LUDUS & PRAGMA

42. Cinderella dan Tiga Pangeran Tampan



42. Cinderella dan Tiga Pangeran Tampan

0"Kamu selingkuh sama adikku?" Suara berat bariton khas milik seorang remaja kini masuk ke dalam telinga Davira juga anak laki-laki yang sedari tadi memberi tatapan teduh untuknya. Menoleh cepat ke arah sumber suara yang baru saja menginterupsi ketenangan yang diciptakan oleh Davira maupun Raffa.     
0

Dua remaja masuk melalui ambang pintu yang sengaja dibiarkan terbuka untuk memberi celah luas pada hawa dingin malam agar masuk dan menggantikan tugas pendingin ruangan yang sengaja dimatikan oleh pemiliknya. Davira sejenak menatap Raffa yang memberi sorot matanya pada sang kakak dengan tatapan sedikit aneh sesaat setelah kata selingkuh terdengar jelas masuk ke dalam kedua lubang telinganya. Sejenak melirik Davira untuk memastikan bahwa apa yang didengarnya itu adalah sebuah kekeliruan semata. Sebab, jikalau kata selingkuh dibenarkan di sini, maka hanya satu kesimpulan yang bisa ditarik olehnya. Adam dan Davira adalah sepasang kekasih yang menjalin hubungan di balik layar.     

"Udah gue bilang gak usah ngikutin gue," kata Davira melirih dengan nada sedikit memprotes.     

Arka tersenyum ringan. Semakin tegas langkahnya memijak satu demi satu petak ubin yang memantulkan samar bayangan tubuh jangkung miliknya itu.     

"Dan kenapa di ada di sini?" sambung Davira melirik ke arah Adam. Remaja yang dilontari pertanyaan itu kini terhenti sejenak kemudian memutar tubuhnya. Ia baru sadar, kalau si brengsek menyebalkan itu masih mengekorinya bak bayangan tubuh jangkung miliknya, namun bayangan itu lebih tampan dan mempesona fisiknya ketimbang dirinya.     

"Gue bilang gak usah ngikutin gue!" pekik Arka sedikit jengkel. Meskipun ia paham benar bahwa tujuan Adam melakukan hal konyol seperti ini bukan sebab sedang ingin menjadi fans fanatik seorang Arka Aditya, akan tetapi Davira Faranisa-lah yang menjadi alasannya berlaku bak bocah yang tak ingin ditinggal pergi oleh sang ayah dengan terus mengikutinya kemanapun ia pergi.     

"Gue mau jemput adik gue," katanya beralasan. Bingo! Semesta membuatnya menang saat ini. Alasan Adam cukup masuk akal jikalau meningat bahwa adik semata wayangnya sedang duduk rapi di atas sofa sembari bercengkrama ringan dengan Davira.     

"Kak Adam tau aku di sini?" sahut remaja berponi tipis itu dengan penuh kepolosan. Memangnya, ya kalau berbohong itu harus saling mendukung satu sama lain dulu sebelumnya. Bukan asal kata seperti yang dilakukan Adam barusan.     

Semua pasang mata yang ada di ruangan itu menatap Adam sejenak. Seakan sama-sama menunggu jawaban pasti dari pria itu segera memberi klarifikasi terkait pernyataannya barusan.     

"Mama telepon tadi," ucap Adam sembari sedikit menggerakkan kedua bola matanya tak tentu arah.Raffa tersenyum, abangnya itu sedang berdusta rupanya!     

"Raffa mau main sebentar di rumah kak Davira," imbuh remaja itu kembali duduk di atas sofa. Mengabaikan sang kakak yang kini hanya diam mematung di tempatnya sebab tak tahu harus apa ia saat ini? Menyapa Davira? Tidak! Terlalu berlebihan dan tak pas situasi juga kondisinya saat ini sebab mereka sudah sempat bertemu tadi.     

"M--mau minum apa?" tanya Davira kemudian. Sedikit ragu kalimat singkat itu terdengar dari celah bibir gadis yang kini berjalan menjauh ke arah dapur. Tak mau menunggu jawaban dari Adam maupun Arka yang kini saling tatap satu sama lain. Seakan sedang melempari kalimat tanpa harus bersuara mengenai siapa yang diberi pertanyaan oleh Davira barusan?     

