LUDUS & PRAGMA

50. Teruntuk Hati dan Kasih Sayang



50. Teruntuk Hati dan Kasih Sayang

0Petang datang bersama awan hitam yang tegas membentang di atas cakrawala menyelimuti bumi dan seluruh isinya. Benar dugaan Adam, bahwa ia akan sampai kala jarum jam menunjukkan pukul enam sore lebihnya beberapa menit. Setelah puas bercengkrama dengan si gadis cantik yang sudah menjamunya cukup baik sebagai seorang tamu tadi, Adam memutuskan untuk berpamit pulang dengan tak mengurangi kesopanannya terhadap si senior.     
0

Setelah berpuluh-puluh menit menyusuri jalanan kota, remaja jangkung itu akhirnya bisa sampai ke rumahnya. Melepas lelah juga penat sebab hal-hal konyol yang terjadi padanya hari ini. Jikalau diingat dengan benar, Adam sudah menyatakan perasaan cinta pada dua gadis cantik dalam satu hari dengan rentang waktu yang tak lama. Entah kebodohan apa yang membuatnya berlaku begitu, namun apa pun itu Adam 'kan memang dasarnya sudah brengsek!     

Remaja itu kini menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Memilih sejenak berbaring sembari menatap langit-langit kamarnya tanpa mau membasuh diri terlebih dahulu. Pikirannya kini melayang kembali pada Lalita juga sang adik cantik berusia sama dengannya, Rena. Jujur saja, berbincang cukup lama dengan Lalita tak membuat semua rasa yang mengganjal dalam benak remaja jangkung ber-visual tampan itu ludes sebab semua terjawab dengan benar tak perlu diragukan karena mendapat jawaban dari sang narasumber terpercaya. Ada beberapa yang masih mengganggunya hingga saat ini. Perihal kalimat Rena yang mengatakan atau lebih tepatnya memperingatkan Adam untuk berhati-hati terhadap Lalita. Sungguh, Adam benar-benar tak mampu mencerna kalimat itu dengan benar. Jikalau dilihat dari sikap Lita dan peringainya pada Adam, gadis itu bisa dibilang amat sangat baik dengan segala keramahan yang ada ditunjukkan pada remaja jangkung itu.     

Mungkinkan Rena hanya menunduh kakaknya sebab hubungan keluarga mereka yang tak harmonis?     

Adam kini menggeleng samar. Berdecak kesal sebab rasa penyesalan kini terbesit di dalam benaknya. Bukannya menyesal sebab sudah mengulurkan tangan untuk Lalita tadi, namun rasa menyesal sebab ia mengiyakan ajakan gadis yang sama untuk sejenak mampir ke rumahnya. Membuatnya bertemu pada si adik aneh yang suka bermain dengan kata-kata. Sungguh, kalau Adam sudah 'kepo' begini ia tak akan bisa tenang nantinya.     

Remaja itu kini meraih ponsel yang ada di sisinya. Membuka layar kemudian menatap segala isi yang ada di dalamnya. Satu nomor yang tak dikenalnya masuk sebagai sebuah pesan singkat yang menuliskan namanya sebagai kata pembuka.     

Adam bangkit dari tidurnya. Kini membuka gelembung pesan untuk tau isi dari pesan yang kini mengganggu masuk ke dalam pikirannya. Bibir tipisnya komat-kamit samar membaca setiap rentetan kalimat yang ada di sana. Entah mengapa seluruh fokus ia berikan hanya untuk satu pesan dari nomor baru yang tak dikenalnya itu. Akan tetapi, setelah semua kata demi kata dibacanya dengan lirih satu nama yang mengakhiri pesan membuatnya sejenak mematung. Memasang ekspresi tegang sedikit terkejut sebab gadis aneh itu kini mengiriminya pesan singkat dengan kalimat yang sama untuk berhati-hati pada sang kakak, Lalita.     

Adam menutup aplikasi chatting-nya. Kini masuk ke sebuah aplikasi yang banyak digunakan para kaum muda di era modern ini. Mengetikkan nama Lalita untuk bisa menjangkau akun media sosial gadis yang sekarang menjadi objeknya dalam menaruh segala kecurigaan dan ketidakpercayaan. Entahlah pada siapa ia harus percaya. Pada Rena si gadis aneh yang baru dikenalnya atau pada Lalita si gadis baik yang entah bagaimana kondisi dalam hatinya itu.     

