LUDUS & PRAGMA

44. Mari Berbicara Pasal Hati!



44. Mari Berbicara Pasal Hati!

0Senyum sang surya merekah seiring dengan sinarnya yang tegas turun menghangatkan seluruh penduduk yang ada di muka bumi. Riang gembiara suara pedagang kaki lima yang saling bersaut-sautan untuk menawarkan barang dagangan mereka pada khalayak umum yang berlalu lalang di depannya. Tak peduli suara serak dan keringat bercucuran membasahi kedua sisi pelipis mereka sebab tenaga yang dikerahkan sedikit berlebihan hanya untuk selembar dan sekoin uang demi menyambung kehidupan. Di sebuah taman kota luas area dan tempatnya inilah Davira juga Arka menghabiskan pagi sembari menguapkan rasa lelah setelah satu jarum jam penuh berputar menyusuri angka demi angka yang mengelilingi di setiap sisi bagiannya mereka habiskan untuk berlari kecil sembari berbincang ringan dengan sesekali menjeda sebab aturan napas yang tak karuan ritmenya. Duduk di atas rerumputan hijau sembari meluruskan kedua kaki mereka dan memusatkan seluruh sorot mata jauh ke depan. Menatap objek yang tak karuan posisi sebab ramai adalah suasana yang terjadi kala minggu datang menyapa.     
0

Semua yang ada di area ini sebagian besar berpakain dengan model yang sama, celana olahraga panjang atau pendek yang dipadukan dengan kaos berbahan sama dan sepasang sepatu lari yang menjadi pembungkus telapak dan jari jemari kaki mereka agar tak langsung memijak kasarnya aspal jalanan. Davira menyerah setelah lima putaran ia lahap habis bersama dengan remaja yang menjabat sebagai sahabat masa kecilnya itu. Menarik tubuh Arka agar menyudahi segala 'penyiksaan' yang benar-benar mengganggu dirinya saat ini. Hawa panas yang menguasai bersama ribuan tetes keringat yang membasahi tubuhnya menjadi alasan Davira untuk tak lagi memaksa sepasang kaki jenjang miliknya itu berlari menyelesaikan putaran yang ke-enam kalinya.     

Davira kini meraih sebotol air putih dan membuka tutupnya. Sejenak melirik Arka yang masih menatap jauh pedagang kaki lima dengan barang dagangan yang memenuhi kedai sederhana miliknya itu. Kemudian menghela napasnya ringan dan ikut menoleh menatap Davira. Gadis yang ditatap kini mengalihkan pandangannya. Sigap meminum air putih yang ada dalam botol di genggaman tangan kanannya dan meneguknya kasar hingga habis tak bersisa.     

Sumpah, kalau sudah tak ada aktivitas begini rasa canggung kembali menghampirinya juga Arka hanya sebab satu permasalahan yang belum tegas jawaban penyelesaiannya. Baik Arka maupun Davira, masih menganggap bahwa momen yang terjadi antara mereka berdua waktu itu belum usai hingga saat ini, menyisakan tanda tanya besar terkait mau dibawa kemana hubungan keduanya saat ini?     

"Ra," panggil Arka melirih. Membuat gadis yang baru saja meneguk habis air putih di sisinya itu menoleh sembari sejenak menaikkan sepasang alis melengkung bulan sabit miliknya itu.     

"Soal kemaren lo sama Adam, beneran dia cuma tanya kamar mandi?" tanyannya melanjutkan. Kemudian memindah fokus untuk menatap gadis yang kini diam bungkam tak bersuara untuk beberapa detik.     

"Dia bohong rupanya," sambung Arka terkekeh kecil seakan sudah paham apa yang ada dalam pikiran gadis yang tetap cantik meskipun ribuan tetes keringat sudah menghapus make up yang ada di atas paras cantik jelitanya itu.     