"Kalian berdua mau minum apa?!" pekiknya dengan suara keras kala punggung gadis itu hilang ditelan ambang pintu dapur. Menyisakan suara nyaring yang menggema di udara seakan menyentak semua penghuni ruangan agar mengindahkan kalimatnya barusan.     

"Terserah," ucap Arka ikut berteriak. Kemudian berjalan ke arah sofa dan duduk di atasnya. Menaikkan kedua kakinya kemudian meluruskannya dan mengambil posisi nyaman bak sedang berada dalam istana sendiri. Mengabaikan Raffa juga Adam yang diam tak bersuara sembari terus menatap segala aktivitas kurang ajar milik Arka mengingat bahwa derajat mereka di sini sama. Sama-sama sebagai seorang tamu yang sedang menyambangi rumah temannya.     

"Lo emang kurang ajar gini kalau bertamu ke rumah Davira?" tanya Adam dengan nada santai. Tak ragu juga tak takut kalau-kalau Arka akan marah dengan kalimat tak sopan miliknya itu.     

"Rumah Davira udah kayak rumah kedua buat gue, keluarga Davira juga udah gue anggep—"     

"Terserah," sahut Adam memotong kalimat Arka. Jujur saja, terus-terusan mendengar kalimat fakta mengenai hubungan kedekatan Arka juga gadis yang ia idam-idamkan itu rasa sesak di dada juga rasa sakit dalam batin yang bergejolak ini memberi bogem mentah ke arah wajah Arka saat itu juga. Adam cemburu, meskipun hanya sebab kalimat singkat mengenai keduanya terucap tanpa ada dasar alasan yang kuat untuk membenarkan apa yang dikatakan oleh Arka itu. Katakan saja seperti seberapa banyak 'kah celotehan dan omong kosong yang diucapkan oleh remaja jangkung yang menjabat sebagai wakilnya dalam bertanding itu Adam tak akan pernah tahu, benar atau sedang membual penuh kedustaan hanya untuk menakut-nakuti hati dan perasaan Adam terhadap Davira Faranisa 'kah segala kalimat yang diucap oleh Arka?     

"Dan kamu, ngapain kamu nyari aku sampek sejauh ini? Sendirian? Naik bus?" cecar Adam pada adiknya yang masih fokus menatap ambang pintu dapur seakan menaruh harapan penuh di sana untuk segera mengembalikan Davira yang hilang setelah gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam ruang dapur.     

"Raffa!" sentak Adam sedikit mempertegas kalimatnya. Bukan hanya yang dipanggil namamya yang menoleh cepat sembari merubah ekspresinya, namun juga Arka yang ikut sejenak membulatkan matanya sebab suara bariton khas milik Adam terdengar aneh di kedua lubang telinganya. Baiklah, Adam yang brengsek suka bermain bersama gadis-gadis cantik itu bisa tegas juga rupanya.     

"Aku bosen di rumah. Mama selalu aja—" Ucapannya terhenti kala sepasang lensa teduh miliknya membuatnya tersadar tak hanya dirinya juga sang kakak yang berada di dalam ruangan ini, namun juga orang asing berwajah tampan meskipun tak setampan Adam Liandra Kin. Juga, kehadiran Davira yang baru saja muncul dari ruang dapur berjalan ke arahnya sembari membawa nampan berisi camilan dan tiga gelas sirup berupa sama dengan apa yang diminumnya barusan.     

"Aku cuma bosen aja di rumah," pungkasnya menutup kalimat.     

Adam hanya diam. Sejenak menunduk kala menyadari ada yang tak beres dengan adiknya malam ini. Seakan sebuah bencana sedang terjadi dalam dirinya. Membuat hidup tenangnya terusik dan memutuskan untuk keluar dari 'sangkar' mencari udara dan suasana yang baru. Jadi bisa disimpulkan dahlil mencari sang kakak hingga sejauh ini adalah sebuah alasan semata dari seorang Raffa. Meskipun Davira juga Arka percaya pada kedustaan milik remaja yang satu tahun lebih muda dari mereka itu, namun Adam tak bisa ditipu bahkan dengan ribuan kalimat yang terucap dari bibir adiknya itu. Sebab saat Adam berbicara dengan lawan bicaranya, bukan bibir yang dilihat, namun sepasang sorot mata teduh milik orang itu.     

