LUDUS & PRAGMA

41. Itik Mencari Cinta.



41. Itik Mencari Cinta.

0Davira mempersilakan remaja yang kiranya berusia satu tahun lebih muda darinya itu masuk ke dalam rumah setelah pintu yang tadinya terkunci rapat sudah dibuka oleh si tuan rumah. Cahaya terang kini masuk ke dalam sepasang lensa remaja yang masih diam sembari mencoba menelisik masuk ke dalam rumah untuk memastikan bahwa di dalam sana tak ada bahaya yang sedang mengintainya. Oke, Raffa sedikit berlebihan! Toh juga, Davira terlihat seperti gadis baik-baik, kok. Bukan gadis pemburu anak-anak kecil untuk dijadikan tumbal atau santapan leluhur demi mendapatkan kekayaan layaknya di film-film horor yang sering ia tonton sendiri kala kedua orang tua juga kakaknya sibuk dengan dunia mereka masing-masing.     
0

"Masuklah, mama aku lagi tugas ke luar kota." Davira kembali membuka suaranya. Menatap remaja yang sejenak meliriknya kemudian mengangguk sembari tersenyum ringan. Berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah sedang sedikit ragu. Entah apa yang membuat hatinya merasa begitu, datang ke rumah gadis asing yang baru dijumpainya beberapa kali membuatnya patut dicap sebagai remaja lancang tak tahu aturan.     

"Kakak cuma tinggal sama mama kakak?" tanyannya kala sepasang lensa pekat nan teduh miliknya memotret lukis wajah dua perempuan beda usia yang menjadi objek lukisan indah di tengah dinding ruangan.     

Davira mengangguk. "Begitulah."     

"Ngomong-ngomong kamu mau minum apa?" tanya Davira melanjutkan. Sesegera mungkin gadis itu merubah topik pembicaraannya untuk tak lagi membahas apapun yang menyingung masalah keluarga. Sebab, Davira Faranisa membenci topik membosankan semacam itu.     

"Seadanya aja," jawabnya sembari berjalan ringan dan duduk di atas sofa besar tengah ruangan.     

Raffa terus memutar kepalanya untuk menelisik setiap bagian rumah yang begitu asing untuknya. Dari luar, rumah teman sebaya dari kakak kandungnya itu memang terlihat sederhana nan minimalis. Namun, siapa sangka surga tersembunyi ada di dalamnya. Desain rumah yang menjadi tempatnya berlindung dari sorot rembulan malam itu benar-benar bisa dibilang 'wow' dan memukau.     

"Kenapa nyari kakak kamu malem-malam gini?" Davira kembali datang bersama kalimatnya dan segelas sirup jeruk yang menghias di atas nampan besi dalam genggamannya.     

Raffa menoleh. Mengangkat satu sisi bahunya kemudian terkekeh kecil. Jujur saja, ia sendiri pun tak tahu mengapa ia harus bersusah payah untuk berjalan dari halte bus tempatnya turun dari bus hingga sampai ke lingkungan komplek rumah Davira. Ia hanya bosan, barangkali. Sebab di rumahnya hanya berisi sang mama yang selalu resah dengan menatap keluar jendela kamarnya sembari meneguk segelas wine untuk menunggu kepulangan sang suami. Tak ada candaan jikalau suasana hati sang mama sudah kalut begitu, yang bisa diandalkan oleh remaja tampan identik wajah dengan Adam Liandra Kin itu hanyalah sang kakak atau kalau-kalau sang kakak sedang 'sok' sibuk dengan urusannya, maka film dan musik serta belajarlah yang menjadi tujuan terakhirnya menghabiskan malam sepi tiada peneman hati.     

Setelah bertemu dengan Davira, entah takdir macam apa yang membuatnya yakin bahwa pertemuan malam ini akan berakhir baik untuk hubungan mereka nantinya. Fakta bahwa Raffa menyukai gadis itu pada pandangan pertama adalah hal yang tak bisa disanggah lagi. Meskipun usianya jauh lebih muda dari sang gadis idaman, namun bagi remaja berdagu lancip itu usia hanyalah sebuah angka. Tak dosa masuk neraka, kok kalau-kalau cinta pada orang yang rentang usianya jauh di atas atau di bawah kita.     

