LUDUS & PRAGMA

55. Pasal Rasa.



55. Pasal Rasa.

0Adam menatap gadis yang masih fokus dengan beberapa kertas di depannya dan sebuah pena yang ada di dalam genggaman tangan kanannya. Mata bulat gadis itu sesekali menelisik setiap bagian tulisan yang ada di depannya. Diiringi dengan bibir merah muda miliknya yang samar berucap untuk membaca apa-apa yang dituliskannya barusan. Setelah Davira pergi keluar dari perpustakaan sekolah, Adam tak lagi mengejar atau menghentikan langkah gadis yang terlihat kalang kabut saat dirinya menyebut kata 'sayang' untuk ditujukan pada Davira Faranisa dengan nada lembut nan mengoda. Samar lensa Adam mendapat kedua pipi gadis itu yang memerah. Tak mau kepergok sedang malu-malu kucing, Davira pergi meninggalkan Adam. Membuat si remaja yang tadinya kokoh dalam diam sembari menatap setiap langkah Davira Faranisa itu tersenyum simpul. Memberi keyakinan penuh pada dirinya bahwa dua minggu lagi, ia akan bisa berkencan buta bersama gadis cantik bertubuh mungil sedikit semampai itu.     
0

--dan di ruangan inilah, Adam sejenak singgah sebelum akhirnya kembali menyusul teman-temannya di tengah lapang basket. Kembali memainkan bola dan memperjuangkan kemenangan untuk beberapa hari ke depan.     

"Lo temennya Davira 'kan?" tanya Adam menyela. Suara tegas miliknya sukses mencuri perhatian gadis berponi tipis yang kini menoleh untuk memberi tatapan singkat padanya. Yang diberi pertanyaan kini mengangguk untuk membenarkan. Samar tersenyum singkat kemudian kembali mengalihkan tatapannya.     

Sebenarnya sih, Davina--gadis yang kini menghela napasnya ringan sebab rasa aneh yang mulai mengeroti dalam benaknya setelah tak sengaja lensanya bertemu dengan sepasang lensa milik Adam Liandra Kin-- sungguh bahagia! Demi apapun, semesta sedang baik padanya hari ini. Membuat celah agar dirinya bisa berduaan dalam satu ruangan dengan Adam Liandra Kin. Si tampan mempesona yang kata teman dekatnya —Davira Faranisa—, Adam itu brengsek! Akan tetapi bagi Davina tak ada laki-laki yang tak brengsek. Setiap laki-laki pasti mempunyai sifat itu. Hanya saja, tergantung diri kita sendiri bagaimana cara menyikapinya. Untuk Davina, kebrengsekan Adam tak perlu dipermasalahkan. Hanya suka bermain bersama perasaan gadis-gadis cantik itu sudah biasa untuk remaja tampan berfisik mumpuni mendekati kata sempurna seperti Adam Liandra Kin itu, jadi gak usah alay! Selama Adam tak bermain dengan tubuh wanita dan hanya bermain dengan perasaan wanita, itu sangat biasa di era milenial seperti ini. Begitulah kiranya pola pikir seorang Davina Fradella Putri teruntuk Adam Liandra Kin.     

"Gue mau tanya sesuatu," kata Adam melanjutkan.Berjalan mendekat ke arah gadis yang kini menghentikan aktivitas menulisnya. Melirik sejenak Adam yang kini memutar langkahnya dan mengambil kursi kosong lalu duduk di depannya.     

Astaga! Jantung Davina sedang meronta-ronta saat ini. Sebab seorang remaja tampan yang dikaguminya sedang duduk di depannya dalam jarak yang bisa dikatakan dekat, meskipun tak pakai kata 'sangat'.     

"T--tanya apa?" Davina menimpali. Sedikit gagap sebab dalam hidupnya selama 17 tahun ini tak ada yang namanya adegan romantis dengan duduk berdua saling berhadapan dengan seorang laki-laki. Sekalinya ada, langsung dihadapkan dengan remaja ber-visual kelas atas seperti ini.     

"Davira itu cewek yang gimana?" tanya Adam langsung pergi ke point-nya. Tak ingin banyak berbasa-basi hanya untuk mengakrabkan suasana dengan gadis yang sebenarnya sangat asing untuknya. Meningat Adam juga Davina hanya sekali bersua dalam waktu yang singkat beberapa hari yang lalu. Tiada obrolan intim atau canda ria yang bisa dijadikan alasan untuk keduanya bisa dikatakan berteman akrab satu sama lain.     

