LUDUS & PRAGMA

54. Gadis Munafik dan Laki-laki Tak Baik.



54. Gadis Munafik dan Laki-laki Tak Baik.

0Siang datang bertugas bersama sengatan sang surya yang seakan membakar semua komponen yang ada di muka bumi. Hawa panas kini jelas merambah masuk melalui celah kancing baju menicu keringat untuk terus keluar membasahi celah-celah tubuh yang tertutup rapat oleh busana yang dikenakannya. Gadis yang tadinya mengikat rambut separuh dengan jepit rambut yang menghias di sisi kepalanya itu kini sudah merubahnya menjadi kuncir kuda yang menampilkan leher jenjang miliknya. Berjalan tegas menyusuri lorong demi lorong untuk sampai ke perpustakaan sekolah tempatnya meminjam buku guna menambah ilmu. Fiktif! Semua alasan yang dilontarkam Davira perihal kedatangannya ke perpustakaan sekolah untuk menambah ilmu, semua itu adalah bualannya semata. Yang dicari gadis itu bukan buku setebal kitab suci yang penuh dengan kalimat berteori serta kata-kata baku yang membuat bosan jikalau orang itu tak suka membaca buku.     
0

Kehadiran Davira di sini hanya sebab dirinya tak suka berada di dalam kelas sendirian. Sebab Arka masih berada di dalam ruang basket disusul oleh Davina yang juga ada di tempat yang sama. Mungkin semua akan paham mengapa remaja poni dengan hidung standar-nya orang tanah jawa itu berada di dalam ruang basket bersama seluruh timnya. Untuk beristirahat sejenak melepas lelah sebelum akhirnya kembali bertempur dengan hawa panas dan teriknya sinar menatari yang datang menyorot ke bumi. Namun untuk Davina? Entahlah. Davira Faranisa terlalu malas untuk bertanya ini itu perihal urusan yang dilakukan oleh teman sekelasnya itu. Davina Fradella hanya berpamitan dengan kalimat singkat yang menginformasikan bahwa ia akan berada di dalam ruang basket istirahat ini. Kalau pun urusannya belum selesai, mungkin ia akan kembali ke dalam kelas untuk mengikuti jam pembelajaran sedikit terlambat nantinya. Juga, gadis cantik bermata kucing itu mengimbuhkan padanya jikalau Davira ingin mencari Davina sebab rindu atau apapaun alasannya, bolehlah ia datang menyambangi ruang basket yang akan ramai oleh seluruh tim dan anggota basket official.     

Untuk urusannya? Sekali lagi Davira tegaskan bahwa ia tak peduli. Selama tak ada yang menyeret namanya dan memasukkannya ke dalam urusan itu, Davira tak akan pernah mau mengambil pusing hal-hal sederhana semacam itu. Kalaupun ia bosan sebab tak ada teman, tinggallah ia berjalan menyusuri lorong dan mencari tempat sejuk nan sepi untuk melepas bosan dengan sejenak merekreasikan otaknya berimajinasi pasal hubungan romantis yang ada dalam novel.     

Ya, itulah tujuan gadis yang kini sudah berada di dalam ruang perpustakaan. Berjalan ringan menyusuri setiap rak demi rak untuk mencari apapun yang menarik perhatiannya. Semenjak bersekolah di tempat ini, Davira tak sekalipun datang ke tempat yang benar-benar tenang nan damai dengan suasana bersih dan rapi. Udara di sini pun sejuk sebab dua pendingin saling bekerja sama untuk melengkapi tugas satu sama lain. Benar-benar tempat bak surga dunia untuk seorang Davira Faranisa.     

Gadis itu akhirnya mengambil satu novel yang ada di sisinya. Memang sih warna dan bentuknya tak menarik, namun sejauh ini tak ada yang benar-benar bisa menarik perhatiannya selain novel yang kini dibawanya menuju salah satu bangku bermeja kotak kecil yang saling berjajar rapi memenuhi tengah ruangan yang sengaja dibuat tertutup layaknya meja di bilik pemilihan umum.     

