LUDUS & PRAGMA

39. Asa Dalam Rasa



39. Asa Dalam Rasa

0Baiklah, sekarang ia mulai mengerti. Nomor asing yang mengiriminya pesan dengan mengatakan bahwa ia akan datang ke tempat Davira adalah nomor milik buaya brengsek bernama Adam Liandra Kin.     
0

--dan remaja itu kini sudah ada di depannya sembari tersenyum ringan untuknya. Persetanan, selalu saja begini situasinya!     

Davira kembali meneruskan langkahnya maju ke depan untuk cepat sampai ke dapur dan melaksanakan tujuannya—meletakkan piring dan gelas kotor lalu mengangganti gelas berisi air putih yang baru dari dalam kulkas— kemudian sesegara mungkin lekas naik ke lantai atas dan mengunci diri di dalam kamar sebab Adam ada di sini saat ini. Entah apa yang diinginkan buaya brengsek yang selalu saja mengekorinya itu. Namun, apapun itu Davira dengan tegas mengatakan bahwa semesta bodoh dengan terus saja menuruti segala doa dan harapan Adam agar bisa mencuri momen bertemu dengan Davira Faranisa.     

Gadis itu kini terhenti di depan meja dapur. Meletakkan piring kotornya di sana kemudian cepat memutar tubuhnya. Melirik jam dinding yang sengaja digantungkan di sisi ruangan dapur sembari menghela napasnya ringan. Arka tak ada di rumah jam segini? Entahlah. Setelah insiden pernyataan cinta yang dilakukan oleh remaja itu di hadapan Davira dengan tegasnya tanpa ada keraguan dan kesalahan sedikitpun, suasana canggung tiba-tiba saja menyelimuti. Membuat gadis berparas ayu itu hanya diam tak berkata banyak lagi. Meskipun sesekali menyela agar canggung tak benar-benar mendominasi mereka.     

Arka menghilang. Bukan hilang ditelan bumi tanpa ada yang tahu kabarnya lagi. Remaja jangkung itu masih masuk ke dalam rumah bersama Davira dan berpisah kala Arka memutuskan untuk masuk ke dalam dapur guna membasahi tenggorokannya, sedangkan Davira yang memutuskan untuk naik ke lantai atas dan masuk ke dalam kamar tamu yang disewanya untuk beberapa hari ke depan. Setelahnya, gadis itu hanya diam dan mengurung diri di kamarnya. Tak ikut makan malam juga tak ikut berinteraksi banyak dengan tuan rumah. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya Davira-lah yang menghilang bukan Arka Aditya si anak semata wayang tuan pemilik rumah.     

Gadis itu kini menarik pintu kulkas di sisinya. Menuang segelas air putih ke dalam gelas kaca dan membawanya pergi dari dapur. Melangkah sedikit ragu sebab suara Tante Desi masih terdengar jelas sedang menjamu tamunya dengan kata-kata dan kalimat manis. Remaja yang diajak bercakap terlihat sesekali tertawa kecil kemudian tersenyum simpul dan berakhir pada gerakan bibir samar yang berucap untuk merespon kalimat dari Tante Desi.     

Davira kini memelankan langkahnya agar tak terdengar oleh telinga Tante Desi juga remaja yang menjadi tamunya saat ini. Agar ia bisa lolos dan bebas tanpa harus ikut menjamu Adam di ruang tamu. Akan tetapi ... usahanya sia-sia. Tante Desi mendengar langkahnya dan menyadari bahwa Davira baru saja ingin naik ke lantai atas setelah memijak satu anak tangga di lantai dasar. Wanita itu menoleh, lalu tersenyum simpul sembari melambaikan tangannya memberi isyarat pada Davira untuk datang ke padanya.     

"Davira! Ke sini, Nak."     