"Davira?" ulang gadis itu memastikan. Mencoba membenarkan hatinya yang sedang panas sebab Adam lebih memilih menyebut nama temannya ketimbang namanya. Meskipun yang sedang bersama dengan fisik Adam saat ini adalah Davina, namun hati remaja brengsek itu tetap saja berada di sisi Davira Faranisa.     

"Gak gimana-gimana," jawabnya kembali menulis. Mengabaikan Adam saat dirinya paham bahwa Adam datang padanya hanya untuk menggali informasi bukan menggali dan mengambil hatinya agar bisa dimiliki oleh Adam.     

"Maksud gue, dia emang jutek begitu?"     

Davina mengembuskan napasnya singkat. Mengangguk ringan sembari menggerang tanda respon yang diberikan pada Adam tanpa harus mengelurkan kata-katanya.     

"Sama lo juga?" lanjut remaja itu kini memperdalam informasi yang ingin didapatnya. Tak memperdulikan bagaimana keadaan dan situasi yang dihadapi oleh Davina saat ini. Gadis itu ingin marah! Hatinya sakit dan keadaannya sangat sibuk saat ini. Ia benar-benar tak ada waktu untuk menjadi seorang narasumber terkait informasi pasal gadis bernam Davira Faranisa.     

"Kalau sama Arka—"     

"Davira itu gadis aneh. Dia hanya menyukai apa yang menguntungkan baginya. Aku selalu saja ada ketika dia membutuhkan, tapi dia tak melakukan hal yang sama. Awal aku pikir bahwa dia adalah gadis jahat yang suka memanfaatkan orang-orang demi keuntungan pribadinya. Namun akhirnya aku paham, dia itu ...." Davina kini menyahut dengan nada tegas untuk memberikan penjelasan pada Adam. Dongkol? Sedikit. Sebab Adam yang datang padanya tiba-tiba langsung menanyakan pasal Davira bukan pasal namanya atau apapun yang berhubungan dengan dirinya sendiri. Davina juga menyukai Adam! Bahkan sejak pertama ia melihat Adam secara fisik. Namun, salah satu sifat yang mengakar dalam dirinya adalah diam tak pernah berani mengungkap fakta pasal perasaannya. Sebab ia takut, penolakan mengerikan dan menyayat hati akan diterimanya nanti.     

"Dia itu?" Adam mengulang. Menatap sepasang lensa Davina yang juga ikut menatapnya sejenak. Kemudian beralih pada lembar kertas dengan tulisan tangan rapi miliknya.     

"Dia itu?" ulang remaja itu menegaskan. Menunggu kalimat lanjutan dari Davina yang masih diam seakan sedang mencoba mencari kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan keadaan seorang Davira Faranisa.     

"Sakit," tukasnya singkat. Membuat remaja yang ada di depannya kini tegas menarik wajah ke belakang sembari samar menautkan kedua alis hitamnya. Tak mengerti? Ya! Dalam bayangannya saat ini, Gadis yang dipuja-pujanya itu sedang berada dalam bencana besar. Semesta mengirim penyakit serius yang juga dengan serius mengerogoti setiap usia yang dimiliki Davira. Artinya Davira akan mati? HUSH! NGAWUR!     

"Dia sakit parah?" tanya Adam meninggikan nada bicaranya.     

"Hatinya! Hati Davira yang sedang sakit parah." Davina mengakhiri kalimatnya dengan nada melirih. Memicu ekspresi lain terlukis di atas paras tampan Adam. Sedikit demi sedikit, ia mulai mengerti.     

Tentang Davira, gadis itu adalah gadis yang baik dan lemah. Fisiknya memang kokoh, namun jiwa dan hatinya sedang rapuh saat ini. Yang dilihat Adam pada malam saat ia bertemu dengan Davira bersama tamparan keras yang mendarat di pipi gadis itu sebab sudah menolong dan membelanya adalah salah satu perwujudan nyata bagaimana parahnya 'sakit hati' yang diterima gadis itu di masa lalu. Bukan hanya Adam yang menyadari luka itu, namun juga si teman dekat dan dalam keyakinan penuhnya pasti si sialan Arka Aditnya juga dengan tegas memahami segala luka yang ada di dalam hati Davira.     

