LUDUS & PRAGMA

40. Katakan Tidak Untuk Rasaku!



40. Katakan Tidak Untuk Rasaku!

0Saling tatap tiada suara yang menyela di antara kedua remaja yang kini sama-sama kokoh duduk di atas sofa depan ruangan. Mendiamkan satu sama lain sesaat gadis berparas ayu pergi dari hadapan mereka dengan alasan, turunnya ke lantai bawah bukan untuk menyapa tamu atau menunggui Arka pulang ke rumahnya setelah diutus sang mama untuk menunaikan tugas negara yang tak boleh dibantah sebab jikalau membantah, neraka adalah hukumannya.     
0

Arka memincingkan matanya. Sejenak berdecak kala menyadari bahwa Adam datang dan mengganggunya malam ini. Dalam rencana baik remaja itu, ia ingin menghabiskan malam bersama Davira dengan sekotak martabak manis yang menemani di atas balkon rumahnya nanti. Memandang gelapnya langit malam bertabur sedikit bintang dan satu rembulan yang mulai meredup sebab tertutup oleh semburat awan hitam di angkasa sembari berbincang ringan tiada jeda dan cela. Mengakrabkan kembali suasana setelah canggung sempat membentang di antara keduanya sebab pengakuan cinta dari seorang Arka Aditya guna merubah nasibnya itu. Tak lagi menjadi pemeran pendukung di panggung sandiwara yang diatur semesta, ia ingin bahwa dirinya dan Davira-lah yang menjadi tokoh utama dalam perjalanan cinta romeo dan juliet versi modern.     

"Ngapain lo ke sini?" tanya Arka membuka suara berat sedikit serak miliknya.     

Adam tersenyum. "Mastiin lo baik-baik aja," katanya menyahut tegas.     

Arka menyipitkan sejenak mata bulatnya. Mengerutkan dahi dan sepasang alis tebalnya hampir saja tertaut sebab kalimat aneh yang diucapkan oleh Adam padanya.     

Remaja itu menghela napasnya untuk perubahan raut wajah milik Arka Adinya. Sejenak menoleh ke lantai atas untuk mencari keberadaan gadis yang sudah hilang sesaat setelah suara pintu ditutup dengan tegas. Menyisakan dua orang remaja tak beda jenis kelamin dan kategori parasnya itu. Tampan nan mempesona hanya jikalau dibandingkan, Adam sedikit lebih unggul wajah dan fisiknya ketimbang seorang Arka Aditya. Namun, tetap saja ... keduanya adalah jajaran 'cogan' yang mampu meluluh lantahkan hati dan pendirian para kaum hawa hanya dengan satu senyuman saja.     

"Lo 'kan bolos hari ini. Gue cuma khawatir kalau—"     

"Lo khawatir sama gue?" Arka memotong kalimat Adam. Sejenak tertawa ringan kemudian menghela napasnya pendek. Menyandarkan tubuhnya ke belakang dengan tak merubah arah tatapannya untuk Adam.     

"Sejak kapan lo jadi peduli sama gue kayak gini?"     

Remaja berponi belah tengah yang jatuh di kedua ujung alis hitamnya itu kini mulai diam tak mau berbicara apapun untuk menjawab kalimat remaja sebaya yang tegas menajamkan arah tatapan dan fokusnya hanya untuk Adam seorang. Bisa dikatakan di malam yang sepi ini menjadi saksi bisu betapa 'keren' dan dasyatnya dua remaja tampan yang sedang saling tatap satu sama lain. Sesekali tersenyum aneh juga tertawa kecil dengan nada tawa yang terdengar begitu dipaksakan.     

"Lo yakin bukan karena alesan yang lain?" Arka kembali membuka suaranya kala Adam memutuskan untuk bungkam tak mau bersuara apapun lagi.     

Adam semakin kuat merapatkan bibirnya. Matanya berkeliling mencoba untuk mencari sesuatu yang bisa memberinya ide atau sedikit menginspirasinya untuk beralasan. Dalam tebakan Adam, Arka memang bukan tipe manusia yang akan dengan mudah menerima kalimat dusta dan pengkauan dengan penuh kebohongan. Arka tipe orang yang teliti, mudah mengerti keadaan, dan pandai menarik kesimpulan dari situasi yang ada. Jadi, sebenarnya tak perlu beralasan ini-itu dan menjawab dengan kalimat penjelas yang mendukung dustanya, Arka tentu sudah bisa menebak kedatangan Adam Liandra Kin malam ini.     

