     

Tak diam! Remaja itu sigap berdiri dan menarik pergelangan tangan Davira untuk membuat gadis itu menghentikan langkahnya. Sejenak mau menoleh untuk menatap paras tampan milik Arka Aditya yang sudah menatapnya dengan tatapan teduh.     

"Gue minta maaf. Gue janji gak akan—"     

"Gue cuma pengen sendiri sekarang," tukas Davira melirih. Seakan sudah habis semua tenaga dan lemas adalah kondisinya saat ini.     

"Davira, please."     

"Gue ninggalin Adam dan batalin janji secara sepihak sama dia cuma untuk berlari ke arah pembohong besar seperti lo," tutur Davira kembali melepas genggaman milik Arka Aditya.     

"Gue benar-benar menyesal sekarang," pungkasnya menutup kalimat. Tegas memutar tubuhnya dan segera mengambil langkah untuk menjauh dari Arka Aditya saat ini.     

Ada hal yang paling Davira benci dari sikap buruk seorang manusia. Kebohongan dan pengkhianatan. Sakit! Rasanya akan sangat sakit kala mengetahui bahwa orang yang kita percayai sudah membohongi dan mengkhianati segala percaya yang kita letakkan untuk mereka. Davira bukan marah sebab Arka menjemput Alia dan menyebabkan remaja itu terkena musibah saat ini. Meskipun hatinya tak rela akan hal itu, namun tak akan ada gunanya murka sebab masalah sepele seperti itu. Davira marah dan murka sebab Arka kembali berdusta padanya sekarang ini. Seakan kalimat maaf sudah tak ada harganya untuk remaja itu.     

Davira terus melangkah menjauh. Tetes demi tetes air mata turun membasahi pipinya saat ini. Mengabaikan puluhan pasang mata yang tegas menyorotkan fokusnya untuk menatap gadis yang terlihat sangat kacau saat ini.     

Davira memelankan langkah kemudian. Merasa Arka tak sedang mengejarnya adalah salah satu alasan gadis itu mengurangi laju sepasang kaki ramping miliknya. Alasan kedua adalah sebab sepasang lensa indahnya menatap samar perawakan tubuh yang berdiri sedikit jauh darinya. Menatap Davira dengan semburat wajah kekhawatiran kemudian kembali berjalan dengan langkah sedikit cepat untuk menjangkau posisi Davira saat ini.     

Gadis itu kini terhenti. Menatap sejenak Adam yang ikut menghentikan langkahnya sembari menatap paras gadis yang masih basah oleh air mata.     

"D--davira?" lirih Adam berucap. Ragu tangannya meraih bahu milik gadis yang kini menoleh memalingkan wajahnya sebab ia benar-benar malu malam ini. Pakaian yang dikenakannya serasi dengan milik Adam Liandra Kin. Terkesan seperti sepasang kekasih yang akan berkencan menghabiskan malam yang indah. Akan tetapi penampilan dan hatinya sedang kacau. Ia lagi-lagi menangis di depan Adam Liandra Kin. Membuatnya benar-benar terlihat lemah dan payah.     

"A--ada sesuatu dengan Arka?" Adam bertanya dengan nada hati-hati. Takut kalau pertanyaan yang dilontarkan olehnya akan menyakiti hati Davira saat ini.     

Gadis di depannya kini menunduk. Memajukan langkahnya hingga tepat ujung sepatunya bersentuhnya dengan ujung sepatu milik Adam Liandra Kin. Membenamkan wajah cantiknya di atas pelukan hangat milik remaja yang kini sigap merengkuh tubuhnya. Davira mulai terisak. Terdengar samar sebab dada bidang Adam merendam suara isak yang dihasilkan oleh gadis yang kini kuat melingkarkan tangannya di atas pinggang milik Adam Liandra Kin.     

Remaja itu membalasnya. Meskipun ia tak tahu, sebab apa Davira menangis saat ini. Adam kini mengusap puncak kepala Davira. Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencoba mencari sesuatu yang bisa dijadikan olehnya sebuah alasan mengapa Davira menangis malam ini.     

Bingo! Bukan sebab keadaan Arka yang terluka parah, sebab remaja sialan itu kini berdiri sedikit jauh darinya. Menatap Adam dengan tatapan tajam kemudian berjalan mendekat.     

Adam semakin kuat memeluk Davira. Ikut memberi tatapan pada remaja yang kini kembali terhenti kala menyadari bukan Adam yang memeluk Davira, namun Davira yang menginginkan pelukan itu ada untuk melampiaskan amarah dan kekesalannya malam ini.     

Arka berpaling. Memutar langkahnya untuk mengambil jalan lain tanpa harus melalui Adam Liandra Kin juga Davira Faranisa.     

Ia bukannya ingin menghindari Davira selepas berbuat salah dan sukses membuat isak tangis gadis yang dicintainya itu pecah. Keputusan Arka untuk pergi berpaling dan mengambil jalan lain adalah sebab ia sadar kali ini, Davira mulai membuka hatinya untuk Adam. Remaja itu cukup untuk membuat sahabatnya tenang malam ini.     

Tentang perasaan Arka pada Davira, sepertinya mulai malam ini ia harus segera belajar untuk memungkaskan segala harapannya teruntuk Davira Faranisa. Porsi yang diberikan semesta padanya adalah sebagai seorang sahabat untuk Davira, bukan sebagai laki-laki yang menemani hatinya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.