"Dia hanya bantuin aku cari sepatu dan pamit pulang." Dusta! Sungguh Davira tak mengerti pada dirinya sendiri saat ini, mengapa jikalau sudah menyinggung pasal Adam Liandra Kin maka dusta dan saling menutupi kebohongan dengan membuat kebohongan baru selalu saja dilakukan oleh gadis itu belakangan ini? Bukankah Arka adalah sahabat baik yang akan selalu mendengar segala macam bentuk cerita dan keluh kesal dari Davira Faranisa? Ya. Arka akan selalu tetap menjadi orang yang seperti itu untuk Davira. Hanya saja, gadis itu yang mulai lain semenjak Adam datang dan selalu ingin mengedor pintu hatinya agar diijinkan masuk oleh si tuan rumah.     

"Adam kayaknya beneran suka sama lo," tutur Arka dengan nada melirih. Sejenak menunduk untuk menatap jari jemari panjangnya yang dengan kasar mencabuti rumput hijau yang menjadi alasnya duduk santai sembari melepas lelah setelah memutuskan untuk ikut bersama Davira menghabiskan minggu pagi dengan melatih jantung agar tak kurang ajar dengan detakkan yang tak karuan kala sedang beraktivitas berat nantinya.     

Rencana awal sih, Davira ingin pergi seorang diri tanpa membangunkan Arka yang jelas masih akan terlelap dalam mimpi indahnya kalau siang belum datang menyapa. Namun seakan telah mendapat karunia terindah dan terlangka yang ada di dunia dan alam semesta, remaja itu sudah berdiri di ambang pintu kamar Davira dengan tema pakaian yang sudah tak bisa diragukan lagi kalau Arka berniat untuk ikut berolahraga pagi bersamanya di taman kota.     

"Aku tahu." Davira menyahut dengan nada singkat tak mau berbasa-basi jikalau sudah menyingung kalimat itu. Ia bukanlah gadis bodoh yang tak pernah paham bagaimana tingkah seorang laki-laki kalau sedang mengejar gadis impiannya. Tingkah dan perilaku itu mirip dengan apa yang dilakukan oleh si brengsek, Adam Liandra Kin.     

"Terus?" Arka kini menautkan kedua alisnya kala jawaban singkat penuh keambiguan itu lolos dari dalam mulut Davira dan terdengar seperti sebuah kerelaan dari gadis itu perihal apa yang sedang terjadi padanya.     

"Terus apanya?" protes Davira kembali melirik Arka dan mengembangkan senyum seringai khas miliknya.     

"Lo gak keberatan?"     

"Kita tak bisa menyalahkan orang atas perasaan yang dipunyainya. Mencintai bukan sebuah dosa 'kan?" tutur gadis itu menjawab dengan helaan napas di bagian akhir kalimatnya.     

"Dan lo bakalan bales perasaan Adam?" Arka kini sedikit menyerongkan tubuhnya untuk bisa menatap dengan benar paras cantik milik sahabat kecilnya yang sudah berubah menjadi gadis dewasa penuh dengan rahmat Tuhan yang diberikan melalui lukis wajah cantik dengan sepasang mata bulat yang dihias bulu mata lentik juga sepasang alis tipis nan rapi berbentuk lengkungan bak pelangi indah yang muncul setelah badai dan hujan datang menghantam bumi.     

Davira kembali menghela napasnya. Menyeka sisa keringat yang masih jelas menetes melalui kedua sisi pelipisnya. "Entahlah. Gue cuma benci semua laki-laki sepertinya."     

"Karena dia brengsek?" tanya Arka terkekeh kecil. Kini mengulurkan tangannya kemudian mengacak puncak kepala Davira dengan kasar. Gadis yang tadinya tenang dengan nada lirih dalam setiap ucapannya itu kini mendengus kesal. Ia benar-benar benci disentuh dalam keadaan sedang berkeringat seperti ini.     

"Siapa sih yang gak lo sebut brengsek? Bahkan gue yang udah baiknya kayak ibu peri begini masih lo sebut brengsek," gerutu Arka kemudian.     

"Kisah kami sama," sahut Davira di sela-sela dengusan yang diiringi dengan kekehan kecil dari Arka. Remaja di sisi Davira itu kini menghentikan tawa ringannya, merubah sorot matanya menjadi sayu nan teduh penuh makna kala suara Davira benar-benar terdengar bak orang putus asa sebab usahanya tak membuahkan hasil apapun.     

"Kami?"     