Matanya terus saja bekerja sama dengan jari jemari panjangnya untuk bisa menemukan akun milik Rena. Bukan untuk hal jahat sih Adam mencari tahu perihal gadis yang mungkin hanya setinggi bahunya kalau benar dijajarkan dengan Adam Liandra Kin. Ia hanya ingin paham, mengapa Rena begitu membenci kakaknya melalui rekam jejak yang ada di media sosial.     

"Ketemu!" katanya tegas kala nama gadis bersama dengan rupa paras cantiknya terpotret jelas oleh sepasang lensa hitam miliknya.     

Adam kembali membaringkan tubuhnya. Jarinya tegas menggeser naik layar ponsel untuk bisa terus menyelami apa yang ada di dalam akun gadis remaja berponi tipis itu. Cantik, wajahnya sangat cantik! Sedikit ada semburat wajah oriental seperti milik Kayla Jovanka jikalau seseorang jelas menatap rupa gadis itu. Matanya sedikit tajam menyipit di bagian kedua sisinya. Bibirnya tipis sedikit bergelombang dengan hidung mancung mirip Lalita. Senyumnya tipis, tak pernah benar menggembang kalau-kalau seseorang sedang memotretnya. Rambutnya panjang ikal di bagian ujung. Kulit putih bersih tiada luka yang menyempurnakan fisik gadis berlensa teduh itu.     

Adam tersenyum tipis. "Cantik juga," gumamnya lirih. Tunggu! Bukan itu tujuannya masuk dan menyelami akun media sosial milik Rena. Tujuan awalnya adalah menemukan apapun yang terkait dengan kebencian gadis itu pada sang kakak.     

KLEK! Suara gagang pintu ditekan kini menyita fokus milik Adam. Belum sempat ia benar bangkit untuk menatap ke arah ambang pintu yang perlahan terbuka, si tamu lancang yang kini merobos masuk ke dalam kamarnya tanpa permisi itu sudah berdiri di sisi ranjangnya. Sejenak menatap layar ponsel sang kakak yang masih dipenuhi dengan wajah asing seorang gadis cantik.     

Ia tersenyum picik. "Kakak punya gebetan baru lagi?" tanyanya kemudian. Tak mau menunggu jawaban dari sang kakak, remaja yang usianya satu tahun lebih muda dari Adam itu kini merangkak naik ke atas ranjang. Mengambil posisi nyaman dan kembali mengeluarkan ponsel yang ada dalam kantong celananya.     

"Ngapain kamu ke sini? Kamar kamu kenapa?" Adam bertanya dengan nada lirih. Menatap sang adik yang benar-benar terkesan cuek tak peduli dengan keberadaan kakaknya di sini. Padahal 'kan yang datang menumpang adalah Raffa bukannya Adam. Namun, yang bersikap layaknya pemilik ruangan adalah si remaja berponi yang paras dan fisiknya identik dengan milik sang kakak, Adam Liandra Kin.     

"Aku mau tidur di sini," sahut Raffa ketus. Tak mau menoleh dan merubah arah sorot matanya.     

Adam yang tadinya diam kini mulai menghela napasnya kasar. "Karena mama lagi?" tanyannya menyela. Meraih ponsel Raffa agar adiknya itu mau sejenak memberi fokusnya untuk Adam. Sebab jikalau si adik semata wayang yang akan segera menginjak masa remaja itu sedang tak enak hatinya, maka jangan salahkan dirinya kalau-kalau enggan bersikap sopan pada siapapun yang mengajaknya berbicara. Tak terkecuali Adam sang kakak yang katanya menjadi panutan untuk Raffa nantinya.     

"Balikin hp-nya, Kak!" rengek Raffa mencoba meraih ponsel yang ada di genggaman tangan kakaknya. Namun, sigap Adam mengelak dan menampik tangan milik adiknya itu. Sebentar saja, ia ingin sebentar saja Raffa mendengar segala kalimat yang mungkin saja akan terdengar bak nasehat orang tua pada anaknya.     

"Kenapa kamu gak nyaman kalau mama nyamperin dan tidur di kamar kamu?" Adam kini mulai menginteruksi. Memblokir segala fokus milik adiknya agar tak bisa menatap objek lain selain dirinya.     

