LUDUS & PRAGMA

51. Purwarupa



51. Purwarupa

1Deg! Adam kini ikut terdiam. Kalimat itu adalah kalimat yang paling ditakutkan oleh Adam. Meskipun terdengar tak akan pernah, namun pastilah fakta akan membalikkan semua yang ada. Kalimat mamanya itu adalah sebuah pertanda. Bahwa rumah tangganya dan sang papa, sedang berada di ujung tanduk.     
0

"Kenapa kamu gak kunci pintunya aja?" ucap Adam ikut menyandarkan tubuhnya ke belakang. Mengambil posisi nyaman agar bisa berjajar rapi dengan adik semata wayangnya yang kini diam tak bersuara dan enggan menanggapi kalimat tanya dari kakaknya itu.     

"Kenapa kamu gak kunci pintu—"     

"Aku udah jawab pertanyaan Kak Adam tadi, perjanjian tak berlaku untuk pertanyaan kedua dan selanjutnya." Raffa menjawab dengan nada ketus. Tak memalingkan wajahnya dan terus memusatkan tatapannya ke arah layar ponsel.     

Adam tersenyum miring. Mengulurkan tangannya kemudian mengacak kasar puncak kepala adik semata wayangnya itu. Lalu menyandarkan tubuhnya ke belakang dan meletakkan ponsel miliknya di atas meja sisi ranjang.     

"Kalau nanti malam mama nyariin kamu gimana?" tanya Adam melirih. Sedikit mencondongkan badannya dan memiringkan kepala untuk bisa menatap paras tampan yang identik dengannya itu.     

Raffa diam. Bungkam tak mau bersuara dan hanya terus memusatkan tatapan sorot lensa teduhnya itu masuk menjelajahi setiap sudut layar ponsel yang diberikan sang ayah sebagai hadiah ulang tahunnya tahun lalu.     

"Oke kalau begitu," tukas remaja itu kembali dengan suara lirih dan nyaman terdengar kala sang adik hanya diam mengabaikan. Adam Liandra Kin, meskipun ia adalah remaja brengsek dengan segala peringai kurang ajarnya terhadap perasaan para gadis-gadis cantik, namun jikalau sudah menyangkut adiknya Adam pasti akan berlaku baik dan hangat. Ingin memanjakan sang adik dengan caranya sendiri. Tak selalu dengan uang dan harta serta fasilitas yang luar biasanya kerennya. Cukup dengan kata mengerti yang selalu ia selipkan di setiap adegan bercengkrama ringan dengan sang adik.     

"Cewek yang kakak cerita waktu itu, Kak Davira orangnya?" tanya Raffa membuka suaranya lirih. Adam yang baru saja ingin kembali meraih ponselnya itu, kini diam sejenak sembari menatap sang adik tegas. Menaikkan kedua alis hitamnya tanda tak mengerti hati remaja tampan bertubuh jangkung itu pada apa yang dikatakan Raffa barusan.     

"Cerita kakak waktu itu. Tentang gadis yang menarik hati kakak selain Kak Kayla," imbuhnya menjelaskan singkat. Kini Adam tegas mengangguk-anggukan kepalanya. Tersenyum tipis kemudian samar bibirnya berucap kata iya untuk memberi respon pada sang adik.     

"Jangan bilang gadis yang kamu temui beberapa waktu lalu yang udah mencuri—"     

'"Bukan Kak Davira." Raffa menyahut dengan nada ketus. Merubah sorot matanya menatap sang kakak yang diam merapatkan bibirnya kemudian tersenyum aneh.     

"Aku bertemu banyak gadis cantik. Kakak pikir kakak aja yang bisa bertemu banyak gadis?" kekeh Raffa di bagian akhir kalimatnya. Sekadar ingin membuat sang kakak lega, begitulah alasan dustanya kali ini terucap tegas dengan menggunakan suara lirih sedikit serak miliknya itu.     

Tentu, Adam dan Raffa sedang menyukai satu gadis yang sama di sini. Gadis yang berlain sifat jikalau bersama Adam dan jikalau bersama Raffa. Davira lebih hangat dan membuka tangannya lebar untuk pertemanannya dengan Raffa. Alih-alih menolak sebab remaja itu adalah adik kandung dari Adam, Davira menerimanya dengan lapang dada. Bagi gadis itu, wajah mereka mungkin identik namun ia yakin kalau hati dan peringai serta cara berpikir mereka berdua tak sama. Sebut saja sebagai kembar yang lahir di hari berbeda juga dengan sifat yang berbeda pula. Kalau orang-orang menyebutnya, bak langit dan bumi, Air dan api, juga siang dan malam yang tak akan pernah bisa disamakan dan disatu padukan.     

