LUDUS & PRAGMA

53. Apa itu teman?



53. Apa itu teman?

0Candra kini meletakkan ponsel yang baru saja di kembalikan Adam untuknya. Menyiapkan jari jemari panjang dan kurus miliknya untuk menghitung nama-nama gadis cantik yang akan masuk dalam daftar taruhannya.     
0

"Kayla Jovanka," ucapnya memulai. Kali ini Adam menoleh. Tersenyum miring ke arah Candra.     

"Meila Sabila anak IPA-1, Fira Adelia, Davina Fradella, dan ...." Canda memutus kalimatnya kala tak ada lagi nama gadis cantik yang bisa disebut olehnya.     

"Davira Faranisa," sahut Adam tegas. Membuat Arka yang berdiri di sisinya menoleh.     

"Gue gak setuju. Kenapa bawa-bawa Davira?" protes Arka mencerca kalimat Adam barusan. Memang benar-benar brengsek orang satu itu.     

"Ada aturan pengecualian?" tanya Adam menaikkan kedua sisi bahu lebarnya. Membuat remaja sebaya usia dan setara tinggi dengannya itu kini diam bungkam tak mampu bersuara apapaun lagi. Sebab, kalimat Adam barusan tak mampu disanggah juga dibantah faktanya. Kecuali Candra dengan baik hati mau mengerti apa yang dirasakan Arka Aditya saat ini. Perihal nama Davira yang diikut sertakan dalam permainan 'bocah' milik tim basketnya itu.     

Candra kini bangkit. Berjalan ringan menyela posisi Adam juga Arka yang sejenak saling pandang untuk meluapkan segala kekesalan yang ada di antara keduanya. Entah sejak kapan rasa benci dan ingin bersaing satu sama lain demi mendapatkan Davira, untuk Adam, namun untuk Arka ia hanya ingin melindungi sahabatnya dari cengkraman buaya brengsek seperti Adam Liandra Kin itu timbul. Mungkin semenjak malam pengakuan Adam terhadap teman se-timnya itu tentang pengkungkapan perasaannya pada Davira? Entahlah. Yang terpenting untuk Arka saat ini adalah bagaimana cara menjauhkan Adam dari sahabat kecilnya, Davira Faranisa.     

"Untuk siapa yang akan didekat—"     

"Aku milih Davira." Adam lagi-lagi menyela. Bukan hanya Arka yang kini membulatkan matanya dan mengehela napasnya kasar. Namun juga semua yang ada di ruangan itu dan mendengarkan apa yang diucap oleh Adam bersama-sama menoleh pada remaja itu. Sebab yang diharapkan mereka adalah Adam akan menyebut nama Kayla yang jelas-jelas bisa membuatnya menang dengan mudah dalam taruhan ini.     

"Davira? Bukan Kayla Jovanka?" tanya Candra menyela.     

Remaja di sisinya menoleh. Mengangguk tegas sembari memincingkan matanya tajam. Senyum seringai mengembang di atas paras tampannya. Entah teruntuk siapa, yang jelas Adam sedang menang saat ini.     

"Bukankah itu gak adil? Kalau aku milih Kayla, tentu aku yang menang. Kalau Arka milih Davira, tentu Arka yang menang. Lainnya?" ucap remaja itu beralasan dengan lancarnya. Seperti memberi alasan demi menutupi kedustaan adalah hal yang sudah wajar dilakukannya sebelum ini.     

"Betul juga," sela seseorang dari sudut ruangan. Membuat Adam semakin jelas mengembangkan senyum di atas parasnya. Sedangkan Arka, jelas sedang mengerutukki dan mengumpati habis-habisan remaja brengsek satu itu. Bukan kalimat langsung yang menyita perhatian juga mengundang pertengkaran, namun batin yang berbicara ingin sekali menampar mulut Adam sebab kebrengsekan benar-benar mengakar dalam dirinya. Juga, Adam Liandra Kin itu ... licik!     

"Semua setuju?"     

Arka kini diam benar-benar tak mampu bersuara atau mengangkat suaranya lagi setelah serempak diserukan bahwa taruhan diterima dan mulai dilaksanakan besok pagi. Tak akan ada yang mengerti maksud dan tujuan Arka Aditya marah dalam diam saat ini. Sebab yang akan paham caranya berpikir guna melindungi sang sahabat adalah dirinya sendiri.     