"Kamu dateng ke sini tanpa tujuan yang jelas?" kekeh Davira kala yang ditanya hanya diam. Remaja itu mengangguk-anggukkan kepalanya setuju. Sejenak melipat bibirnya untuk bungkam tak bisa bersuara apapun sebab tak ada yang bisa dibantah kali ini.     

Davira kini tersenyum ringan. Selain paras dan fisik yang hampir sama, sifat mereka juga tak jauh berbeda. Sama-sama aneh dan tak jelas tingkah keputusannya. Dasar, saudara kembar tak seusia!     

"Aku ke sini cuma mau ambil barang yang ketinggalan. Hari ini aku nginep di rumah temen yang deket sama rumahku. Kakak kamu ada di sana," jelas Davira ikut duduk di depan Raffa.     

"Aku akan anter kamu habis ini," imbuhnya menutup kalimat dengan nada ringan. Mengembangkan senyum manis di atas bibir merah mudanya sembari terus memberi tatapan pada remaja yang kini meneguk segelas sirup jeruk yang sediakan untuknya.     

Demi apapun, wajah mereka sangat identik!     

***LnP***     

Adam meneguk habis air putih dingin yang dimintanya ketika Arka menjadi tuan rumah sok baik yang menawarkan makan serta minum untuk seorang remaja bak jalangkung sebab datang yang tak diundang serta pulang pun tiada yang menghantar. Eits! Jangan salahkan si pembuat kalimat pepatah kuno yang terdengar sadis tak berperasaan seperti itu. Salahkan si jalangkung, sebab siapa suruh dia datang tak berkabar terlebih dahulu?     

Tatapannya kini berubah lain seiring dengan raut wajah Arka yang berubah aneh untuk menanggapi kehadiran Adam yang benar-benar tak diharapkan adanya. Remaja itu bak hama yang perlu segera diberantas agar tak merusak apapun lagi nantinya. Seperti kebersamaan Arka dan Davira misalnya.     

"Lo beneran gak mau pulang?" Arka kini menyela. Menarik sepiring roti kering yang tadinya disuguhkan untuk si tamu, namun lama kelamaan apa boleh buat jikalau nafsunya untuk memakan tak bisa dibendung lagi sebab selain Davira Faranisa, Arka juga mencintai makanan ringan yang dinamai roti kering.     

Adam menggeleng ringan. Melirik jam kecil bermerk yang melingkar di pergelangan tangan kirinya kemudian memusatkan tatapan lensa tajamnya ke arah Arka yang masih sibuk mengunyah roti kering yang baru saja masuk ke dalam mulutnya. "Masih sore," lanjutnya terkekeh.     

"Sore pala kau!" Arka memprotes. Ikut melirik jam bulat melingkar yang tergantung di salah satu dinding ruangan. Pukul delapan malam lebihnya beberapa menit menunjukkan bahwa larut akan segera tiba kalau-kalau Adam tak segera pulang ke rumahnya. Davira pun juga belum kembali setelah menghabiskan beberapa menit di luar sana tanpa ada kabar yang berarti dari gadis itu untuk Arka Aditya.     

"Kalau gitu gue mau jemput Davira dulu," katanya bangkit. Tak mau berbasa-basi lagi untuk menanggapi tamu aneh yang datang menyambangi rumahnya itu.     

"Lo suka sama Davira?" sela Adam mengajukan pertanyaan yang bisa dibilang sedikit keluar dari topik pembicaraan mereka berdua sebelumnya.     

Arka yang baru saja ingin berjalan menjauh dan mengambil jaket serta kunci motor gede miliknya itu kini terhenti kemudian memutar tubuhnya menghadap Adam Liandra Kin. Tatapan matanya kini lain. Seakan dari sorot lensa teduh milik Arka Aditya tersimpan beribu amarah dan ketidaknyamanan dengan pertanyaan Adam barusan.     

Adam pasti mengerti tanpa harus bertanya seperti itu. Sebab pasal menebak rasa dan bermain cinta bersama gadis cantik adalah hobi dan bakat terbesar yang mengakar dalam dirinya saat ini.     