"Jadi siapa?" tanya Adam menggoda.     

Raffa berdecak. Melirik sinis sang kakak yang terus saja mengganggunya. "Raffa gak tanya namanya."     

Adam menjauhkan wajahnya. "Terus? Kamu suka sama orang kamu sendiri gak tau siapa namanya? " tutur remaja itu memincingkan kedua matanya. Adiknya ini memang benar tak diciptakan Tuhan untuk merasakan indahnya masa puber. Mencintai dan mengangumi gadis secara fisik bukanlah keahlian dari seorang Raffardhan Mahariputra Kin.     

"Aku suka sama wajah dan sifat baiknya. Bukan suka sama namanya," jawabnya ketus.     

"Cih, dasar!" gerutu Adam kembali mengacak kasar rambut pekat milik Raffa.     

***LnP***     

Kerikan jangkrik mengiringi setiap gerak pena yang luwes menari-nari membelah dinginnya hawa malam. Semilir bayu yang datang merambah masuk melalui celah jendela bertirai putih bersih yang sedikit terbuka sebab si penghuni ruangan sengaja tak menutup dengan benar karena pengap dirasa tiada oksigen yang cukup untuknya bernapas. Berlebihan! Baiklah, Davira berlebihan! Ia membuka jendela bukan sebab itu. Sebab dirinya sedang bosan dengan pemandangan kamar yang itu-itu saja. Memilih membuka jendela agar bisa menatap ke arah luar yang sepi tak ramai sebab rumah Arka tak berada di sisi jalan raya. Matanya memang fokus pada setiap goresan ujung pesan yang menciptakan tulisan rapi nan indah penuh khayalan sebab Davira sendiri, tak tahu sedang menulis apa dirinya itu.     

Tugas kimia! Entah siapa yang sudah menciptakan mata pelajaran sesusah ini hingga menyebabkan seluruh sistem yang dalam otaknya tak berfungsi dengan baik kali ini. Melayang jauh entah ke mana perginya. Itulah definisi yang tepat untuk keadaan pikiran gadis cantik dengan kaos abu berlengan panjang yang apik dipadukan celana tidur dengan rambut kuncir kuda yang tak rapi sebab Davira asal mengikatnya. Sesekali berdecak kasar kala suara kerikan jangkrik benar-benar mengganggu fokusnya kali ini.     

Sebenarnya bukan! Bukan jangkrik yang membuat imajinasinya terhadap molekul-molekul gila itu terhambat adanya. Namun, memang pada dasarnya Davira itu bodoh kalau disuruh melahap segala materi yang amat sangat dibencinya itu.     

"Ra? Lo udah tidur?" Suara lirih menyelanya. Membuat gadis yang duduk bersila di atas lantai dengan satu meja kecil tempatnya meletakkan buku juga beberapa pena miliknya itu menoleh. Mengerang ringan tiada suara jelas yang mengikuti di bagian akhirnya.     

"Gue boleh masuk?" tanyannya kemudian.     

"Masuk aja. Pintunya gak dikunci," jawab gadis itu tegas. Kembali memutar tubuhnya dan mengembalikan fokus tatapannya mengarah pada rentetan kalimat yang ada di atas buku di depannya.     

Suara gagang pintu ditekan. Diiringi dengan lirih nan samar decitan pintu kayu dibuka hingga kini menampilkan tubuh remaja jangkung berbaju biru tua dan celana pendek selutut yang sejenak berdiri di depan ambang pintu. Menelisik setiap bagian ruangan setelah tak menemukan Davira di atas ranjangnya.     

"Lo ngapain di depan jendela gitu?" tuturnya berjalan mendekat.     

Davira tak menjawab. Hanya diam dan terus memfokuskan sorot lensa teduhnya masuk ke dalam setiap susunan indah kalimat di depannya itu.     

"Ngerjain tugas sambil kelesotan? Lo mau pinjem meja belajar gue aja?" tawar Arka ikut duduk di sisi Davira.     

Gadis itu menggeleng samar. Tersenyum singkat kemudian kembali meneruskan aktivitasnya dalam menggarang indah dengan selipan beberapa kalimat berteori yang menjadi dasarnya dalam menjawab.     

