LUDUS & PRAGMA

45. Hatiku Mencintaimu!



45. Hatiku Mencintaimu!

0Desir sang bayu lembut membelai helai demi helai rambut panjang gadis yang dibiarkan terikat kuda dengan menyisakan beberapa helai yang entah disengaja atau tidak, dibiarkan terurai melampaui batas telinganya. Sejenak setelah rasa lelah menguap bersama hilangnya butir demi butir keringat yang menetes, sepasang remaja itu kini bangkit bersamaan sembari membenarkan baju mereka yang sedikit terlipat sebab posisi duduk nyaman yang mereka ciptakan barusan. Kini langkah keduanya tegas menyusuri aspal kasar jalanan yang menjadi pijakan alas sepatu mereka. Davira sesaat diam. Menatap jauh ke depan yang sedikit ramai oleh lalu lalang orang bertujuan sama dengannya. Olahraga pagi membelah semilirnya hawa dingin bayu yang berhembus guna mempersehat dan membugarkan jiwa serta raga.     
0

"Habis ini mau pulang?" tanya Arka menyela langkah. Gadis di sisinya menoleh sejenak. Tak bersuara hanya mengangguk sembari bergumam lirih tanda setuju dengan apa yang ditanyakan oleh Arka barusan.     

"Gak mau mampir makan pagi dulu?" imbuhnya kembali membuka suara bariton khas miliknya.     

Davira menggeleng. "Masakan mama lo lebih enak," ucapnya tertawa ringan. Membuat remaja di sisinya ikut tertawa dengan suara bariton khas miliknya.     

Kembali hening sejenak membentang di antara keduanya. Menciptakan suasana canggung lagi-lagi terasa kalau tidak ada obrolan dan pembicaraan seperti saat ini. Sekarang, Davira paham akan satu hal. Kalimat yang ia sanggah dengan tegas adanya perihal laki-laki dan perempuan tak akan pernah bisa berteman selamanya itu benar adanya. Akan ada satu rasa yang ber-asa di atas hubungan persahabatan itu. Memberikan segenap rasa bukan lagi sebagai seorang sahahat, namun sebagai seorang laki-laki yang amat mencintai gadis yang ada di sisinya saat ini. Menaruh harapan penuh untuk si gadis bisa membalas perasaannya. Akan tetapi tak semua rasa bisa mendapat balasan sesuai dengan apa yang diharapkan, seperti layaknya rasa yang dimiliki oleh Arka teruntuk Davira misalnya.     

"Ra," panggil remaja itu lirih. Membuat gadis yang sedari tadi menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari suasana baru tak terus menatap apa yang ada di depannya itu menoleh tegas. Menaikkan kedua sisi alisnya kemudian mengerang ringan untuk memberi respon.     

"Soal perasaan gue ke—"     

"Gue nolak," sahut Davira tegas. Memotong kalimat Arka dengan kalimat singkat yang jika dirasakan dengan benar maknanya, maka akan terasa begitu menyayat batin. Gadis cantik bermata bulat di sisinya itu baru saja menegaskan bahwa ia menolak segala macam bentuk perasaan cinta Arka si sahabat kecilnya itu dengan tegas tanpa keraguan sedikit pun.     

"Gue belum selesai ngomong," tuturnya melunak. Menundukkan kepalanya sejenak untuk menyembunyikan senyum kecut yang menggembang di atas paras tampan sedikit berkeringat miliknya itu kemudian kembali menengadah untuk menatap lurus jalanan di depannya.     

"Lanjutkan kalau begitu." Davira mengimbuhkan dengan nada tegas dan penuh penekanan miliknya.     

Arka menghirup napas dalam-dalam. Mengembuskannya perlahan kemudian sejenak menatap gadis yang juga ikut menatapnya dengan tatapan teduh.     

"Gue minta maaf." Arka mulai membuka suaranya lagi. Kalimat singkat yang menyertakan kata maaf itu kini benar-benar membuatnya tak mengerti, untuk apa remaja itu meminta maaf padanya?     

"Karena meskipun lo nolak gue, gue akan tetep suka sama lo," lanjutnya kemudian.     

Davira menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya serong kemudian memberi segala fokus tatapannya untuk Arka Aditya yang mau tak mau harus dipaksa berhenti untuk mengimbangi apa yang dilakukan gadis di sisinya itu.     