Remaja brengsek itu datang bukan untuk dirinya. Sebab Arka yakin, remaja itu pastilah bukan tipe remaha bodoh yang salah guna wajah juga menyia-nyiakan karunia Tuhan yang sudah melukiskan paras tampan dipadukan fisik yang mumpuni dengan menyukai sesama jenisnya. Atau bahasa kerennya, Adam bukan seorang 'homo'. Remaja itu pasti datang untuk satu alasan yang jelas, yaitu Davira. Sebab Davira Faranisa lah ia menyisihkan waktu untuk datang kemari malam-malam begini.     

"Gue mau ngajak lo pergi malam mingguan," sela Adam kemudian. Membuat Arka kini benar-benar tertawa puas. Membiarkan hidungnya sesekali menggembang dan berkerut di selang waktu yang tak lama. Teman seperjuangnya di medan perang ini memang tak pandai berbohong rupanya!     

"Lo mau ngajak nongkrong?" tanya Arka mulai mengikuti permainan yang dilakukan oleh remaja berhidung lancip itu. Adam mengangguk tegas.     

"Lo gak mau?"     

Arka menarik satu sisi bibirnya bersama kedua alisnya yang kompak naik ke atas. Bahu lebarnya pun ikut bereaksi. Seakan sudah memberi respon jawaban kepada Adam tanpa mengeluarkan suara dan mengucapkan sepatah katapun, Adam hanya mengangguk ragu. Jawaban tanpa suara yang diberikan Arka untuknya itu seakan menyudahi obrolan mereka sebab tak ada lagi yang bisa menahan Adam di tempat ini.     

Alasan pertama remaja itu singgah adalah untuk menjengguk Arka yang tiba-tiba saja menghilang tiada kabar hanya mengirim satu informasi bahwa dia akan menggambil cuti selama satu hari. Adam sudah melihatnya. Fisik Arka baik-baik saja meskipun ia tak tahu bagaimana dengan hatinya saat ini. Untuk itu, Adam tak bisa meneruskan alasan pertamanya untuk bisa tetap di sini dan menunggui Davira turun dari lantai atas.     

Alasan keduanya tak lain tak bukan adalah untuk mengajak Arka pergi dari rumah ini sejenak. Menikmati dunia malam ala-ala anak muda metropolitan pada umumnya. Tak selalu pasal asap rokok, wanita, juga minuman berakhohol. Dunia muda di luar sana itu sangat luas. Tergantung bagaimana kita memilih dan masuk ke dunia yang kita pilih itu. Namun, alasan itupun juga sudah tak bisa menahannya lebih lama di sini sebab Arka menolak ajakan Adam dengan kode fisik yang diberikannya beberapa waktu lalu.     

"Lo bisa balik kalau emang—" Suara Arka kini terhenti sesaat sesaat setelah perwakan gadis dengan jaket tebal yang membungkus tubuh bagian atasnya turun menapakki satu persatu anak tangga untuk membawa tubuhnya sampai ke lantai dasar.     

Arka yang tadinya fokus menatap Adam kini memindah sorot matanya ke arah gadis yang sudah berada di lantai bawah. Tersenyum singkat padanya kemudian melirik Adam yang ikut menoleh sembari memusatkan tatapannya pada perawakan gadis berambut panjang yang dibiarkan lurus tegarai menutupi seluruh bagian pundaknya.     

"Lo mau pergi?" Arka kini menyela. Menatap sejenak Adam yang kini membulatnya matanya sesaat setelah mendengar kalimat pertanyaan dari Arka yang ditujukan untuk Davira. Bukan terkejut. Ia membulatkan matanya sebab ikut menunggu Davira memberikan jawaban klarifikasi terkait turunnya gadis itu ke lantai bawah dengan pakaian tak seperti sebelumnya.     

"Gue mau balik ke rumah sebentar. Ada yang ketinggalan." Davira mempersingkat. Kembali melangkah sesaat setelah memutuskan untuk berhenti sejenak dan merespon pertanyaan dari Arka. Jujur saja, sampai malam ini Davira masih merasakan canggung yang luar biasa terhadap sahabat kecilnya itu. Kalimat pengakuan cinta dari seoarang Arka Aditya masih jelas ada dan melekat kuat dalam ingatannya.     