"Mama dan aku." Gadis itu kini menarik napasnya dalam-dalam. Membuangnya perlahan untuk mencoba tetap tenang dan memastikan bahwa menangis bukanlah adegan yang akan mengiringi setiap kalimat melankolis yang mungkin sedikit sensitif topiknya ini.     

"Mama pernah cerita tentang masa remajanya bersama pria itu, katanya ... pria itu sangat menyukai mama. Mengejar mama kemana pun ia pergi. Selalu ada dan mengekori apapun aktivitas yang dilakukan mama," ucap Davira kini mulai menjelaskan.     

Arka kini memutar tubuhnya. Posisi duduknya yang tadinya bak orang sedang berjemur di bawah sinar mentari itu kini berubah menjadi layaknya anak sekolah dasar yang sedang mendengar gurunya bercerita. Posisi sopan dengan melipat kakinya bersila dan memberi segala fokus tatapan juga sepasang telinga untuk mendengar apapun yang dikatakan oleh gadis di sisinya itu.     

"Apa yang dilakukan mama adalah apa yang gue lakukan saat ini. Mama menolak dan membenci pria itu sebab dia terlalu buruk untuk disebut sebagai seorang laki-laki baik. Mama tak akan bisa hidup dengan laki-laki yang suka bermain bersama para gadis cantik seusianya, karena bagi mama cinta bukan pasal fisik yang mempesona. Cinta adalah pasal saling memberi kerpecayaan dan keyakinan penuh bahwa tak akan pernah ada yang saling menyakiti. Mama ... tak bisa memberi kepercayaan itu padanya," imbuh Davira sembari terus menatap ujung jari jemarinya yang saling bertaut sama lain untuk menghilangkan kegelisahan yang ada dalam dirinya.     

Arka melirik segala aktivitas yang dilakukan oleh Davira. Kini ia paham, seseorang yang ada di dalam cerita singkat dari yang tak utuh sebab gadis itu menyela dengan helaan napas dan bungkam diam sejenak tak berusara itu adalah kedua orang tuanya. Tentu, gadis itu tak akan pernah mau menyebut papa kandungnya dengan sebutan 'papa' sebab, bagi Davira papanya sudah tewas bersama dengan kenangan yang ada dalam dirinya. Namun hari ini, gadis itu memunculkan lagi kenangan tentang orang yang sama yang disebutnya sebagai 'pria itu'.     

"Tapi mama mengingkari janji pada dirinya sendiri. Dia memberikan kepercayaan dan hidupnya untuk mengabdi pada pria yang salah. Menjadikannya seorang wanita hebat yang sudah menyia-nyiakan hidupnya hanya untuk pria brengsek dan sialan seperti itu." Davira menutup kalimatnya dengan nada gemetar. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan air mata yang memaksa lolos keluar sebagai tanda betapa terluka hatinya saat ini.     

Arka mengangguk. Mengulurkan tangannya kemudian mengusap puncak kepala gadis di sisinya itu. "Itu yang lo takutin?" tanya Arka asal menebak.     

Davira kini menggembangkan senyum miris yang membuat hati siapapun terasa dicabik-cabik kalau melihatnya. Menggeleng tegas pada Arka yang diam sejenak kemudian mengangguk mengerti.     

"Kisah kita hanya sama sampai di situ. Gue gak akan merubah keputusan gue. Adam adalah laki-laki brengsek, dan gue membenci segala macam bentuk laki-laki brengsek sepertinya," pungkas Davira menutup kalimatnya dengan tegas.     

Arka masih diam. Seakan masih ingin memprotes apa yang dikatakan gadis cantik di sisinya dengan tegas. Batinnya masih berkecamuk. Seakan semua yang dikatakan oleh Davira tak benar adanya. Bukan pasal sepenggal cerita si mama dan si papa yang terdengar begitu miris menyayat hati, namun pasal kalimat bahwa ia tak akan pernah menerima Adam apapun alasannya. Sebab Arka mengenal baik seorang Davira Faranisa. Tatapan mata gadis itu seolah sedang berkata lain, tak seperti apa yang terucap dari celah bibir merah muda sedikit pucat miliknya itu.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.