"Karena aku udah gede. Masak anak cowok yang udah gede tidur sama mamanya?!" pekik Raffa menggerutu kesal. Lagi-lagi mencoba menghindari tatapan sepasang lensa tajam milik Adam.     

"Alasan!" kata remaja jangkung itu tegas. Membuat Adiknya menghentikan sejenak aktivitas dan mulai menatap sang kakak sebab apapun yang ditebak remaja yang satu tahun lebih tua darinya itu adalah benar adanya. Raffa sedang beralasan. Perihal mama yang selalu datang ke kamarnya tengah malam untuk tidur di sisinya. Bagi mama, Raffa masih seorang bocah yang tak pantas untuk mengerti kekacuan yang sedang ada dalam rumahnya. Papanya yang jarang pulang adalah salah satu dasar alasan hati wanita tua yang sudah melahirkannya itu rendah nan gelisah.     

Mama selalu datang dan mendekap tubuh Raffa. Pernah sesekali remaja itu terbangun dalam mimpinya. Tak membuka mata, namun telinga dan rasa sudah peka. Mama meneteskan air matanya. Hangat butiran itu menyentuh salah satu bagian permukaan kulit Raffa. Isak memang tak ada, namun lirih suara sang mama mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja apapun alasannya. Semua? Apa? Entah. Raffa pun tak mengerti kata dengan kata 'semua' yang selalu diucapkan sang mama kala wanita itu menyambangi kamarnya.     

Setelah peristiwa itu, Raffa selalu terbangun di tengah malam dengan sang mama yang sudah mendekapnya erat. Seakan tak ingin melepas sang anak pergi atau meninggalkannya pergi. Mamanya tak pernah tahu, jikalau anak laki-lakinya itu selalu terbangun dan mendengar suara hati sang mama yang terdengar lirih namun mampu menyakiti hatinya.     

"Jelaskan!" ucap Adam memerintah.     

"Kalau kakak gak mau ditumpangin tidur bilang aja," gerutunya marah. Wajahnya kini merah padam. Kakanya itu memang tak bisa diajak kompromi!     

"Bukannya begitu. Pasti ada alasan kenapa kamu gak mau tidur sama mama," tutur Adam memberi pengertian.     

Raffa diam. Bungkam enggan bersuara apapun lagi saat ini.     

"Jelaskan. Aku janji setelah kamu jelasin, kamu boleh tidur di sini." Adam memberi penawaran. Mengacungkan kelingkingnya untuk membuat tanda janji dengan adiknya yang sedang merajuk itu.     

"Mama selalu ngeluh." Raffa kini membuka suaranya. Tegas menatap Adam yang dibuat bungkam sebab kalimat singkat yang tak dipercaya akan keluar dari mulut adik semata wayangnya itu.     

"Terus?"     

"Aku muak." Raffa menjawab ketus. Meraih ponselnya kasar sesaat melihat Adam lengah dengan apa yang dikatakannya barusan.     

Muak? Adiknya muak dengan sang mama? Sebab apa? Hanya sebab mamanya mengeluh setiap malam? Itulah rentetan pertanyaan yang ada di dalam kepala remaja itu saat ini. Tak ia sangka, kalau Raffardhan Mahariputra Kin akan mampu berucap demikian teruntuk wanita yang sudah melahirkannya.     

"Apa yang dikeluhkan mama?" tanya Adam melirih.     

Raffa kini menyeringai tegas kala pertanyaan yang diharapkan lolos dari celah bibir milik abang-nya itu terdengar jelas di dalam lubang telinganya.     

"Mama bilang ... semua akan baik-baik saja."     

Adam tersenyum. Tawa kecil kini lolos dari bibirnya. Lucu? Tidak. Namun, ia hanya ingin tertawa saja. Sebab kalimat itu sangat sederhana tak seperti apa yang ada dalam bayangannya.     

"Lalu mama melanjutkan ...."     

"Katanya, ia tak akan pernah meninggalkan papa juga kita."     

Deg! Adam kini ikut terdiam. Kalimat itu adalah kalimat yang paling ditakutkan oleh Adam. Meskipun terdengar tak akan pernah, namun pastilah fakta akan membalikkan semua yang ada. Kalimat mamanya itu adalah sebuah pertanda. Bahwa rumah tangganya dan sang papa, sedang berada di ujung tanduk.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.