LUDUS & PRAGMA

47. Teruntuk Rasa dalam Kata.



47. Teruntuk Rasa dalam Kata.

0"Gue emang suka sama lo, tapi ... gue gak bisa berkomitmen lebih dari ini."     
0

"Apa alasannya?"     

"Sebab hubungan kita sudah baik-baik saja dan terasa nyaman tanpa harus saling mengikat perasaan."     

Percakapan singkat yang sedikit menggores bantin itulah yang menjadi kalimat terakhir di antara keduanya sebelum Adam juga Kayla memutuskan melanjutkan makan dan menghabiskan semua menu yang sudah mereka pesan. Tak banyak interaksi yang terjadi di antara keduanya sebab saling diam tak bersuara adalah aktivitas penutup pertemuan mereka di dalam kafe bergaya modern yang memang dibangun khusus sebagai tempat 'nongkrongnya' anak muda jaman sekarang. Setelah semuanya selesai, Adam memutuskan untuk menghantar Kayla pulang ke rumahnya sebelum senja benar bertugas mengakhiri sengatan sang surya yang seakan ingin membakar semua komponen yang ada di bawahnya.     

Mogenya kini berjalan sedang menyusuri padatnya Kota Jakarta yang memang tak pernah sela meskipun itu hari libur seperti sekarang ini. Selalu saja ada yang memenuhi jalanan kota seakan tempat umum ini adalah rumah kedua untuk mereka.     

Setelah menghantar Kayla ke rumahnya, Adam tak ingin langsung menyambangi rumahnya sebab dalam tebakan remaja itu pastilah rumah dalam keadaan sepi sebab papanya tak pulang sejak kemarin malam. Kalau-kalau pun pulang siang ini, tak ada gunanya untuk Adam Liandra Kin. Yang dicari papanya kalau pria tua sedikit tambun itu pulang ke rumah bukanlah si anak pertama yang baru saja menginjak masa remaja itu. Namun, si adik pendiam nan penurut yang selalu mematuhi segala perintah sang ayahanda tanpa bantahan juga celaan sebab perintah yang dilontarkannya tak pernah masuk akal. Seperti mengharuskannya untuk meneruskan perusahaan di mana bakat Adam bukanlah mengatur karyawan dan segala yang ada di dalam sebuah bagunan besar yang disebut kantor. Bakatnya adalah bermain bola juga bermain bersama gadis-gadis cantik layaknya Davira juga Kayla Jovanka.     

Remaja itu kini membelokkan stir motornya. Berbelok di ujung perempatan jalan untuk sejenak duduk bersantai tiada teman sebab ia benar-benar ingin sendiri saat ini. Menghabiskan senja tak bersama siapapun hanya ada dirinya juga bayangan yang menemani.     

Bangunan sedikit besar nan mewah terlihat jelas oleh sepasang lensa teduhnya kala ia memutuskan untuk memelankan laju motor dan menepi di sisi kosong jalanan yang memang dikhususkan untuk para pengunjung kafe.     

Kafe lagi? Ya. Namun bukan kafe yang sama yang baru saja disambanginya bersama Kayla, kafe ini sedikit lain. Tak ramai seperti kafe-kafe pada umumnya sebab di sini hanya para lelaki muda juga dewasa yang datang untuk sejenak menepulkan asap rokok dari dalam mulutnya sembari mengopi ria bersama para sahabatnya.     

Adam memarkirkan mogenya. Mematikan mesin dan turun kemudian melepas helm hitam yang ia kenakan. Langkahnya kini tegas masuk ke dalam.bangunan. Mendorong pintu kaca dan kini hawa dingin jelas menerpa lembut permukaan putih susu kulitnya. Remaja itu kini memesan dan memilih duduk di sudut ruangan. Bukannya apa, Adam datang ke sini bukannya untuk merokok seperti beberapa pria dewasa tak tua yang kira usianya sedikit jauh di atas itu. Ia juga tak akan memesan alkohol dan wine yang menjadi minuman andalan di tempat ini. Tenang saja, meskipun tempat yang di desain ala-ala gaya tempat dari negara barat itu dicap sebagai tempatnya orang dewasa dan 'orang bar-bar' berkumpul, namun di sini masih ada jus, makanan yang nyaman dicerna perut, bahkan air putih pun masih disediakan di sini. Jadi, jangan menganggap Adam itu remaja 'nakal' hanya sebab ia datang ke tempat seperti ini.     

