LUDUS & PRAGMA

57. Si Tampan Yang Tak Pandai Berbohong.



57. Si Tampan Yang Tak Pandai Berbohong.

0Davira menyerahkan beberapa lembar uang yang baru saja dikeluarkannya dari dalam dompet. Melirik sejenak Arka yang kini sudah berdiri di sisi pintu masuk sembari menatap jalanan besar di depannya. Sebenarnya sih, Arka ingin membayar semua belanjaan Davira. Toh juga tak mahal, sebab gadis itu hanya membeli beberapa camilan juga minuman kaleng dan botol guna menemaninya bermalam juga untuk besok kalau-kalau ia bosan dengan aktivitas rutinnya yang itu-itu saja. Meksipun ada beberapa makanan ringan juga cemilan di dalam lemari penyimpinan milik keluarga Arka Aditya, namun Davira tak ingin merepotkan lebih banyak lagi. Tinggal di dalam rumah Arka sebagai tamu yang menetap untuk beberapa hari ke depan saja sudah membuatnya merasa tak enak meskipun Tante Desi berulang kali menegaskan bahwa kehadiran Davira sungguh diharapkan dan dinantikan mengingat wanita yang usianya hampir sama dengan mamanya itu sangat menginginkan seorang putri untuk melengkapi keluarganya.     
0

Setelah semua makanan ringan yang ia beli dikemas apik ke dalam sebuah kantong plastik besar, dengan senyum ramah dan sedikit menunduk untuk memberi salam tanda terimakasih tanpa berucap, Davira pergi meninggalkan meja kasir dan berjalan ke arah pintu keluar. Mendorong pintu kaca di depannya kemudian melangkah keluar untuk menghampiri si sahabat yang masih setia menunggunya di luar sana.     

Davira menepuk pundak Arka. Membuat remaja itu sigap menoleh dan memutar tubuhnya untuk menatap gadis berbalut hoodie tebal dengan celana panjang yang membungkus rapi sepasang kaki ramping dan indah miliknya itu. Sekali lagi harus ditegaskan bahwa tak ber-make up juga tak berbalut gaun mahal serta aksesoris ber-merk dengan harga fantastis pun, Davira tetap sangat terlihat cantik dan mempesona. Wajah polos dan tatapan teduhnya serta senyum manis miliknya benar-benar menutupi segala sifat aneh dan dingin milik gadis itu.     

"Udah selesai?" tanya Arka melirik kantung kresek besar yang ditenteng gadis itu di tangan kirinya.     

"Hm. Gue beliin lo beberapa juga," kata Davira menimpali. Tersenyum kaku di bagian akhir kalimatnya.     

"Beliin cinta?" kekeh Arka kembali mengoda. Baiklah, Davira muak dengan lelucon itu! Sigap tangannya terulur dan menjitak kasar puncak kepala Arka dengan penuh perjuangan untuk bisa menjangkau tubuh jangkung remaja di depannya. Arka mengerang ringan. Tertawa geli untuk raut wajah Davira yang tanpa disadarinya, sedikit memerah sebab entahlah! Mungkin karena tersipu malu? Atau memang udara yang mulai dingin terasa sebab jarum jam hampir menunjuk angka 9 malam.     

"Lelucon lo murahan banget," tukasnya mulai melangkah. Diikuti dengan sepasang kaki jenjang milik Arka Aditnya gadis itu kini kembali memasukkan satu tangannya ke dalam saku hoodie miliknya. Sejenak melirik Arka yang kembali mengimbangi langkanya. Jujur saja, kehadiran Arka yang dikirim semesta untuk menjadi sahabat baiknya sungguh membuat Davira terharu. Ia memang membenci semesta dengan apa yang sudah diperbuatnya pada keluarga Davira Faranisa dulu. Akan tetapi, seakan ingin menebus segala kekeliruan agar Davira tak berlarut-larut dalam membencinya, Semesta mengirimkan Arka. Seorang bocah berbadan sedikit tambun yang mengulurkan tangannya kala ia merasa tersisih dengan teman dan lingkungan barunya.     

