LUDUS & PRAGMA

38. Malam Yang Mengejutkan.



38. Malam Yang Mengejutkan.

0Suasana tenang nan damai kini menyelimuti rumah mewah yang menjadi tempat berlindung untuk Davira Faranisa sebab ditinggal pergi oleh mamanya untuk beberapa hari ke depan. Dan di rumah inilah, ia tinggal sebagai tamu tetap selagi menunggu mamanya kembali. Gadis yang kini mengikat rambutnya asal agar tak turun melewati batas telinga sedikit cuping miliknya sebab dirinya ingin memfokuskan tatapan dan segala aktivitasnya untuk segera menyelesaikan tugas sekolah yang diberikan hari ini setelah satu pesan singkat masuk dan memberi segala informasi mengenai yang terjadi di sekolah hari ini. Semuanya, termasuk tugas dan segala aktivitas serta peristiwa yang dilewatkan gadis bersurai pekat itu sebab dirinya yang mengambil keputusan bodoh dengan 'rehat' sejenak dari sekolah. Menyisakan banyak tanda tanya untuk si pengirim pesan yang merupakan pembawa informasi terkait apa yang dilakukan Davira juga Arka seharian tanpa ada kabarnya itu.     
0

Davira kini menarik tumpukan buku yang ada di depannya. Duduk bersila di atas kasur sembari kembali membuka ponselnya untuk memastikan bahwa buku yang disiapkannya itu tak salah. Satu pesan masuk sesaat ia menggeser layar ponselnya ke atas. Dari nomor yang tak dikenal. Kode nomor ponsel masih orang Indonesia, itu artinya si pengirim tak jauh tempat tinggalnya di negara seberang seperti saat ia mendapat sebuah pesan singkat dari tempat aplikasi yang sama dengan si pengirim adalah orang yang tinggal di negara tetangga. Bukan apa, Davira benar-benar tak suka jikalau harus berinteraksi dengan orang luar sebab ia tak pandai dalam berbahasa asing. Berbicara dengan orang luar akan membuat otaknya benar-benar tersiksa nantinya.     

Ketukan pintu kini samar terdengar di balik ambang pintu kayu yang sengaja ditutup rapat oleh Davira Faranisa. Gadis yang baru saja ingin membuka dan membaca pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya itu kemudian mengalihkan tatapannya menatap pintu kayu itu. Sesaat kemudian sebuah suara lirih menyertai di akhir ketukan pintu. Kemudian setelah Davira menyahut dengan erangan ringan, suara gagang pintu tegas di tekan dan si tamu kemudian mendorong pintu ke depan. Menelisik setiap bagian kamar lalu memusatkan sorot lensa pekatnya pada gadis yang kini sejenak membulatkan matanya sebab terkejut dengan kedatangan wanita berpakaian ala kadarnya dengan bandana kecil yang rapi melingkat di atas kepalanya. Seakan membendung rambut pekat yang dimiliki wanita itu agar tetap rapi di belakang telinga.     

"Tante boleh masuk?" tanya wanita itu lirih. Davira yang tadinya diam kini tersenyum simpul sembari.mengangguk-anggukan kepalanya tegas.     

Wanita yang ikut membalas senyum simpul dari Davira Faranisa itu kini tersenyum hangat. Berjalan masuk dengan membawa sebuah nampan berukuran sedang yang berisi satu piring penuh dengan lauk dan nasi juga segelas air putih yang menemaninya. Davira hampir saja bangkit dari posisinya untuk membantu Tante Desi—wanita yang kini terhenti tepat di sisi ranjang milik Davida Faranisa dan baru saja melarang si gadis agar tak bangkit dari posisi nyamannya untuk membantu wanita itu— Namun, aktivitasnya terhenti kala Tante Desi menggeleng ringan dan berhenti di sisi ranjangnya. Meletakkan nampan yang ia bawa di sisi gadis yang masih diam sembari terus menatap hidangan istimewa yang khusus dibawakan oleh Tante Desi untuknya.     

"Kamu gak ikut makan malam, jadi tante pikir kamu sibuk belajar makanya tante bawain makanannya ke sini," tutur Tante Desi menjelaskan situasi yang membuatnya datang ke mari dan membawakan seluruh menu yang ada di atas meja makan.     

Davira tersenyum ringan. "Tante gak perlu repot-repot gitu. Nanti Davira bisa ambil sendiri, kok." Gadis itu memprotes dengan nada manja. Menatap Tante Desi yang kini menjulurkan tangannya kemudian meraih kepala gadis di sisinya itu dan mengusapnya lembut.     