Ah, sialan! Mengapa ia harus turun dari lantai atas tadi? Mengapa tak menunggu sampai si tamu brengsek yang tak diharapkan kehadirannya itu pergi terlebih dahulu. Gadis itu samar menggerutu. Bibirnya komat-kamit bak dukun yang sedang membaca mantra di malam hari untuk mengirim kutukan pada targetnya. Jika saja Tante Desi adalah mama kandungnya, Davira pasti sudah menolak dengan tegas untuk datang ke arah sumber suara yang baru saja memanggil namanya itu. Gadis itu memang selalu bersikap buruk pada orang-orang yang dianggap mengganggu ketengan dan kedamaian hatinya, namun jikalau orang yang mengganggu lebih tua umurnya macam Tante Desi begini, Davira tak bisa berlaku apapun selain datang dan menurut. Sebab kalau tidak, bagaimana jika malam ini ia diusir dari rumah Tante Desi sebab jadi gadis keras kepala yang hobi membangkang? 'kan rasanya seperti anda menjadi Hulk!     

"Kamu kenal Adam? dia temen basketnya Arka," sambung Tante Desi sesaat posisi Davira kini sudah dekat dengannya.     

Davira tersenyum singkat sembari mengangguk untuk merespon pertanyaan dari Tante Desi. "Kita pernah bertemu dan saling mengobrol sebelumnya."     

"Wah, bagus kalau gitu. Kamu bisa temenin—"     

"Arka ke mana, Tante?" tanya Davira menyela cepat. Dengan penuh harapan ia tak ingin Tante Desi melanjutkan kalimat yang dalam tebakan Davira pastilah menyuruh gadis itu untuk tinggal dan berbincang akrab dengan Adam sebab wanita itu sudah bosan dan lelah ingin beristirahat.     

"Setengah jam lalu tante suruh beliin martabak manis dan martabak telor, tapi belum balik." Desi menyahut. Tersenyum aneh sembari menimang-nimang kalimatnya sendiri. Benar juga, putranya itu sudah setengah jam lamanya pergi dan tak kunjung kembali. Mungkinkah ia lupa membeli apa yang dipesankan dan mampir ke rumah teman untuk sekadar berkunjung sebab besok adalah hari liburnya orang sekola? Jadi, sebenarnya tak perlu belajar pun untuk malam ini. Namun, jikalau mau jadi anak rajin berprestasi tinggi maka belajar itu tak mengenal hari, tempat, dan waktu. Seperti malam minggu sabtu dan malam minggu begini misalnya.     

"Sambil nunggu Arka kembali, kamu tolong temenin Adam. Tante udah ngantuk pengen tiduran." Desi melanjutkan. Bangkit dari posisi duduknya kemudian menepuk ringan pundak gadis yang kini mengatupkan rapat bibirnya. Sialan, yang dilakukannya barusan untuk menghindari kalimat perintah yang diucapkan Desi barusan.     

Baik Adam maupun Davira kini hanya bisa menatap kepergian wanita berdaster pendek itu masuk ke dalam kamarnya. Punggung Tante Desi hilang sesaat senyuman ringan mengarah pada Davira juga Adam lalu pintu rapat ditutup. Seakan memutus koneksi pada orang luar yang tak boleh masuk lalu mengganggu wanita itu.     

"Kamu udah makan malam?" tanya Adam tiba-tiba menyela keheningan yang baru saja ingin datang membentang. Davira menoleh. Sedikit menunduk sebab remaja yang baru saja menanyainya itu masih kokoh dalam posisi duduknya saat ini.     

"Kamu dapat nomorku dari siapa?" Davira menyahut dengan memberikan satu pertanyaan lain tanpa mau menggubris pertanyaan dari Adam.     

"Ada yang ngasih," katanya tersenyum.     

Davira berdecak kesal. Memutar malas bola matanya kemudian mengembalikan fokusnya pada Adam. "Hapus!" perintahnya ketus.     

Adam terkekeh. "Nanti kalau kamu butuh aku gimana?" godanya pada Davira yang jelas melukiskan wajah kesal di atas paras ayunya.     

"Terserah," sahutnya tak acuh. Kembali memutar tubuhnya untuk segera pergi dan menjauh dari Adam. Remaja itu sigap bangkit. Menarik pergelangan tangan Davira yang membuat tubuh mungil sedikit semampai miliknya itu dipaksa berputar dan mendekat pada tubuh jangkung Adam.     