"Itu terserah lo. Semua keputusan lo, milik diri lo sendiri. Semua keputusan gue, milik gue juga." Davira kini mengakhiri kalimatnya dengan senyum simpul. Mengulurkan tangannya kemudian menepuk perlahan pundak lebar milik remaja yang sudah bertahun-tahun lamanya hidup mendampinginya itu.     

"Bagi gue, lo tetep Arka si bocah sialan yang suka bikin gue ketawa. Lo akan tetep jadi sahabat gue apapun situasinya," kata gadis itu memberi pengertian. Kembali menarik tangannya sesaat setelah puas menepuk bahu remaja itu untuk memberi isyarat pada Arka bahwa semuanya akan tetap sama dan baik-baik saja setelah kejadian ini.     

"Jadi jangan minta maaf ke gue," pungkasnya kembali menutup kalimat. Kembali mengambil langkah untuk berjalan menyusuri jalanan kecil beraspal kasar yang hanya dipenuhi puluhan orang asing tak ada kendaran bermotor layaknya jalanan besar di jalan raya.     

Arka kembali mengekori. Sedikit mempercepat langkahnya untuk bisa berjalan mendahului Davira dan memutar tubuhnya menghadap gadis yang kini memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie yang dikenakannya.     

"Jadi gue boleh manggil lo sayang?" kekehnya mencarikan suasana. Berjalan mundur agar tetap bisa mengiringi langkah gadis yang kini berdecak kasar sembari tersenyum aneh.     

"Lo mau mati di tangan gue?" kelitnya di bagian akhir tawa ringan yang ia ciptakan.     

"Lo adalah sahabat gue. Lo lebih penting dari seorang pacar atau suami. Lo sahabat gue!" tegasnya menjitak kening remaja yang kini mengerang lirih sembari kembali memutar tubuhnya untuk bisa berjalan beriringan bersama Davira dengan langkah yang benar nan nyaman.     

"Kalau Adam nyatain perasaannya sama lo lagi? Lo mau nolak dia lagi?" Arka kembali mengalihkan topik pembicaraan mereka.     

Davira menoleh. Mengerutkan kedua sudut matanya kala pertanyaan yang dilontarkan barusan terdengar sedikit aneh meningat Davira tak pernah bercerita pada remaja di sisinya itu perihal momen saat si brengsek Adam Liandra Kin menyatakan perasaannya untuk Davira. Juga, ia tak pernah mengatakan bahwa ia menolak mentah-mentah remaja ber-visual tampan dengan fisik yang amat sangat mumpuni itu.     

"Lo tau dari—" Ucapan Davira terhenti kala menyadari bahwa ia melewatkan satu fakta bahwa Adam dan Arka adalah teman satu tim dalam memperjuangkan satu piala kemenangan.     

"Cih, dasar tukang gosip," gumamnya melanjutkan kalimat. Remaja di sisinya menoleh. Sedikit membungkuk untuk bisa menelisik perubahan wajah gadis yang ada di sisinya itu. Aneh, itulah ekspresi yang terlukis di atas paras ayunya saat ini.     

"Gimana?"     

"Apanya?" sahut gadis sejenak melirik Arka yang jelas menunggu jawaban darinya.     

"Kalau Adam nyatain cintanya lagi sama lo, lo bakalan—"     

"Bisa gak gak usah bahas dia hari ini?" protes Davira memutar bola matanya malas. Sejenak menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya malas untuk meladeni remaja yang terus saja meminta jawaban pasti darinya itu.     

"Kenapa lo selalu aja mikirin hal-hal aneh yang gak akan pernah terjadi di masa depan?" Davira kini kembali bersuara dengan nada malas. Entah apa yang sebenarnya dipikirkan oleh remaja dengan tinggi yang hampir setara dengan Adam Liandra Kin itu. Selalu saja menyingung pasal remaja aneh yang sumpah demi apapun sangat mengganggu dalam benak seorang Davira Faranisa. Gadis itu tak pernah dusta jika mengatakan bahwa ia takut. Takut kisah sang mama akan hadir dan menyertai dalam takdirnya juga. Melihat mamanya hancur dan berada di dalam titik terendahnya waktu itu saja sudah membuat Davira membenci setengah mati pria tua berkumis tipis yang dengan teganya mengatakan pada sang mama bahwa ia akan kembali melangkah ke pelaminan sebab si wanita simpanan sedang mengandung anak mereka. Membawanya duduk di hadapan sang mama juga Davira yang masih belum bisa mencerna segala keadaan dengan yang terjadi saat itu. Hingga remaja adalah waktu yang tepat untuknya mengetahui semua kesalahan yang sudah membuat hati mamanya hancur berkeping-keping hingga saat ini.     