Davira itu tipe orang yang tak pandai bergaul. Namun, ketika seseorang mengulurkan tangannya terlebih dahulu maka ia akan menerima dan menyambutnya. Meskipun tak seakrab dan sedekat hubungannya dengan Arka, namun Davira akan tetap menganggapnya sebagai teman baik yang bisa dimintai pertolongan juga bisa menerima pertolongan darinya. Katakan saja seperti Davina Fradella Putri juga Raffardhan Mahariputra Kin. Lalu bagaimana dengan Adam Liandra Kin? Untuk saat ini remaja itu masih dalam pengecualian sebab Davina tak menerima orang brengsek bagaimanapun rupa dan fisiknya!     

"Gimana kalau besok sepulang sekolah kita jalan-jalan?" tawar Arka di sela kekehannya. Menatap sejenak Davira yang mengangguk samar sembari mengerang ringan.     

"Ke mana?" tanya gadis itu mempersingkat.     

Arka menaikkan satu sisi bahunya. "Ke pelaminan?"     

Gadis di sisinya kini menoleh cepat. "Mau gue tampar?" gerutu Davira sembari memincingkan tajam sepasang mata bulatnya.     

Arka tertawa ringan. Menatap Gadis yang kini memasang wajah kecut untuk menanggapi lelucon receh miliknya itu. Arka sangat paham, kalau Davira mungkin saja tak nyaman dengan lelucon seperti itu sebab Davira yang dikenalnya adalah gadis membosankan yang tak ada asik-asiknya sama sekali.     

"Bercanda dikit napa sih, Ra." Arka mengerutu. Mengacak puncak kepala gadis itu sembari terkekeh kecil untuknya.     

Gadis itu diam. Tak mau menggubris apa yang baru saja dikatakan Arka untuk menanggapi kekesalan yang sempat terbesit dalam benaknya. Tatapan Davira kini tegas menuju pada sosok wanita tua dengan baju kerja yang masih kuat membalut tubuh rampingnya. Rambut pekatnya ia ikat rapi di belakang pinggung. Riasan make up yang sedikit mencolok jelas mengundang perhatian gadis itu untuk datang mendekat padanya dengan langkah dipercepat hingga berlari kecil adalah aktivitas Davira untuk meninggalkan Arka dan menghampiri wanita yang jelas sangat asing untuk Arka Aditnya.     

Arka mengekori langkah Davira yang tegas meninggalkannya tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Membuat sebuah tanda tanya besar kini ada di dalam kepalanya perihal siapa wanita yang sudah mencuri perhatian sahabatnya hingga ia rela berlari untuk segera sampai ke tempat wanita yang baru saja turun dari mobil mewahnya itu, mengingat sifat Davira Faranisa bukanlah gadis sembrono yang suka datang menghampiri orang asing tanpa tujuan dan maksud tertentu.     

"Tante!" panggil gadis itu kemudian. Membuat wanita yang kiranya seusia dengan sang mama itu menoleh dan sejenak membulatkan matanya tajam. Terkejut sebab kehadiran Davira? Tidak! Ia terkejut sebab anak gadis berlari ke arahnya sembari meneriakki namanya lantang. Seakan sebuah kabar besar nan genting sedang dibawa untuknya saat ini.     

"Tante inget Davira 'kan?" lanjut gadis itu sesaat setelah menghentikan langkahnya sebab posisi berdirinya dirasa cukup untuk bisa berbincang ringan dengan wanita yang sedikit cantik ber-riasan menor yang dipertebal di bagian bibirnya. Biasalah, gaya ala-ala wanita sosialita berkelimang harta.     

"Tentu, kamu anaknya Diana," jawab si wanita merespon. Melirik sejenak Arka yang baru saja sampai sebab langkahnya sedikit terlambat tadi. Mendengar nama mama si sahabat disebut tanpa ada keraguan, Arka kini mulai memahami satu hal yang beberapa detik lalu sempat menjadi tanda tanya besar dalam dirinya. Wanita ini adalah rekan kerja dari mama si sahabat baiknya.     

"Tante gak dinas?" Davira bertanya langsung pada pointnya. Tak suka berbasa-basi sebab memang berbasa-basi bukanlah gayanya jikalau ada masalah penting dengan penuh teka-teki yang sedang mengerogoti jiwanya saat ini.     

Arka menoleh mendengar pertanyaan dari Davira barusan. