LUDUS & PRAGMA

43. Rahasia Bersama.



43. Rahasia Bersama.

0Adam kini memelankan langkahnya. Menatap dari kejauhan punggung gadis yang masih mencoba mencari benda yang menjadi tujuannya kembali ke rumahnya malam-malam begini dan meninggalkan kenyamanan yang ada di dalam rumah Arka. Remaja itu tersenyum. Melirik ke salah satu sudut dapur yang sedikit mencuri perhatian sepasang lensa pekat miliknya. Jikalau Davira memang benar sedang mencari sepatu olahraganya, maka bisa dikatakan bahwa gadis itu kalah cepat dari Adam. Remaja itu dengan sigap menemukan benda yang sukses membuat gadis idamannya itu kebingungan bak sedang kehilangan sesuatu yang amat berharga untuknya.     
0

Remaja itu berjalan mendekat. Mengambil sepatu kemudian mengubah arah langkahnya menuju Davira yang masih tak menyadari kehadirannya di sini. Seperti sepatu olahraga yang ada dalam genggaman Adam adalah sebuah benda yang tak ingin dihilangkan oleh gadis itu apapun alasannya. Melihat banyak jajaran sepatu di teras rumah milik Davira Faranisa tadi, jadi tak perlu harus berlelah-lelah hanya untuk mencari sepasang sepatu yang jikalau dibandingkan bentuk, warna, dan modelnya tak sebagus jajaran sepatu miliknya yang tertata rapi di atas rak teras rumah.     

"Ini," katanya lirih. Mengulurkan tangan dan memberikan sepatu itu untuk Davira. Gadis yang tadinya sibuk mencari itu kini terhenti. Sejenak melirik sepatu yang diulurkan padanya oleh tangan panjang yang dalam tebakan gadis itu sesaat, tangan itu milik Arka Aditya. Namun, tidak dengan suara itu. Suaranya mirip ... Adam!     

"Lo nemu di—" Ucapannya terhenti kala ia berbalik badan dan kedua lensa teduhnya memotret perawakan jangkung berwajah tampan dengan poni belah tengah yang jatuh di atas sepasang alis hitam legam berbentuk garis dengan kedua ujung yang sedikit menyiku. Jikalau dipadu padankan dengan mata tajam berkharisma itu, Adam memang patut dicap sebagai seorang remaja tampan yang tak bisa didebat dan disanggah ketampanannya itu oleh siapapun.     

"K--kamu ngapain di sini?" tanya Davira sedikit gelagapan kala menyadari posisi berdirinya terlihat sedikit intim dengan remaja itu. Jika Adam Liandra Kin maju dua langkah lagi, maka bisa dipastikan bahwa posisi intim layaknya sepasang kekasih yang sedang beradegan mesra adalah posisi yang diambil oleh keduanya saat ini.     

Adam tersenyum singkat. Tatapan tajamnya kini memblokir seluruh fokus milik Davira. Seakan tak mengijinkan gadis itu untuk menatap objek lain selain dirinya. "Bantuin kamu," jawabnya singkat di sela-sela senyum manis yang mengembang di atas bibir tipis merah muda miliknya.     

Davira mengambil satu langkah mundur diikuti dengan Adam yang juga mengambil satu langkah maju untuk mengiringi pergerakan gadis yang ada dalam jangkuannya. Sialnya, langkah Adam jauh lebih lebar dari langkah mundur milik Davira.     

"K--kamu ... m--mau ngapain?" lirihnya kemudian. Terus berjalan mundur agar posisinya masih bisa dibilang wajar tak berlebihan dengan kata intim yang menyertai nantinya.     

Adam hanya diam. Terus tersenyum tanpa mau menggubris apa yang dikatakan oleh gadis berparas cantik dengan wajah sedikit pucat sebab polesan make up yang menghias di atas parasnya bisa dibilang amat sangat tipis hampir tak terlihat dan tak terasa kalau gadis itu sudah mengaplikasikan make up di atas wajah ayunya.     

Adam mendekatkan wajahnya. Sedikit membungkuk sebab Davira Faranisa hanya setinggi dada bidangnya. Masih dengan senyum dan tatapan yang tegas memblokir semua jalan fokus yang bisa diambil oleh gadis di depannya itu.     

Davira kini mulai kalang kabut kala posisinya sudah berada di sudut ruangan. Tubuh mungil sedikit semampai miliknya itu benar-benar sudah tak mampu untuk bergerak lagi saat ini sebab perawakan jangkung milik Adam benar-benar 'menguasai' segalanya saat ini.     

"Adam ...," lirih Davira memanggil nama remaja yang tegas terus memberi tatapan tajam sedikit aneh bak seorang singa yang sedang membidik mangsa dan siap untuk menyergap lalu memangsanya.     

Mamangsa? Ah, Sialan! Davira kini mulai berhalusinasi liar tak karuan arahnya. Sesekali melirik bibir merah muda yang semakin dekat dengan wajahnya. Bahkan, Davira kini merasakan embusan napas yang keluar dari lubang hidung mancung nan lancip milik Adam menerpa permukaan wajahnya.     

Gadis itu memejamkan matanya perlahan. Merapatkan bibirnya sembari terus mencoba mengatur napas juga detak jantungnya yang sudah tak karuan irama dan ritmenya.     

Davira menunggu. Tunggu! Untuk apa ia menunggu? Apa yang ia tunggu saat ini? Mengapa ia memejamkan matanya sekarang?     

"Kenapa kamu menutup mata?" bisik Adam padanya kemudian. Terkekeh kecil di bagian akhir kalimatnya kemudian kembali menjauhkan wajahnya dari Davira.     

Gadis itu membuka cepat matanya. Menatap sinis remaja yang jelas tersenyum aneh untuk merespon tingkah konyol dari seorang gadis dingin bernama Davira Faranisa. Jujur saja, Adam sendiri pun tak pernah menyangka bahwa Davira bisa berpikir secepat dan tergesa-gesa seperti itu. Mungkinkah gadis itu selama ini menginginkannya? Bukan pasal hubungan yang lebih intim dengan Adam, namun pasal kecupan hangat yang membekas di hatinya.     

"Pergi," gumam gadis itu merintah dengan nada lirih. Membuang tatapannya jauh ke samping agar tak menatap Adam yang masih saja memberi sorot mata tajam miliknya sembari mengembangkan senyum penuh ejekan untuk aksi yang baru saja dilakukan oleh Davira.     

"Makasih udah bantu nyari sepatu," lanjutnya kemudian. Mendorong tubuh jangkung Adam agar memberinya celah untuk bisa pergi meninggalkan remaja itu sebelum suasana canggung benar-benar membentang di antara keduanya saat ini.     

Adam sigap menarik tangan gadis itu. Membuatnya berputar hingga kembali menatap remaja sialan yang terus saja tersenyum tanpa ada rasa bersalah sebab sudah memberi harapan pada Davira barusan. Tunggu, Davira berharap pada Adam? Dasar konyol!     

"Makasih udah manggil nama aku," kata Adam melunak. Melepas genggaman tangannya sembari sedikit berjalan mundur agar menciptakan celah di antara keduanya.     

Davira mengernyitkan keningnya. Selain brengsek suka bermain cinta bersama gadis-gadis cantik, Adam juga tipe remaja aneh yang selalu saja pandai bermain kata-kata acak untuk membuat suasana menjadi romantis ala-ala drama korea yang sering ditontonnya kala waktu libur datang menyapa.     

"Ini pertama kali kamu manggil nama aku dengan nada menenangkan," imbuhnya mempersingkat.     

"Hm," erang Davira kemudian kembali memutar tubuhnya dan berlalu untuk meninggalkan Adam di dalam ruang dapur. Kembali menghampiri Arka juga Raffa yang dalam dugaan Davira, pastilah mereka bertanya-tanya sedang apa Davira juga Adam di dalam ruang dapur tanpa pengawasan dari orang tua juga orang ketiga yang nantinya berguna mencegah hal-hal konyol yang mungkin saja dilakukan oleh keduanya. Berciuman misalnya.     

"Kamu bilang kalau kamu akan tetap di sini jikalau aku bertamu ke rumah kamu," sela Adam kembali menghentikan langkah milik Davira Faranisa.     

"Sekarang aku sedang bertamu di rumah kamu," lanjut Adam kini mulai melangkah mendekat ke arah gadis yang masih memilih untuk diam bungkam tak bersuara atau setidaknya memberi sedikit respon untuk menjawab kalimat dari Adam Liandra Kin barusan.     

"Jadi?"     

"Jangan pergi," jawab remaja itu kemudian.     

Davira tertawa kecil kemudian. Berjalan mendekat ke arah remaja yang baru saja mengunci bibirnya setelah kalimat singkat itu lolos begitu saja dari bibir merah muda tipis miliknya.     

"Aku hanya bercanda tadi," ucap Davira terkekeh kecil. Lagi-lagi berpaling dan meninggalkan Adam untuk kembali berjalan keluar dari ruang dapur dan menghampiri Arka juga remaja yang memaksa untuk ikut dengannya beberapa waktu lalu—Raffa.     

***LnP***     

"Kalian ngapain lama banget berduan di dalam dapur?" Arka kini menginterupsi kala sepasang lensa teduhnya memotret perawakan tubuh Davira yang baru saja keluar dari ambang pintu dengan membawa sepatu olahraga kesayangannya dalam genggaman tangan kiri gadis itu.     

Davira tak mengubris. Hanya diam dan berdiri sejenak kemudian menatap Arka yang jelas menunggu jawaban darinya. Kemudian melirik Adam yang juga datang mengekori langkahnya keluar dari dalam ruang dapur.     

"Gue tanya kamar mandi di mana," sahut Adam berdusta. Sejenak hanya mendapat respon berupa perubahan ekspresi milik Arka juga sang adik, Raffa. Namun, pada akhirnya mau tak mau keduanya hanya bisa mengangguk paham tanpa mau mendebat lagi sebab Davira yang selaku tuan rumah pun begitu.     

"Gue udah selesai, ayo pulang." Davira kini membuka suaranya. Menatap Arka yang tersenyum tegas sembari mengangguk-anggukkan kepalanya.     

"Kalian bisa habiskan dulu minumnya, setelah itu—"     

"Gak usah, Kak. Kita juga mau balik. Kasian mama sendirian di rumah," sahut Raffa dengan suara seraknya. Meneguk sekali lagi sirup jeruk yang ada di depannya kemudian bangkit dan memberi salam pada Davira juga Arka yang hanya tersenyum manis untuk memberi respon.     

"Kita pulang dulu," kata Adam dengan sopan kala sang adik tegas memberi tatapan untuknya.     

"Hm, hati-hati di jalan." Gadis bermata bulat itu menyahut ringan. Senyum yang mengembang di atas paras ayunya kini terlihat benar-benar dipaksakan mengiringi kepergiaan Raffa juga sang kakak yang menjadi tamu istimewa tak diudang malam ini.     

Davira menatap kepergian keduannya yang hilang kala memutuskan untuk benar melangkah keluar melalui ambang pintu. Menyisakan aroma parfum Adam Liandra Kin yang masih tercium samar menari-nari di dalam lubang hidung milik Davira. Gadis itu menghela napasnya berat. Kemudian memindah tatapannya sejenak ke arah remaja sebaya yang masih menatapnya dengan tatapan aneh penuh tanda tanya. Mungkin, Arka masih bertanya-tanya apa yang dilakukan Davira juga Adam di dalam ruang dapur tadi? Sebab, alasan mencari kamar mandi sedikit tak masuk di akal bagi seorang Arka Aditya.     

Namun mau diapakan lagi, kalau Davira sudah diam tanpa mau memberi klarifikasi yang jelas, maka mau diapakan juga dan mau bagaimana pula pertanyaannya tak akan pernah mendapat jawaban dari gadis beralis lengkung bulan sabit itu. Sebab bagi Davira, urusan pribadinya hanyalah miliknya sendiri. Orang lain, tak berhak untuk tahu dan tak perlu untuk mengerti.     

"Besok lo mau jogging beneran?" tanya Arka tiba-tiba memecah lamunan milik gadis yang masih berdiri tegap di depannya itu.     

Davira menoleh. Sekarang hanya ada mereka berdua di sini sebab suara motor moge milik Adam yang terdengar samar barusan menandakan bahwa remaja itu sudah memutuskan untuk pergi dari rumahnya bersama sang adik untuk pulang ke kekediaman nyaman miliknya sendiri.     

"H-hm," erang Davira ringan. Canggung tiba-tiba terasa begitu jelas membentang di antara keduanya. Membuat Davira terus saja mencoba menghindari kontak mata dengan remaja yang jelas ingin memblokir segala fokus miliknya itu.     

Canggung? Untuk apa Davira canggung pada Arka? Ah, sebab pernyataan cinta dari remaja sialan ini beberapa waktu lalu.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.