"Jujur aja tante pengen punya anak cewek," kekehnya kemudian.     

Davira yang mendengarnya ikut terkekeh ringan guna mengimbangi suasana yang ada. Menatap sejenak paras ayu wanita seumuran dengan mamanya itu. "Om Burhan belum pulang, Tante?"     

Desi menggeleng ringan. Kembali tersenyum sembari mendorong perlahan nampan yang ada di sisi Davira agar gadis itu segera menyantap makanan yang disediakan untuknya.     

"Om Burhan sibuk belakangan ini. Tugas kantornya banyak banget." Desi mengimbuhkan kemudian. Kalimat singkatnya itu hanya mendapat anggukan kepala dari Davira yang diam mengerti sembari terus tersenyum simpul. Mulai menyisihkan bukunya dan memberikan celah tempat agar nampan berisi makanan itu bisa ada di depannya.     

Gadis itu kini mulai mengambil sendok dan menyantap makanan yang disediakan untuknya dengan tak mengurangi kesopanannya terhadap Tante Desi yang masih ada di sisinya sembari terus menatapnya teduh. Dari sorot mata dan semburat wajahnya seakan tersimpan rasa iba pada seorang Davira Faranisa. Bagaimana bisa semesta begitu jahat pada gadis berwajah cantik dengan tatapan mata yang penuh dengan kepolosan ini? Desi tau semua peringai baik dan buruk seorang Davira Faranisa yang terkadang ditunjukkan oleh gadis itu di depan mamanya—Diana. Wanita itu terkadang bercerita pasal putrinya pada Desi. Seakan tak berdaya dengan sikap aneh yang terkadang ditunjukkan oleh Davira Faranisa terhadapnya. Jujur saja Diana sempat menganggap anaknya itu gila sebab peringai berlain sifat di lain waktu juga. Namun dengan tegas Desi mengatakan bahwa, Davira tak gila! Peringai gadis itu masih normal layaknya gadis-gadis puber lainnya. Hanya saja tatapan seorang Davira Faranisa jikalau dilihat dan ditelisik dengan benar, sepasang lensa pekat dengan tatapan teduh itu terkadang kosong. Entah tatapan itu mewakili hati dan jiwanya yang sedang kosong atau ... Davira memang memiliki tatapan seperti itu.     

"Ngomong-ngomong, maafin tante kemarin malam," ucap Desi di sela-sela akivitas makan yang dilakukan oleh gadis itu.     

Davira kembali mendongakkan kepalanya. Menoleh kemudian menatap Tante Desi yang tersenyum kaku ke arahnya.     

"Kenapa tante minta maaf?" tanya Davira merespon.     

"Karena menyingung soal papa kamu," imbuh wanita di sisi Davira itu mempersingkat kalimat dan penjelasan untuk menjawab pertanyaan dari Davira Faranisa.     

"Aku yang harusnya meminta maaf karena bersikap begitu. Aku sudah besar tapi masih saja bersikap begitu." Nada bicara gadis itu kini melirih. Tangannya yang sedari tadi memegang kuat sendok dan garpu kini mulai melunak genggamannya. Jujur saja, Davira memang membenci papanya dan segala bahasan tak berguna pasal laki-laki brengsek itu. Namun, dirinya akan lebih benci jikalau tak bisa mengontrol emosinya hanya sebab mendengar nama sialan itu.     

"Tak apa, semua orang pasti punya masa lalu menyedihkan dan tak semua orang menyukai jikalau ada orang lain yang menyinggung masa lalu kita." Tante Desi kemudian memberi sebuah pengertian Kembali menatap Davira yang hanya tersenyum ringan sembari mengangguk samar.     

"Terusin makannya, nanti kalau sudah tante—"     

"Biar Davira yang kembaliin piring kotornya," sahut gadis itu memotong kalimat Desi dengan cepat. Wanita itu kini kembali mengembangkan senyumnya.     

"Ini alasan kenapa tante pengen punya anak cewek," imbuhnya terkekeh. Mengusap-usap rambut Davira yang ikut tertawa kecil nan singkat.     

"Tante turun dulu. Nanti kalau ada apa-apa panggil tante di kamar, oke?"     

Gadis muda di sisinya mengangguk. "Selamat malam, Tante."     