Ia menarik kursi perlahan. Duduk meletakkan tubuh mungil sedikit semampainya itu di atas kursi. Mulai membuka lembar pertama dan sedikit demi sedikit matanya mulai menyusuri setiap rentetan kalimat indah penyusun prolog dalam novel. Sesekali bibirnya yang komat kamit itu tersenyum ringan sebab merasa yang dibaca benar-benar indah dan pas di hatinya. Mulai terhanyut dan mengabaikan keadaan sekitarnya. Kini ia melahap satu demi satu kalimat juga paragraf hingga lembar demi lembar ia buka kertasnya. Seakan ikut terhanyut, gadis itu kini meletakkan kepalanya di atas meja. Merubah posisi duduknya setengah tidur tengkurap sembari membiarkan novel yang dibacanya berdiri bersandar pada bilik pembatas meja yang ia pakai dengan meja di kedua sisi dan depannya.     

"Suka banget sama novelnya?" lirih suara berat berbisik di sisi bilik meja yang sedari tadi tak hanya menopang kepalanya, namun juga menopang buku novel yang sedang ia baca.     

Gadis itu sigap bangkit. Menoleh cepat pada remaja yang sudah nyaman berposisi duduk rapi di sisinya. Sejak kapan? Entahlah. Saking fokusnya, Davira benar-benar tak menyadari seseorang duduk di sisinya sembari terus menatapnya penuh makna.     

-dan orang itu adalah ... siapa lagi kalau bukan Adam Liandra Kin?!     

Davira sendiri pun tak mengerti, dari mana Adam tau bahwa dirinya berada dalam perpustakaan sekolah sekarang ini? Bukankah seharusnya ia ada di dalam ruang basket bersama timnya?     

"Pertanyaanku belum dijawab," katanya tersenyum.     

Senyuman itu ... sangat menenangkan!     

"Bibir kamu ...." Suara lirih gadis itu menyela kala sepasang lensa teduhnya memotret warna lain di sudut bibir tipis remaja yang kini hanya diam menunggu Davira untuk melanjutkan kalimatnya.     

Davira yang ingin mengulurkan tangan untuk meraih sudut bibir Adam kini mengurungkan niatnya. Kala tersadar bahwa tempat yang didatanginya juga remaja brengsek itu tak mendukung situasi romantis yang mungkin akan terjadi nantinya.     

"Kenapa berhenti?" tanya Adam melirik jari jemari gadis di depannya yang kembali mengepal dan menjauh dari sisi wajahnya.     

Davira diam sejenak. Merubah sorot matanya kemudian memutar tubuhnya kembali menatap novel tebal yang ada di depannya.     

"Bibirku sakit," keluhnya.     

"Sangat sakit." Dusta! Adam berdusta. Bahkan bogem mentah yang dilayangkan Arka padanya tadi tak sekuat kelihatannya. Tujuan Arka memberi tinju tepat mengenai sisi bibir Adam bukan untuk melukainya atau menjatuhkan remaja itu hingga tersungkur ke lantai, remaja jangkung berwajah tampan meskipun tak setampan Adam Liandra Kin hanya ingin membuat Adam diam dengan caranya. Juga sedikit meluapkan kekesalannya pada orang yang sama sebab sudah dengan kurang ajarnya menyeret nama Davira Faranisa ke dalam pemainan 'bocah' yang diusulkan Candra tadi.     

"Aku perlu diobati. Makanya aku cari ka—"     

"Ada orang lain yang lebih peduli," sahut Davira ketus. Gagal sudah segala akting Adam dengan datang setelah melihat Davira berjalan seorang diri masuk ke dalam perpustakaan. Mengekori gadis itu dan menunggu waktu yang tepat untuk duduk serta 'mengganggunya' seperti sekarang ini. Davira adalah gadis yang kokoh dalam pendiriannya! Yaitu akan tetap bersikap dingin pada Adam apapun alasannya.     

Remaja itu khawatir perihal taruhannya?Tentu tidak! Bahkan Adam bisa membeli berpuluh-puluh tiket konser dengan uang dan fasilitas yang diberikan oleh papanya. Adam hanya khawatir kalau Davira tak akan pernah mau membuka hati untuknya. Sebenarnya sih, semesta memang sedikit brengsek dengan memberikan fakta buruk terlebih dahulu pada Davira tentang Adam. Tanpa mau sedikit memberi kesempatan untuk remaja jangkung bertubuh altetis bak model remaja kelas papan atas itu menunjukkan sedikit kebaikannya. Sebab percaya atau tidak di balik sikap dan peringai Adam yang kadang brengsek dan tak tahu aturan kalau sudah bermain bersama perasaan para gadis itu, Adam Liandra Kin adalah remaja laki-laki yang berhati baik nan hangat.     