"Gue 'kan cuma tanya. Gak ada salahnya 'kan gue tanya sama lo?" pungkas Arka menutup kalimatnya. Kembali berjalan setelah sesaat terhenti sebab ingin terus mengimbangi apa yang dilakukan oleh gadis di sisinya itu.     

"Kalau gue lupa, ingetin gue." Davira kembali menyela. Menarik tangan Arka untuk kembali membawa remaja itu mendekat dan menghentikan langkahnya.     

Remaja itu menoleh. Memutar tubuhnya untuk menatap remaja sebaya dengan pakaian ala kadarnya tak seperti Davira yang selalu terlihat mewah dengan segala busana yang membalut tubuh mungil sedikit semampainya itu. Penampilan sederhana nan apa adanya itu tak mengurangi sedikit pun pesona yang ada dalam dirinya. Meskipun bukan bandana indah yang membalut kepalanya, bukan juga anting berlian yang menghias di kedua sudut telinganya dan tidak sedang mengaplikasikan make up bermerk dengan harga fantastis, akan tetapi bisa ditegaskan bahwa hanya dengan rambut terikat kuda yang tak rapi, wajah polos sebab make up amat sangat tipis dan pakaian apa adanya saja sudah membuat gadis itu layak untuk terus dipandang dan dipuja puji tiada hentinya.     

"Maksud lo?" tanya Arka memastikan.     

Davira tersenyum singkat. Melepas genggaman tangan yang menggenggam erat pergelangan tangan milik Arka Aditya kemudian mengembuskan napasnya kasar.     

"Soal Adam."     

Keduanya diam sejenak. Saling padang juga melepar ekspresi sayu sendu penuh pengharapan satu sama lain. Entah apa yang diharapkan Arka dari Davira Faranisa. Namun, yang jelas gadis dengan mata bulat dan hidung standar serta bibir mungil itu amat sangat menaruh harapan besar pada sang sahabat untuk tak terus membiarkan Adam menerobos masuk ke dalam pertahanan yang ada dalam dirinya. Sebab jujur saja, pertahanan yang dimaksudkan Davira saat ini sudah mulai goyah sedikit demi sedikit sebab kekokohan remaja brengsek itu.     

"Apa yang lo harapin dari gue untuk bisa selalu ngingetin lo tentang Adam?" lirihnya bertanya.     

"Tampar gue, hina gue, dan caci gue kalau gue menjilat ludah gue sendiri." Davira menjawab dengan tegas. Menatap Arka yang kini diam tak mampu bersuara untuk memberi respon terhadap kalimat yang baru saja diucap oleh Davira Faranisa barusan.     

Bagi seorang Arka Aditya, Davira Faranisa bukan lagi sahabat kecil yang suka menangis di sudut kelas sebab tak mampu menyesuaikan dengan lingkungan barunya atau takut dengan teman-teman yang tubuhnya lebih besar dan lebih kekar darinya. Bagi remaja tampan itu Davira adalah seorang gadis yang sudah menarik hatinya. Ia mencintai Davira dengan segenap hati. Bukan lagi seorang remaja yang ingin selalu ada untuk sang sahabat dengan menjaga dan menjadi pendengar yang baik, Arka ingin meminta lebih dari itu. Ia ingin menjaga Davira dan menjadi bagian dari hidup gadis itu sebagai seorang pacar laki-laki.     

Permintaan gadis yang baru saja dilontarkan untuknya itu tak akan pernah bisa dilakukan oleh Arka apapun alasannya. Menampar? Meskipun hanya tamparan dalam makna lain, Arka tetap tak akan pernah bisa melakukannya. Sebab yang akan terluka bukan hati gadis itu, namun hatinya!     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.