Gadis itu kini menengadah sebab baru ia sadari bahwa Adam begitu tinggi untuknya. Tinggi Davira hanya sampai di pundak lebar remaja jangkung yang baru genap berusia 17 tahun itu. Meskipun begitu, fisik Adam sudah bisa dikatakan mendekati sempurna saat ini. Davira menghentikan sejenak napasnya kala tersadar bahwa posisinya sekarang sangat tidak wajar sebab jarak intim tercipta setelah Adam menarik tangan Davira beberapa saat lalu. Membuat air yang ada dalam gelas di genggaman tangannya itu sedikit tumpah dan membasahi tangannya. Sekarang, embusan napas Adam terasa jelas menyapu permukaan kulit putih bersih wajah milik Davira Faranisa.     

"Mau ke mana?" tanyannya melirih.     

Davira menyipitkan matanya. Sejenak menajamkan fokus untuk terus masuk ke dalam lensa pekat milik Adam Liandra Kin. Di dalam lensa itu, bukan napsu dan gairah bermain cinta dengan kejar mengejar bersama pasangannya. Dalam sepasang lensa itu terdapat sebuah ruang kosong yang membuat tatapan tajam berkharisma milik Adam jikalau dilihat dengan benar, maka tatapan kosong penuh makna kesedihan ada di dalamnya.     

Sekarang satu pertanyaan muncul dalam benak seorang Davira Faranisa. Alih-alih bertanya lagi apa yang membuatnya jadi remaja brengsek seperti ini, Davira sekarang lebih ingin bertanya perihal bagaimana cara Adam menutupi segala kekosongan dengan peringai ceria dan tegarnya itu. Tak sakit meskipum Davira memakinya. Tak goyah meskipun Davira mencelanya, dan tak pergi meskipun berkali-kali gadis itu memberikan penolakan yang menyayat hati. Alih-alih menunjukkan sisi kelam dan sakit dalam hatinya, ia malah menunjukkan sisi lain yang tak bisa dimengerti olehnya hingga saat ini.     

"Temani aku," lanjutnya.     

Sesaat setelah tersadar dari lamunannya, Davira melepas kasar genggaman Adam. Berjalan mundur sembari melirik segelas air putih yang ada di genggaman tangan kanannya sudah berkurang separuh sebab gerakan tiba-tiba darinya tadi.     

"Gak mau!" jawabnya sembari berdecak kesal sesaat melihat air minumnya sudah berkurang tanpa ia harus meminumnya.     

Adegan keduanya kini tersela dengan suara moge yang terdengar jelas berhenti di depan rumah. Davira menoleh. Menatap Adam sejenak kemudian memfokuskan tatapan ke arah ambang pintu yang sedikit terbuka untuk membiarkan udara malam masuk menjadi angin penyejuk pengganti AC.     

"Arka udah dateng," sahut Davira tersenyum picik. Batinnya kini bernapas dengan lega kala kehadiran remaja yang kini sudah berada di ambang pintu sembari menajamkan fokus menatap perawakan pria asing yang sedang berdiri di sisi Davira sejenak. Kemudian berjalan mendekat dengan langkah tegas yang semakin dipercepat setiap detiknya.     

"Minta temenin aja sama Arka." Davira mengimbuhkan.     

"Aku maunya ditemenin sama kamu!" sahut Adam tegas kini memotong kalimat Davira yang baru saja ingin melangkah pergi darinya.     

Davira tersenyum licik. "Kalau begitu mainnya ke rumah aku bukan ke rumah Arka," tuturnya sembari tersenyum aneh.     

Remaja yang baru saja mendengar kalimat mengejutkan dari Davira itu kini membulatkan matanya sejenak. Bibirnya sedikit terbuka sebab tak menyangka bahwa Davira akan mengatakan hal demikian. Sebuah kalimat yang mungkin saja bagi orang luar yang mendengar itu hanya serupa dengan sebuah candaan semata dari seorang teman kepada teman lainnya. Namun, untuk Adam kalimat itu terdengak bak sebuah kunci untuk membuka gembok hati seorang Davira Faranisa.     

"Beneran aku boleh main ke rumah kamu—"     

"Becanda. Dasar cowok baperan," kekehnya kemudian berlalu pergi dari tempatnya. Meninggalkan Adam yang kini mengigit bibir bawahnya sembari menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan senyum malu darinya. Ia bahagia, sumpah demi apapun saat ini Adam sangat bahagia sebab Davira terkekeh untuknya. Meskipun kekehan itu sangat singkat dan lirih sekalipun.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.