Remaja itu kini celingukkan. Bukan sebab mencari seseroang, namun sedang mencoba untuk menyesuaikan dengan situasi barunya saat ini. Semuanya yang datang membawa temannya. Hanya dia seorang saja yang terlihat bak orang menyedihkan tanpa sahabat juga tanpa kekasih yang menjadi peneman hari-hari senggangnya saat ini. Padahal jikalau ditelisik dengan benar, paras tampan dan fisik mumpuni miliknya menjadi pendukung utamanya dalam mencari gadis dengan mudah. Ditambah lagi, Adam Liandra Kin itu anaknya orang berada.     

"Silakan menikmati pesanannya kakak." Suara pelayan yang datang menghampirinya sembari membawa nampan berisi segelas jus dan beberapa potong kentang goreng menginterupsi hingga membuat Adam sejenak menoleh dan mengangguk ringan. Menunggu si pelayan untuk menyelesaikan aktivitasnya menurunkan semua menu yang dipesan Adam beberapa waktu lalu.     

"Terimakasih, kak. Ada yang ingin dipesan lagi?" tanyannya dengan nada ramah kala Adam menyodorkan uanh tips padanya.     

Remaja itu menggeleng. Membiarkan si pelayan pergi setelah mengakhiri kalimatnya dengan senyum ramah yang menghias di atas paras tak tampan juga tak buruk rupa miliknya itu. Standarnya orang Indonesia-lah!     

Adam kini menyeruput jus yang ia pesan. Kemudian meraih sepotong kentang goreng di depannya dan memasukkannya ke dalam mulut. Tatapannya terlihat tak acuh pada sekumpulan laki-laki yang mungkin seusia dua hingga tiga tahun lebih tua darinya. Jikalau mereka bersekolah di tempat yang sama, mungkin orang-orang itu adalah senior yang duduk di bangku sekolah tahun terakhir. Bisa dikatakan, mereka seusia dengan gadis cantik yang selalu saja mengirimi Adam pesan sebab sedang gundah hatinya kemarin malam, Kak Lita.     

"Di sini lo rupanya?!" pekik suara gadis yang terdengar tegas penuh penekanan. Membuat seisi kafe menoleh padanya. Tak terkecuali Adam yang baru saja ingin kembali menyeruput segelas jus dalam genggamannya.     

Remaja yang baru saja menoleh itu kini merubah ekspresinya terkejut. Tak mengira akan bertemu dengan senior yang baru saja disebutnya dalam anggan-anggan itu.     

Gadis itu berjalan tegas ke arah sekumpulan remaja yang baru saja menghentikan tawa mereka sebab kedatangan dari Lita. Entah siapa yang dituju oleh gadis yang benar-benar terlihat cantik nan anggun dengan celana panjang jeans hitam yang apik dipadukan kemeja merah tua berkerah V dengan sepasang sepatu boots hitam yang membungkus kedua kakinya itu. Polesan make up sederhana telihat natural namun mampu menunjang segala kecantikan agung karunia dari Sang Pencipta. Yang jelas, ekspresi wajah Kak Lita sedang tak bersahabat kali ini.     

Membuat Adam sejenak tak berkedip dan memutuskan untuk mengurungkan aktivitasnya barusan. Meletakkan segelas jus yang ada dalam genggamannya kemudian melipat tangannya rapi di atas meja. Seakan menunggu adegan yang akan terjadi setelah ini. Dalam tebakannya sih, pasti akan 'peperangan' yanh mengucang dunia dan jaga raya. Namun, perang sebab apa?     

"Kita putus!" kata si gadis yang baru saja menghentikan langkahnya. Melempar beberapa kertas yang ada dalam genggamannya ke wajah salah satu remaja yang terlihat sedikit tua dari Kak Lita. Mungkin, usia 20 hingga 21 tahunan? Entahlah. Yang terpenting bagi Adam saat ini, mengapa Kak Lita mengucap kata putus yang ditujukan untuk remaja yang kini berdiri sembari melirik kertas yang berserak di bawahnya. Kemudian memusatkan kembali tatapannya untuk si gadis yang terus menatapnya penuh amarah.     

"Honey, kita bisa—"     

"Kita putus." Suaranya kini melirih. Menampik tangan berotot yang baru saja ingin meraih tubuh tingginya agar mendekat ke arahnya.     