"Lo sendiri?" tanya Arka berkelit. Senyum seringai sejenak dilukiskan di atas bibir merah mudanya. Tanpa mau merubah sorot matanya itu, ia terus saja menatap segala gerak gerik Adam yang sekarang ikut bangkit menyamai posisi sejajar dengannya.     

"Hm, gue suka sama dia," jawabnya tegas.     

Plak! Bukan tamparan sesungguhnya, namun suara batinnya yang seakan ingin menampar Adam sebab kalimat tegas itu terucap dari celah bibir tipis berbentuk hati miliknya itu. Dari sekian banyak laki-laki yang ada di dunia ini, mengapa harus si brengsek Adam yang menjadi saingannya untuk merebut hati milik gadis cantik jelita bernama Davira Faranisa? Bukannya apa, sumpah demi nenek moyangnya seorang peselancar hebat, Arka tak pernah takut kalah bersaing dengan si brengsek itu. Yang ia takutkan hanyalah persaingan itu akan merusak segala yang sudah ia inginkan ada di masa depannya nanti, yaitu Adam menjadi kapten segaligus teman terbaik dalam berjuangnya melalui masa remaja.     

"Gue udah nyatain perasaan gue sama dia." Adam kembali melanjutkan. Tersenyum picik di bagian akhir kalimatnya sembari melirik tangan Arka yang perlahan mengepal kuat seakan ingin melayangkan tinju ke arahnya saat ini. Senyum dan kalimat yang diucapkan Adam seakan saling mendukung dan melengkapi semua amarah yang kian memucak dalam diri seorang Arka Aditya.     

"Tapi dia nolak gue," imbuhnya kini terkekeh kecil.     

"Davira bukan sembarang gadis yang luluh karena harta dan rupa. Dia gadis yang sedikit unik. Jadi, itu alasan gue suka sama dia." Adam lagi-lagi menjelaskan.     

Kali ini kepalan tangan milik Arka mulai melunak. Satu persatu jari panjang miliknya perlahan terbuka seiring dengan helaan napas yang menandakan betapa berat hati dan perasaannya saat ini.     

"Lo sendiri? Udah mencoba bilang ke Davira tentang perasaan lo?" tanya Adam berjalan mendekat.     

Arka memilih bungkam. Tak seperti Adam yang lebih suka menjelaskan situasi yang ada, Arka adalah tipe orang yang pandai dalam memendam segalanya. Berpura-pura dan ber-acting adalah kemampuan terbesar yang dimiliki remaja jangkung itu. Bukan untuk terus berdusta, ia belajar 'kemampuan itu' untuk bisa menjadi teman baik dalam segala kondisi untuk seorang Davira Faranisa.     

"Gue gak bego kayak lo!" sahut Arka berpaling. Mengambil langkah untuk pergi menjauh dari Adam dan menarik jaket jeans yang ada di atas kursi dan mengambil kunci motor di dekatnya.     

"Lo pengecut," sela Adam terkekeh kecil.     

Baik Arka maupun Adam sedang sama-sama berdusta kali ini. Arka berdusta pasal ungkapan rasanya pada Davira. Remaja itu tentu sudah mengungkapkan semua rasa yang mengganggu benak dalam dirinya. Mengatakan dengan tegas pada Davira bahwa ia adalah salah satu ciptaan Tuhan yang menagumi paras ayu dan fisik mumpuni milik Davira Faranisa, dengan bonus Arka juga menerima dan mencintai segala peringai buruk bak iblis dari neraka jahanam milik Davira Faranisa.     

Untuk Adam ia berdusta pada dirinya sendiri. Sebab dalam benaknya ia mengutuk dan menyumpah pada dirinya atas kebodohan dan ketergesa-gesaannya perihal ungkapan rasa pada Davira. Katakan saja seperti, terburu-buru itu hasilnya tak akan pernah baik. Juga, Adam takut. Takut kalau dirinya kalah berjuang sebab Arka adalah si sahabat baik yang berpotensi menjadi pacar baik dalam segala situasi dan kondisi untuk Davira Faranisa.     

"Terserah lo, gue mau jemput Davira."     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.