LUDUS & PRAGMA

56. Your are My Everything



56. Your are My Everything

0Langit mulai berubah. Semburat awan jingga yang mengagungkan kuningnya sinar sang surya sudah mulai redup dan menyisakan titik kecil berkelip serta satu bulatan indah yang apik menghias gelapnya langit malam. Hawa tak sedingin biasanya. Sedikit hangat sebab tiada tanda-tanda hujan akan turun malam ini. Langkah gadis yang kini memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie tebalnya kini memelan. Menoleh dengan sedikit mendongakkan wajahnya sebab remaja laki-laki yang berjalan di sisinya sungguh tinggi menjulang seakan ia hanyalah sebuah gubuk reot yang sedang disandingkan dengan gedung tinggi pencakar langit.     
0

Hanya butuh waktu kiranya satu putaran penuh jarum panjang menyusuri setiap angka demi angka yang ada, tugas sekolah usai dikerjakan dengan penuh perjuangan bersama Arka Aditnya dalam ruang belajar remaja itu. Melahap semua soal dan semua teka-teki yang ada tak menyisakan satupun. Arka membantu Davira kali ini, sebab besok Adam berkata dalam sebuah pesan singkat bahwa latihan sejenak diliburkan sebab ada masalah mendadak yang harus diselesaikan remaja yang menjabat sebagai kapten basket itu. Katanya juga, boleh-boleh saja sih tetap berlatih hingga senja datang menyapa, namun tanpa seorang kapten pastinya. Adam tak keberatan, sebab masih ada yang bisa memimpin dan memandu tim tanpa dirinya.     

Setelah mendapat pesan itu, Arka kalang kabut dengan datang ke dalam kamar tamu yang dihuni oleh Davira Faranisa. Bertanya ini itu panjang lebar mengenai tugas apa saja yang ditinggalkannya selagi ia berlatih mengasah bakat dan fisiknya sebelum perang besar dilaksanakan beberapa hari lagi. Membuat Davira yang tadinya nyaman menghabiskan waktu dengan membaca buku roman picisan sembari menyumbat telinganya menggunakan earphone itu sedikit terkejut dengan kehadiran Arka —remaja yang sudah lancang masuk ke dalam kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu—.     

Sekarang, mereka menghabiskan malam dengan mencari udara segar menyusuri jalanan komplek untuk sampai ke tempat tujuan yang diingkan Davira Faranisa malam ini. Untuk tujuan Arka? Tidak ada! Remaja itu berjalan ringan dengan menggunakan sepasang kaki jenjang miliknya sembari terus mencoba menyamakannya dengan langkah kaki Davira itu tentunya hanya mengekori gadis yang sudah dikenalnya baik itu. Dalam alasan Arka, Davira tak boleh pergi malam-malam begini tanpa ada orang yang mengawasi dan menemani, jadi remaja jangkung itu memaksa untuk ikut malam ini.     

Awalnya Arka menyarankan untuk memakai mogenya saja sebab jarak minimarket yang dibangun di sisi jalan besar itu sedikit jauh jaraknya dari rumah Arka Aditya. Kalau berjalan, kiranya 15 menit sampai 20 menit lamanya. Akan tetapi, Davira menolak itu. Dalam pembelaan gadis itu, Davira ingin berjalan-jalan dengan kedua kaki indah pemberian Yang Maha Kuasa untuknya. Tak hanya terus-terusan menggunakan fasilitas yang diciptakan manusia, dengan tegas penuh penekanan guna memberi alasan terkait aksi ramah lingkungan yang dilakukannya itu bahwa Davira juga ingin menggunakan fasilitas yang diberikan Tuhan untuknya. Parah 'kan kalau-kalau tak pernah dipakai dengan baik dan Tuhan marah lalu mengambil sepasang kaki indah nan ramping miliknya?     

"Lo gak capek?" sela Arka tanpa mau merubah posisi arah tatapan lensa teduhnya. Terus berjalan maju seiring dengan langkahnya yang terus seirama dengan sepasang kaki indah milik Davira Faranisa.     

"Huh?" Gadis yang tadinya terus menoleh dengan sedikit mendongakkan kepalanya sebab Arka yang terlalu tinggi jikalau dijajarkan dengannya itu kini sejenak membulatkan sepasang mata berbentuk bulat sempurna dengan tatapan teduh sedikit sayu kalau-kalau dilihat dan dipandang dengan benar.     