Adam menganggguk ringan kali ini. Baiklah, Kak Lita menipunya perihal ia adalah seorang gadis tak punya kekasih dan tambatan hati.     

"Gue gak bisa hidup sama cowok brengsek kayak lo," lanjutnya mengimbuhkan. Kali ini berjalan mundur seiring dengan langkah si mantan kekasih yang mendekat ke arahnya.     

"Kita bisa bicaraain ini baik-baik, oke?" tawarnya memohon. Namun seakan kecewa sudah mengakar dalam hati gadis berambut panjang itu, ia tak ingin mendengar apapun lagi kali ini. Termasuk kalimat-kalimat bualan si remaja yang baru saja resmi menjadi mantan kekasihnya itu.     

"Dia cuma temen aku. Kita—"     

"Gue mau putus ya putus!" sela Lita menaikkan nada bicaranya. Sekarang semua tatapan mata tertuju padanya. Pada gadis bodoh yang berteriak di dalam ruangan tak terlalu luas dengan pendingin ruangan yang menjadikan hawa dingin di tengah panasnya kota jakarta saat ini.     

"Lita ...."     

Gusar! Adam melihat sepasang lensa sang laki-laki benar gusar saat ini. Seperti ia akan kehilangan orang terbaik dalam hidupnya jikalau ia tak sigap mencegah kepergian gadis berparas ayu di depannya itu.     

"Lepasin tangan gue," lirih Lita melirik genggaman tangan remaja sedikit tampan yang baru saja mencegahnya untuk pergi.     

"Dengerin penjelasan gue dulu." Suara bariton itu kini kembali menyela. Memblokir segala fokus milik Lita dengan sepasang lensa hitam miliknya.     

"Gue muak liat wajah lo. Lo cuma bajingan brengsek yang suka bermain di atas tubuh wanita!" katanya tegas melepas kasar genggaman laki-laki di depannya itu kemudian kembali meneruskan langkahnya untuk menjauh dari si laki-laki. Akan tetapi, naas nasibnya kali ini sebab yang baru saja diumpatinya benar-benar naik pitam kali ini. Meraih bahu gadis berambut panjang itu kemudian melayangkan satu tamparan kasar di atas pipi kanannya.     

Semua orang yang baru saja menyaksikan adegan kekerasan terhadap seorang gadis itu kini mulai berekasi. Tak terkecuali Adam yang sigap bangkit dan berjalan tegas ke arah dua tokoh utama dalam drama melankolis yang menyayat hati penontonnya itu. Segera menampik tangan si laki-laki yang jauh lebih besar dari tangannya.     

"Lo siapa? Bocah aja ikut campur!" protesnya pada Adam.     

Baiklah, ia tak suka disebut bocah mengingat usianya sudah menginjak masa remaja tahun ini.     

"Lo gak denger dia bilang kalau dia muak lihat muka lo?" Adam menyahut dengan nada ketusnya. Kasar tangan berototnya itu melepas genggaman yang ditujukan untuk laki-laki di depannya itu guna menghalau tamparan kedua agar tak mendarat di atas pipi kiri Kak Lita.     

"Gue juga muak liat drama begini." Adam terkekeh kecil di bagian akhir kalimatnya.     

"Lo itu siapa, sih? Bocah gak usah ikut campur urusan orang dewasa!" tukas si laki-laki dengan nada tegas.     

"Gue ...." Adam menghentikan sejenak kalimatnya. Menatap ke arah gadis yang kini terus memegangi pipi kanannya yang terasa begitu panas sebab tamparan kuat baru saja mendarat di atas sana.     

"Gue suka sama dia." Adam kini menutup kalimatnya. Menarik gadis yang mengalihkan sorot matanya untuk menatap Adam tak percaya. Kalimat itu benar adanya? Atau hanya terucap guna dijadikan tameng agar masalah tak berlarut-larut lagi?     

"Jadi, makasih karena lo udah mau nglepas dia. Karena sebab itu, gue jadi bisa milikkin dia sekarang." Adam tersenyum. Menarik tubuh Lita untuk mendekat padanya.     

Keduanya kini berjalan menjauh. Meninggalkan kerumunan orang yang masih diam dengan tatapan aneh untuk Adam juga Lita. Hari ini, Adam kembali menujukkan pada dunia bahwa kebrengsekannya itu bukan hanya ia gunakan untuk mempermainkan hati para gadis yang mendekatinya, namun juga untuk membantu melegakan hati yang sedang terluka.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.