"Tapi aku maunya kamu yang—"     

"Aku bukan dokter atau anak PMR. Aku adalah anak yang malas memperdulikan hal-hal yang tak penting seperti luka kamu itu," sahut Davira lirih tanpa mau menatap Adam yang masih diam sembari menghela napasnya kasar. Sabar! Mendekati Davira memang harus meluaskan sabar yang dipunyainya.     

"Lagian, kamu berantem di sekolah? Kenapa bisa luka begitu?" tanya Davira melanjutkan. Membuat Adam yang tadinya membuang tatapan untuk tak lagi menatap Davira sejenak kini kembali menoleh. Menatap gadis yang masih sama dengan posisi awalnya —menatap kata-kata indah dalam novel yang sekarang entah sedang dibacanya atau tidak— yang jelas, Davira ... mulai peduli!     

"Karena Arka," sambungnya merengek lirih. Gadis di sisinya menoleh. Menyipitkan kedua matanya untuk mencoba menerka ekspresi Adam untuk memastikan bahwa remaja brengsek itu tak sedang mengambing hitamkan orang lain sebab karma yang diterimanya akibat peringai brengsek yang dimilikinya itu. Siapa tahu 'kan Adam sudah ditonjok habis-habisan oleh seorang senior atau teman sekelas setelah mengoda gadis cantik yang lewat di depannya sembari melenggokkan badannya?     

"Serius!" kata Adam jelas menggerutu. Menaikkan nada bicaranya kala Davira terlihat tak percaya dengan apa yang dikatakannya barusan. Memangnya harusnya begitu. Bagaimana bisa Davira lebih mempercayai Adam ketimbang sahabatnya sendiri?     

"Ssstttt!" Gadis itu menempelkan satu jarinya di atas mulut Adam. Mencoba mendiamkan remaja yang memang tak ada etika dan moralnya itu. Meninggikan suaranya di dalam perpustakaan adalah hal tercela untuk seorang pelajar baik.     

Adam tersenyum. Menatap gadis yang baru saja membulatkan matanya sembari ikut diam juga menelisik setiap bagian ruangan untuk memastikan tidak ada penjaga perustakaan atau pengunjung lain yang merasa terganggu akan ulah Adam barusan.     

Remaja itu sigap menarik jari Davira. Menggenggamnya erat hingga membuat gadis di depannya itu menoleh dan menatapnya tajam. Mencoba meronta agar Adam melepaskan jari telunjuk yang ada dalam genggamannya itu. Namun, seakan tak ingin melewatkan momen berharga nan langka seperti ini, Adam melawan. Memperkuat genggamannya sembari tak mengubah arah sorot lensa teduh untuk terus menatap Davira penuh makna.     

"Tangan kamu dingin," ucapnya kemudian.     

Davira melunak. Menatap Adam dengan tatapan lain. Kalau dilihat dengan jelas dan dari jarak yang amat sangat dekat seperti ini, Adam benar-benar sangat tampan! Parasnya tak seperti seorang remaja nakal yang selalu bersikap sok pada seorang gadis. Visual remaja itu ... hanya ... hanya sangat tampan.     

"Lepasin," lirih Davira kemudian.     

"Aku lepasin tapi ada syaratnya," sahut Adam menjawab dengan nada yang juga sama lirihnya.     

Menarik tangan gadis itu kemudian mendekatkan wajahnya ke telinga kanan Davira. Gadis itu diam.Entah mengapa, namun kali ini ia menunggu. Menunggu Adam Liandra Kin untuk mengatakan sesuatu padanya.     

"Kita berkencan minggu ini," tuturnya lembut. Tersenyum ringan di bagian akhir kalimatnya.     

Davira yang mendengarnya sedikit terkejut. Membulatkan matanya kemudian kembali berusaha menjauhkan tubuhnya dari Adam. Namun, remaja itu masih kuat menahan tubuh Davira agar berposisi seperti ini. Layaknya dua pasangan yang saling berpelukan dalam keadaan duduk. Namun siapa sangka sebenarnya tangan gadis itulah yang membuatnya terkunci dalam posisi tak nyaman begini.     

"Sayang," imbuh Adam semakin lirih.     

Davira sontak bangkit. Menarik kuat tangannya tak peduli dengan Adam yang sedikit terkejut sebab pergerakan tiba-tiba miliknya itu.     

"Sinting!" pungkasnya menutup kalimat. Beranjak dan berlalu pergi meninggalkan Adam yang masih kokoh dalam duduk sembari tersenyum ringan menatap kepergian Davira Faranisa.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.