"Ngeliatin gue kayak gitu. Lo gak capek?" Arka mengimbuhkan. Kini menoleh sedikit menundukkan kepalanya sebab gadis berambut panjang tanpa poni di sisinya itu hanya setinggi bahunya saja.     

Davira bungkam. Mengembangkan senyum manis di atas paras ayunya kemudian sigap mengalihkan fokus menatap jalanan yang ada di depannya.     

"Kenapa ngeliatin gue kayak gitu?" Arka kembali lontarkan sebuah pertanyaan untuk gadis yang ada di sisinya.     

Sejenak hening membentang kala tak ada suara dari Davira guna merespon pertanyaan dari Arka Aditya barusan itu. Gadis itu hanya menghela napasnya ringan. Samar bibir merah muda sedikit pucatnya kembali tersenyum tipis dan singkat.     

"Karena gue baru sadar kalau lo itu terlalu berharga buat gue," ucap gadis itu sesaat setelah helaan napas lolos dari celah bibirnya.     

Arka tersenyum singkat. "Baru sadar?"     

"Lebih tepatnya baru berani mengakui." Gadis itu kini kembali sejenak mendongak untuk memberi tatapan singkat pada Arka yang kini ikut menoleh sembari tersenyum ringan.     

"Apa aja yang lo akui sekarang?"     

Davira menaikkan kedua alisnya bersama dengan kedua sisi bahunya yang ikut terangkat ke atas. "Lo tampan, lo baik, dan lo adalah sahabat paling berharga buat gue." Gadis itu kini kembali menciptakan suara. Lagi-lagi senyum ramah merekah di atas bibirnya. Samar kepalanya mengangguk untuk memberi penekanan bahwa apa yang baru saja dikatakannya itu adalah fakta apa adanya tanpa bumbu hiperbola agar membuatnya sedikit keren dan dramatis.     

"Hanya itu?" tanya Arka menggoda. Meraih bahu gadis di sisinya itu dan merengkuhnya kasar. Membuat tubuh mungil sedikit semampai milik Davira kini menempel di sisi tubuh jangkungnya. Tak menciptakan jarak dan jeda seperti sesaat sebelum remaja itu benar merangkul dan meletakkan lengannya di atas leher gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai melewati batas telinganya yang sedikit cuping.     

"Ck!" Davira berdecak. Mencoba melepas rangkulan dari remaja sebaya dengannya itu. Akan tetapi, semakin ia meronta maka semakin kuat pula Arka mengunci segala pergerakkan gadis di sisinya itu dengan kuat melingkarkan tangannya di leher Davira. Bukannya apa, bukannya tak suka, juga bukannya jijik atau bagaimana, Davira hanya tak nyaman berada dalam posisi seperti ini. Sebab baginya, posisi yang kata orang-orang sedang kasmaran dimabuk cinta buta adalah sebuah posisi yang amat nyaman dan hangat guna menghalau hawa dinginnya malam yang menerpa. Posisi seperti inilah yang akan mengakrabkan serta membuat kesan intim penuh cinta bagi pasangan muda yang sedang menikmati malam bersama. Namun tidak untuk Davira Faranisa. Baginya, posisi seperti ini membuat segala pergerakan dan langkahnya terhalang. Sumpek! Itulah kata singkat yang menjadi dasarnya tak suka dengan posisi seperti ini.     

"Lepasin," erang Davira sedikit merengek. Mencoba meminta belas kasihan dari Arka Aditya untuk segera melepasnya dan memberi udara segar juga ruang bebas untuk gadis yang benar-benar merasa tak nyaman saat ini.     

"Bentaran doang, sampek pertigaan depan," tutur Arka menolak.     

"Katanya gue berharga buat lo 'kan? Jadi ... tunjukkin," kekehnya kemudian. Sedikit mencoba membuat kesepakatan dengan gadis yang kini menghela napasnya berat. Tak lagi meronta dan memasang wajah aneh untuk Arka Aditnya, seakan sudah jinak dan melunak sebab kalimat singkat dari Arka barusan itu, Davira kini merubah sorot matanya. Tangannya yang tadinya ia simpan di dalam saku hoodienya kini ia ubah dan dilipat rapi di atas perut datarnya. Tatapannya lurus ke depan. Berjalan seimbang dan serima dengan remaja sebaya yang terus saja mengembangkan senyum manis untuk Davira sebab posisi seperti inilah yang amat sangat diharapkan oleh Arka jauh-jauh hari. Jadi bisa dikatakan bahwa Arka malam ini ... sangat bahagia! Kelinci yang ada dalam perutnya sedang meloncat-loncat sebab melihat padang rumput hijau dengan kebun wortel di sisinya.     