Karena kata bisa berdusta, namun mata tak mampu mendukung dusta itu.     

"Kalian bicarain aku?" tanya Davira asal. Sedikit sopan sebab bukan hanya Arka yang diajak berbicara kali ini, namun juga Adam dan adiknya.     

"Gue bilang lo cantik," sahut Arka terkekeh. Membuat Davira meliriknya tajam kemudian berdecak kesal. Meletakkan nampan besi itu dengan kasar tanda jengkel hatinya sebab si sahabat sialan nan menyebalkan itu.     

"Berisik, makan aja," ucap Davira menyodorkan setoples kaca kecil berisi kue kering untuk Arka.     

"Lo gak jadi ambil barang lo?" tanya Arka sedikit mengintrogasi. Mencoba memastikan bahwa gadis bersurai pekat yang ia biarkan terurai itu tak sedang mencari alasan hanya untuk keluar dari rumahnya sebab Adam datang sebagai seorang tamu tadi.     

"Ah, iya." Davira menyahut dengan nada lirih. Kembali bangkit dan berjalan meninggalkan Arka dan semua orang yang ada di sana.     

"Lo mau ngambil apa?!" teriak Arka kala menyadari bahwa bukan lantai dua tempat kamarnya beradalah yang menjadi tujuan Davira kali ini. Namun, pintu belakang rumah yang letaknya ada setelah ruang dapur dimasukki adalah tujuan gadis itu sekarang ini.     

"Besok libur, gue mau ambil sepatu jogging buat jogging besok pagi," sahutnya terus berjalan tanpa mau benar mengindahkan kalimat dari Arka.     

Arka kini hanya mengangguk-anggukkan kepalanya paham. Sejenak melirik Adam yang terus memberi sorot matanya untuk menatap kepergiaan Davira Faranisa. Ikut bangkit kemudian dan membenarkan hoodie-nya yang sedikit naik. Kemudian memberi tatapan aneh pada Arka tanpa mau berucap sepatah katapun, Adam berlalu. Ikut berjalan masuk ke dalam ruang dapur dan meninggalkan Arka juga sang adik di sana.     

"Lo mau ngapain?" sela Arka mencoba menghentikan langkah kaki jenjang milik Adam. Namun, remaja yang dilontari pertanyaan hanya diam enggan mengubris dan terus melanjutkan langkah kakinya dengan tegas tanpa ada keraguan apapun dalam dirinya saat ini.     

Arka menoleh. Menatap Raffa yang hanya diam sembari mengembangkan senyum seringai di atas paras tampan identik dengan milik Adam Liandra Kin.     

"Kamu ... kenapa senyum kayak gitu? Serem tau!" gerutu Arka kemudian. Menarik perhatian remaja berponi yang kini ikut menatapnya aneh.     

"Kalau dipikir-pikir wajah kalian itu sama, cuma sifat kalian kayaknya yang berbeda," tutur Arka asal menerka.     

Remaja di sisinya itu tertawa kecil. "Kami sama."     

"Bahkan cara kami mencintai seorang gadis pun, semuanya sama." Raffa kini berkelit. Seakan ingin memberi teka-teki pada orang asing yang baru dikenalnya malam ini.     

"Jangan bilang kamu juga ...."     

"Aku baru tahu kalau kita menyukai gadis yang sama," sahut Raffa menegaskan. Membuat Arka bungkam sejenak sebab tak percaya dengan apa yang dikatakan remaja di bawah umur itu.     

"Kalian emang luar biasa," tutur Arka sembari mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.     

"Kita. Bukan hanya aku dan Kak Adam, tapi juga kakak." Arka kembali mengimbuhkan. Membuat Arka semakin tegas mengerutkan dahinya tanda tak mengerti dengan sistem cara pikir remaja di sisinya itu.     

"Jangan sok tahu! Aku dan Davira cuma temenan dari ke—"     

"Kata memang bisa berdusta, tapi mata tak bisa mendukungnya ... aku belajar kalimat itu dari seseorang, dan itu benar," ucapnya menutup kalimat dengan senyum tipis. Kembali mengalihkan tatapannya agar tak berkontak dengan remaja asing di sisinya itu.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.