"Lanjut ke lapangan kalau gitu," sambung Adam memberi interuksi dengan tegas. Membuat semua yang tadinya ada dalam ruangan kini berhambur keluar untuk menjemput keringat dan lelah hingga sore datang menyapa nantinya.     

"Lo gak ikut ke lapangan?" tanya Adam kala Arka masih mematung di tempatnya. Tak mau mengindahkan perintah dan interuksi dari kaptennya seperti teman-temannya yang lain.     

"Kenapa lo deketin Davira?" Arka kini membuka suaranya. Tanpa mau berbasa-basi lagi untuk mengulur waktu.     

"Karena gue suka dia." Adam menjawab dengan tegas. Ditatapnya lawan bicara yang baru saja menggertakkan giginya kasar. Arka kesal juga dongkol dengan sikap Adam belakangan ini yang selalu saja mengganggu sahabat kecilnya.     

"Karena fisiknya? Kayak cewek-cewek lain yang pernah lo deketin?" Arka melanjutkan. Cercaan pertanyaan darinya itu kini seakan ingin menghakimi Adam tanpa mau menunggu jawaban dari remaja sebaya dengannya itu.     

"Kayla dan Kak Lita! Itu maksud gue," tukasnya mengimbuhkan.     

Adam tertawa kecil. "Sebenarnya gue lebih tertarik sama adiknya Kak Lita."     

Bruk! Satu tinju mendarat ke arah pipi kiri remaja yang kini ambruk membentur sisi meja di sampingnya. Jika saja tak ada meja itu, Adam sudah tersungkur ke lantai sebab bogem mentah yang dilayangkan padanya secara tiba-tiba itu.     

"Cari target lain. Jangan sahabat gue," katanya mengakhiri kalimat. Menatap sekilas remaja yang masih tersenyum seringai sembari sesekali mengusap ujung bibirnya untuk memastikan tak ada darah yang keluar dari sana. Meskipun Adam yakin bahwa memar membiru adalah warna yang nantinya akan timbul kalau-kalau ia tak segera mengompresnya sekarang.     

"Gue kira kita udah sepakat untuk saling bersaing secara sehat." Adam kini kembali bangkit. Enggan membalas bogem mentah yang sudah membuat warna lain di atas paras tampannya itu dan memilih untuk mengulurkan tangan sembari menepuk-nepuk kasar pundak lawan bicaranya.     

"Gue gak tertarik bersaing sama lo." Arka menyelesaikan kalimatnya dengan nada ketus. Menampik kasar tangan Adam Liandra Kin yang masih ada di atas bahunya.     

"Gue kira lo temen gue, Dam. Tapi gue salah," gumamnya melirih. Masih dengan tatapan penuh amarah yang hanya dibalas dengan senyum getir dari lengkungan bibir milik remaja berponi belah tengah itu.     

"Lo yang buat keadaannya jadi kacau. Bukan gue," tukasnya menimpali.     

Arka diam sejenak. "Jauh Davira. Itu peringatan terakhir dari gue," pungkasnya melangkah pergi. Menjauh dari Adam yang masih berdiri tegap mematung di tempatnya tanpa ada balasan kalimat darinya sesaat.     

"Lo takut?" tanyanya menyela. Sedikit meninggikan nada bicaranya untuk bisa kembali mencuri perhatian remaja sebaya yang baru saja ingin keluar dari ruangan.     

"Kenapa gue harus takut?" ucap Arka sembari memutar tubuh jangkung miliknya. Kembali dua sorot lensa itu bertemu dalam satu titik. Saling pandang tak berekspresi sejenak menjadi aktivitas mereka kemudian. Sebelum akhirnya Adam tertawa kecil nan lirih sembari berjalan tegas menghampiri Arka yang sudah ada di tengah ambang pintu.     

"Sebab Davira ... mulai goyah," bisiknya kemudian. Untuk terakhir kalinya menepuk pundak remaja di sisinya itu lalu melangkah keluar untuk menuju lapangan. Meninggalkan Arka Aditya yang masih diam sembari memutar tubuhnya dan menatap setiap langkah kepergiaan Adam barusan.     

Remaja brengsek itu ... benar. Sangat benar! Davira mulai berubah. Entah sikap, caranya berbicara pada Arka terkait Adam, juga pasal gadis itu yang selalu saja menyembunyikan hal-hal penting mengenai remaja brengsek satu itu. Arka menyadari semuanya.     