"Gue pernah lihat dia ngelamun dan berkaca-kaca. Seakan sedang membayangkan sesuatu yang entah itu indah atau mengerikan. Bahkan gue sendiri gak bisa memahami ekspresinya." Davina melanjutkan. Tersenyum kaku di bagian akhir kalimatnya     

"Karena dia pandai menyembunyikan apapun dalam dirinya," pungkasnya menutup kalimat.     

"Davira pernah curhat ke lo?" Adam kembali membuka suaranya. Melirik sejenak Davina yang kini tersenyum seringai setelah mendengar kalimat pertanyaan dari Adam Liandra Kin barusan itu. Terkesan bahwa remaja itu tak hanya ingin mencoba mengulik sedikit banyak informasi mengenai Davira, namun ia juga ingin mulai menaruh peduli pada gadis itu sekarang.     

"Karena dia pandai menyembunyikan apapun dalam dirinya, mengerti?" ulang Davina memberi pernyataan yang sama.     

Adam diam bungkam tak bersuara untuk memberi jeda di antara keduanya. Kemudian menganggukkan kepalanya mengerti.     

"Maka dari itu jawabannya adalah tidak," tegas suara gadis itu memungkaskan kalimatnya.     

"Kalau lo pengen tahu banget, lo datang ke orang yang salah," tuturnya lembut.     

Adam mengernyitkan dahinya. Lagi-lagi ia tak bisa mencerna kalimat gadis berparas cantik meskipun tak secantik Davira juga Kayla Jovanka. Sebenarnya sih, semua gadis di dunia ini memiliki kecantikan yang paripurna. Namun kategori paripurna setiap gadis tak sama. Jadi, tak ada yang buruk rupa. Hanya, cantik mereka semua berbeda.     

"Tanya Arka," sambungnya tersenyum simpul. Kali ini benar meraih penanya untuk kembali luwes menarikan benda ramping dengan ujung runcing itu di atas kertas. Segera menyelesaikan tugasnya sebab ia sudah terlambat tak masuk kelas dua puluh menit lamanya. Dusta pada Davira yang katanya ia akan datang sedikit terlambat. Namun, sedikitnya Davina memang tak sama dengan orang lain. Bahkan tiga puluh menit baginya pun sebentar kalau-kalau sedang merasakan waktu yang menyenangkan.     

"Mereka udah temenan sejak SD." Gadis itu lirih berucap kembali untuk menginteruksi lamunan dari Adam Liandra Kin.     

Remaja yang dilempari pernyataan kini hanya mengangguk. Mengetuk sisi meja untuk menarik perhatian Davina yang sepenuhnya sudah terkunci di atas kertas yang sedang ia olah isinya. Membuat sedikit laporan dan list apa-apa yang akan dipersiapkan untuk kiranya sebelum tim Adam benar melangkah ke dalam peperangan demi satu piala kemenangan.     

"Makasih, Dav." Adam menutup kalimatnya. Tersenyum kecil sembari menepuk pundak gadis yang demi apapun menahan jantungnya agar tak meloncat keluar saat ini.     

"Lo beneran suka sama Davira?" Gadis berponi tipis dengan rambut panjang terurai itu kini kembali menyela langkah Adam. Membuat remaja jangkung itu mau tak mau harus berhenti melangkah dan memutar tubuhnya.     

"Hm," erangnya tegas.     

Deg! Memang bodoh Davina itu. Sudah tau bahwa Adam menyukai dan mengidam-idamkan Davira hanya dengan menebak segala sikap Adam teruntuk teman dekatnya itu, masih saja ia bertanya untuk memastikan. Di mana pertanyaan itu hanya membuat hatinya semakin panas dan retak sebab suhu yang melebihi batasannya saat ini. Namun, mau bagaimana lagi baiknya semesta memang tak selalu membawa keberuntungan untuknya. Semesta hanya baik sebab mengijinkannya mengobrol ringan dan mendengar suara bariton Adam yang benar-benar menenangkan jiwanya. Menatap Adam dari jarak yang dekat juga berada dalam satu ruangan bersama remaja itu tanpa ada yang menjeda dan menyela juga mengganggu keduanya. Baiknya semesta hanya sampai di situ. Selebihnya? Segala keberuntungan adalah milik Davira Faranisa.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.