"Lo udah ngerjain tugasnya?" Gadis itu kini membuka suaranya. Arka yang duduk rapi dengan arah tatapan tak sama dengan Davira itu kini menoleh sejenak. Menggelengkan kepalanya samar kemudian tersenyum kuda.     

"Lo mau ijin lagi?" tanya Davira menebak dengan tinggi nada yang tak sama di bagaian akhir kalimatnya.     

"Kompetisi taunannya 12 hari lagi," sahut Arka dengan nada santai.     

Gadis di sisinya berdecak kesal. "Gue nyesel temenan sama lo di sekolah," ucapnya melirih.     

Arka diam. Menaikkan kedua sisi bahunya kemudian terkesan tak acuh dengan kalimat yang dilontarkan Davira barusan.     

"Besok gue mau pindah temen sebangku. Sama lo gak membantu sama sekali," imbuhnya menggerutu. Jujur saja, semenjak Arka selalu 'membolos' dengan dahlil alasan bahwa latihan di bawah panasnya terik sang surya demi mengasah bakat dan fisiknya sebelum benar bertempur itu membuat Davira kesepian. Di jam setelah istirahat pertama ia selalu duduk seorang diri. Kadang sih, ada Davina yang menemani. Namun, itupun tak lama! Gadis itu sama tak setianya dengan Arka Aditya. Katanya sih, tak enak hati dengan si teman sebangku yang sebenarnya kalau Davina terus berpindah-pindah tempat dan teman seenak jidatnya sendiri begitu.     

"Lo kangen sama gue kalo gue pergi?" kekeh Arka pada Davira     

Gadis itu menoleh. Berdecak kesal sembari memukul ringan puncak kepala Arka dengan pena yang ada dalam genggamannya. "Kangen pala kau!"     

"Ngomong-ngomong lo beneran gak akan nonton tanding gue sama sekolah seberang?" Arka kembali berbasa-basi. Menarik perhatian gadis yang kini menutup kasar buku tulis yang ada di depannya.     

"Gue gak suka keributan. Lo tau itu 'kan?"     

Remaja berponi itu mengangguk ringan. Melipat bibirnya sembari terus mencoba tersenyum kala menyadari betapa tak asik sahabat kecilnya satu ini. Davira bukan orang introvert, sebab gadis itu tak suka disebut dengan demikian. Katanya, semua orang itu sama dalam bersifat. Tak ada yang namanya introvert, ekstrovert, atau apalah itu namanya! Bagi Davira, yang membedakan hanyalah cara mereka memaknai hidup. Ada yang bahagia dengan suka membagikan kesenangannya bersama orang lain. Ada yang bahagia namun suka memendamnya sendiri, sebab bahagia itu mahal dan susah didapatkannya. Ada juga yang suka diam namun rasa sedang tenang. Ada yang diam, namun jiwa sedang riuh sebab masalah tak kunjung surut.     

Cara berbeda itulah yang membuat sebagian orang enggan berinteraksi dengan banyak orang di tempat ramai. Memendam dan diam menyindiri adalah cara ampuh untuk mengusir segala kegelisahan dan kegundahan serta kesedihan yang dirasa.     

"Terus kalau lo gak mau nemenin, siapa yang bakalan nemenin—"     

"Ada Davina. Gak usah manja," sahut Davira memotong kalimat Arka.     

"Tega lo ra!" kata remaja itu memprotes.     

Davira tersenyum picik. Tatapan yang tadinya tajam menelisik setiap ekspresi milik Arka Aditya kini merubah fokusnya untuk menatap halaman kosong nan gelap yang ada di bawahnya.     

"Jujur aja gue kangen mama. Padahal dia baru tiga hari pergi," kata Davira tersenyum singkat.     

"Tante Diana janji pulang kapan?"     

Davira menaikkan kedua bahunya. "Entah, mama bilang paling lama empat hari dihitung dari besok senin. Jadi, paling kamis," katanya menyahut ringan.     

"Iyakah?" Arka menyahut dengan nada ragu. Membuat gadis di sisinya kembali menoleh dan menatapnya aneh.     

"Kenapa?"     

Arka menggeleng. "Tanya doang."     

Davira diam. Wajah dan ekspresi Arka ... dia sedang berdusta dan menyembunyikan sesuatu perihal mamanya rupanya.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.