***LnP***     

Laboratorium kimia, di tempat inilah Davira dan teman-temannya meregang nyawa, ah tidak! Yang dimaksud adalah membawa nyawa mereka bersama tubuh yang terlihat sehat jasmani rohani namun sebenarnya batin sedang bergejolak meminta langkah kaki untuk segera keluar dari penjara mengerikan ini. Di sudut ruangan dengan satu meja besar berisi beberapa gelas kaca dan cairan aneh yang katanya berbahaya tapi tak lebih berbahaya dari kata dan janji manis laki-laki itu-lah Davira juga Davina dan beberapa temannya berada. Mengerjakan projek laporan guna memenuhi tugas sebelum ujian pertengahan semester dilaksanakan.     

Untuk tugas yang mati-matian Davira kerjakan tadi? Gurunya yang kerap disapa sebagai "yang mulia nyonya besar" oleh teman-teman sekelasnya itu melupakannya. Kata si wanita yang selalu apik dengan seragam kerja dan polesan make up yang dipertebal di bagian bibirnya yang memang sudah tebal itu, tugas bisa dibahas dan dikumpulkan lain waktu. Akan tetapi untuk praktik ini, hanya sekaranglah waktu yang tepat untuk dilaksanakan.     

Persetanan memang. Kalau tau begini, Davira tak usah bangun sekalian tadi!     

Gadis itu kini menoleh ke sisi jendela ruangan. Menampilkan beberapa tim basket yang sudah asik dengan dunia mereka tak menghiraukan terik sang surya yang jelas terasa membakar kulit sebab waktu terus saja bertambah tua menjelang tengah hari datang. Di dalam ruangan ini saja, Davira merasa sudah gerah dan sedang dipanggang rasanya. Entah udara yang memang sedang surut tak ada sebab sang bayu merajuk tak mau berembus, atau memang karena suasana tegang yang memacu adrenalin sebab si guru terus saja memberi interuksi dengan suara tegas dan menyeramkan miliknya.     

"Lo ngeliatin siapa?" tergur Davina lirih. Membuat gadis yang tadinya memusatkan sorot matanya ke luar jendela itu menoleh cepat. Sejenak melirik Davina kemudian menatap sang guru yang mulai sibuk dengan 'les privatnya' pada kelompok murid di meja depan.     

"Gak liatin siapa-siapa," tukas Davira lirih sesaat memastikan aksi 'mengabaikan pembelajaran' yang ia lakukan tak diketahui oleh sang guru.     

"Arka? Candra? Atau A—"     

"Bukan siapa-siapa," ulang Davira tegas. Nada menggoda milik teman yang merupakan gadis cantik yang selalu bersamanya itu benar-benar terdengar menyebalkan saat ini.     

"Gitu aja ngambek," tuturnya singkat.     

"Lo pernah ngobrol sama Adam?" tanya Davira tiba-tiba. Membuat gadis di sisinya itu sejenak menghentikan aktivitasnya kemudian menatap Davira penuh makna. Baiklah, pertanyaan dari teman dekatnya itu sedikit aneh.     

"Maksud gue, lo 'kan anggota official basket. Lo akrab sama Adam?" Davira kembali bersuara untuk memperjelas kalimatnya barusan kala yang diberi pertanyaan hanya diam sembari memasang ekspresi heran tak mengerti.     

"Gak akrab juga. Sebab kita jarang ngobrol langsung."     

Davira mengangguk-anggukan kepalanya mengerti.     

"Gue ngobrolnya sama Arka dan Candra. Adam sedikit pendiem orangnya," lanjutnya menjelaskan singkat.     

Davira tersenyum singkat. Menundukkan wajahnya untuk menyembunyikan lengkung bibir di atas paras cantik jelitanya itu agar orang yang ada di sisinya tak bisa melihat senyum tipis miliknya saat ini.     

"Kenapa senyum?"     

Gagal total! Davina melihat senyum itu.     

"Enggak papa. Pengen senyum aja," ucapnya singkat.     

Ada alasan gadis itu tersenyum. Sebab kata pendiam mengikuti setelah nama Adam Liandra Kin disebut. Karena jikalau dibandingkan dengan semua yang sudah diperbuat remaja itu untuk meluluhkan hatinya, kata pendiam benar-benar tak cocok untuk mendeskripsikan peringai yang dimiliki seorang Adam Liandra Kin.     

Lalu apa? Entahlah. Lucu sedikit menyebalkan mungkin. Ups!     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.