"Lo harus cepet cari cewek baru yang bisa nemenin lo," tukas Davira menyela keheningan. Arka kini tegas menatapnya. Tertawa ringan kemudian mengalihkan tatapannya jauh ke depan.     

"Udah punya," katanya menimpali.     

Davira menoleh. "Ck, gue?" tanyannya asal menebak. Membuat remaja yang ada di sisinya itu mengangguk ringan sembari tersenyum kuda.     

"Maksud gue pacar. Lo kesepian 'kan?" Davira melanjutkan. Sedikit tersenyum geli di bagian akhir kalimatnya.     

"Lo mau jadi pacar gu—"     

"Gak!" jawab gadis itu menyela dengan tegas.     

Remaja di sisinya sigap menoleh. Menatap dengan wajah aneh pada gadis yang kini terkesan tak acuh setelah jawaban penolakan tegas bak seorang hakim yang sudah memutuskan suatu hukuman perkara seorang narapidana itu lolos dari bibir merah muda sedikit pucat miliknya     

"Gue bilang 'kan kalau lo itu sahabat gue yang paling berharga," gumam gadis itu kembali memberi pengertian.     

"Jadi gue gak mau hubungan kita berakhir hanya untuk satu hubungan yang tak pasti di masa—"     

Arka menghentikan langkahnya tiba-tiba. Melepas rangkulan tangan yang ada di atas leher gadis cantik bermata bulat di sisinya itu. Davira ikut terhenti, kemudian memutar badannya serong untuk bisa menatap Arka Aditya dengan benar.     

"Kenapa berhenti?" tanya Davira sedikit kebingungan bak seorang anak itik yang lupa jalan pulang.     

"Bukankah jika lo nerima gue, masa depan untuk kita sudah jelas adanya?" Arka menyela. Menatap Davira yang kini bungkam merapatkan bibir merah muda nan tipis miliknya.     

"Masa depan yang bagaimana?" Gadis di depannya kini menimpali. Ikut memberi tatapan pada sahabat baik nan tampannya itu.     

"Masa depan dengan happy ending di dalamnya." Arka menyahut. Tak mengubah ekspresi, ia hanya mengubah caranya menatap Davira Faranisa.     

"Happy ending yang bagaimana?" tanya Davira berkelit. Membuat remaja tampan di depannya itu sejenak bungkam untuk menerka apa kata si gadis pragma sedikit aneh itu.     

"Romeo and Julied? Titanic? Scarlet heart?" Davira mengimbuhkan. Tersenyum singkat kala remaja yang ada di depannya itu masih kokoh mengunci rapat bibirnya.     

"Menikah," jawab Arka singkat.     

"Bagaimana jika kita tak pernah berjodoh?" Davira kembali berkelit. Entah apa yang sedang dimaksudkannya saat ini, namun Arka tak bisa benar mengimbangi setiap kalimat yang lolos di celah bibir indah nan mungil miilik Davira.     

"Kita membuat—"     

"Jikalau lo gagal memenuhi harapan, maka imbasnya akan berpengaruh dalam banyak hal. Salah satunya adalah hubungan baik sebelum bencana itu terjadi," tukas gadis itu dengan nada lembut.     

'Bencana itu'? Bencana apa yang sedang dimaksudkan remaja cantik sejajar usia dengannya itu?     

"Gue takut kalau gue benci lo nantinya," pungkas gadis itu menurup kalimatnya.     

Ah, Arka mulai paham saat ini. Bencana yang dimaksudkan Davira adalah sebuah kegagalan dalam harap juga sebuah perselingkuhan yang akan dilakukannya nanti.     

"Selingkuh? Dari mana lo bisa tau kalau—"     

"Bukankah semua sifat laki-laki hampir sama?" kekehnya dibagian akhirnya.     

Arka berdecak ringan. Menatap Davira kemudian tersenyum singkat. Dasar Pragma aneh!     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.