Desi menoleh. Mengangguk lalu kembali mengusap punggung Davira kemudian bangkit dari tempat duduknya dan beranjak pergi. Meninggalkan gadis yang hanya diam sembari terus menatap kepergian Tante Desi. Lalu setelah perawakan tubuh wanita itu tak lagi tertangkap jelas oleh kedua lensanya ia kembali melahap habis hidangan di depannya itu. Memasukkan satu suap demi satu suap nasi bersama lauk pauk yang disela dengan tegukan air putih. Mengisi perut kosongnya hingga siap untuk digunakan membantu mendukung otaknya berpikir dalam menghabiskan dan menyapu bersih segala soal yang dilimpahkan padanya malam ini.     

***LnP***     

Menit demi menit telah gadis itu habiskan untuk menyantap makanan di dalam kamar yang ia tempati. Satu piring dan gelas sudah kosong isinya. Kini saatnya Davira beranjak dari ranjang dan turun keluar kamarnya kemudian menapakki satu demi satu anak tangga agar sampai ke dapur dan bisa meletakkan segala barang yang 'dikotori'nya. Gadis itu kini benar bangkit dan turun dari rajangnya. Memakai alas kaki kemudian berniat hati ingin keluar dari kamarnya. Namun, langkahnya terhenti sejenak sesaat dering ponsel kembali menyelanya. Membuat gadis itu mau tak mau harus dipaksa berhenti dan meraih benda pipih yang diletakkannya di atas bantal itu.     

Menggeser layarnya kemudian kini mulai membaca rentetan huruf yang menjadi kalimat singkat yang datangnya entah darimana. Sebab nomor ponsel yang mengiriminya tak bernama juga tak beridentitas. Nomer yang sama yang mengirimi pesan beberapa waktu lalu. Dengan kalimat singat yang meninformasikan bahwa ia akan datang dan mampir ke tempatnya. Lalu, setelah ia mengabaikan dering ponsel kembali berbunyi seakan mengingatkan padanya bahwa ada satu pesan lagi yang menunggu Davira untuk mencari tahu apa isinya dengan membaca pesan itu.     

"Aku sudah di depan," lirih bibirnya berucap membaca rentetan kalimat yang ada dalam layar ponselnya. Davira mendengus. Belakangan ini orang-orang memang sedikit aneh dengan tingkah sok misteriusnya.     

Gadis itu kini kembali melempar asal ponselnya di atas ranjang. Kembali meneruskan langkahnya untuk keluar dari kamar dan turun ke lantai dasar.     

Langkahnya tegas. Menapakki satu demi satu anak tangga sesaat setelah dirinya dinyatakan keluar dari kamar. Sepasang kaki yang dibungkus celana panjang kain itu kini terhenti kala lensa gadis itu jelas menatap perawakan tubuh asing sebab tak mungkin jika Arka duduk di ruang tamu sembari mengenakan hoodie hitam dengan posisi duduk yang sumpah demi apapun, itu sangat sopan! Perawakannya sedikit tak asing untuk Davira. Namun, entah siapa yang duduk di sana Davira tak terlalu peduli. Sebab tujuannya turun ke lantai dasar adalah untuk menuju dapur dan meletakkan nampan berisi piring kotor dalam genggamannya itu. Bukan untuk jadi tamu 'kepo' yang ingin tahu pasal siapa tamu lain yang datang dan menyinggahi rumah Tante Desi malam ini. Toh juga, Davira tak tahu kalau Tante Desi kedatangan tamu malam ini.     

"Davira, udah selesai makannya?" pekik Tante Desi sedikit berteriak sebab posisi mereka yang sedikit jauh.     

Davira tersenyum. "Udah, tante. Mau Davira balikin ke dapur."     

Tante Desi tersenyum. Melirik tamu laki-laki yang kini perlahan menoleh untuk ikut memberi tatapan ke arah gadis yang masih diam di tempatnya. Tubuhnya berputar dan ... Davira melihat wajah dengan sepasang mata tajam dengan kharisma penuh yang melelehkan kaum hawa. Pemilik wajah itu adalah Adam Liandra Kin.     

Baiklah, sekarang ia mulai mengerti. Nomor asing yang mengiriminya pesan dengan mengatakan bahwa ia akan datang ke tempat Davira adalah nomor milik buaya brengsek bernama Adam Liandra Kin.     

--dan remaja itu kini sudah ada di depannya sembari tersenyum ringan untuknya. Persetanan, selalu saja begini situasinya!     

...To be Continued.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.