"Mau gue temen—"     

"Lo ada tamu 'kan? Ladenin tamunya. Tamu adalah raja!" katanya menyahut sembari menaikkan satu sisi bibir merah muda sedikit pucat miliknya sebab tak ada make up yang melekat di atas paras ayunya itu.     

Davira kini benar-benar melangkah pergi. Meninggalkan Arka, Adam, juga rumah mewah milik Tante Desi. Membuka gerbang lalu menutupnya kembali sesaat sebelum akhirnya berjalan ringan menyusuri sepinya jalanan komplek. Jarak rumah Arka juga Davira tak jauh. Hanya berbeda beberapa gang dan blok rumah saja. Jadi ia tak perlu naik bus atau memesan ojek online juga taksi untuk membawanya pulang ke rumah. Toh juga, hitung-hitung sambil berjalan-jalan malam menikmati embusan bayu yang ringan membelai permukaan kulit yang dinginnya memaksa masuk ke dalam celah-celah lubang jaket yang dikenakan gadis itu.     

Davira kini memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket. Mempercepat langkahnya sesaat setelah dirinya keluar dari gang rumah milik Arka dan sepi terasa dengan lampu remang yang menerangi jalannya. Mungkin sedikit penyesalan ada dalam benaknya saat ini. Jika saja ia tak menolak tawaran dari Arka untuk menghantarnya pulang malam ini, maka ia tak perlu menjadi gadis sok kuat yang sebenarnya sedang memendam rasa takut di dalam dirinya. Hatinya saat ini was-was. Menaruh harapan di setiap langkah yang diambilnya bahwa ia bisa sampai ke rumah tanpa ada halang melintang yang menghadang nantinya. Pulang dan menginjakkan kakinya ke halaman rumah tercinta dengan keadaan utuh tak kurang apapun.     

Gadis itu mempertegas langkahnya. Kesan terburu-buru tergambar jelas di setiap langkah yang diambil oleh Davira malam ini. Jujur saja, jika dalam keadaan begini jalanan seakan menjadi lebih panjang dan rumahnya bergeser mundur hingga membuat jarak semakin jauh saja. Ia melewati perempematan pertama. Lampu kini terang menyala sebab gang komplek yang dilewatinya ini sedikit ramai sebab orang yang berlalu lalang datang dan pergi dari jalanan besar di ujung sana. Davira bernapas lagi. Tak ada hantu bayang yang menyerap bayangannya dalam gelap kali ini!     

"Kak Davira?" Seseorang kini menyela langkahnya. Membuat gadis itu mau tak mau berhenti dan menoleh ke arah sumber suara.     

Gadis itu menyipitkan matanya kala perawakan seorang 'bocah' dengan jaket turtle neck yang menutupi leher jenjangnya sudah berdiri mematung sedikit jauh tempat dan posisinya dari Davira. Gadis itu kini membulatkan matanya yang sempat menyipit kala menyadari siapa yang baru saja melambai dengan senyum kuda menghias di atas paras tampannya. Anak itu berjalan mendekat. Menatap sembari terus tersenyum pada Davira yang juga perlahan mengembang senyum singkat di atas parasnya ayunya itu.     

"Kakak tinggal di daerah sini?" tanyannya tanpa mau berbasa-basi.     

Davira mengangguk. "Kamu sendiri? Ngapain ke sini?" Davira kini melirik ke sekitar. Mencoba mencari alasan yang bisa membuatnya mengerti bagaimana bisa 'anak dalam bus' ini sampai datang ke kawasan rumahnya malam-malam begini. Mungkinkan sebab Adam?     

"Aku mau nyari kak Adam. Kata mama dia main ke rumah temennya yang tinggal di sekitar sini. Jadi aku—" Raffa—Anak laki-laki yang baru saja berbicara itu kini memindah fokusnya untuk menatap Davira yang juga ikut membulatkan matanya sebab Raffa menghentikan kalimatnya sembari merubah raut paras tampannya. Seakan menaruh curiga pada gadis yang satu tahun lebih tua darinya itu.     

"Bukan! Kakak kamu bukan main ke rumah aku!" sentak Davira menggelak kala tersadar mengapa Raffa menghentikan kalimatnya dan menatapnya aneh begitu.     

Bocah laki-laki itu terkekeh kemudian. Lega dalam hati kini dirasakan setelah sesaat ada rasa yang mengganjal dalam dirinya sebab takut bahwa satu fakta menamparnya dengan keras. Bahwa Davira itu adalah kekasih dari kakak tersayangnya, Adam Liandra Kin.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.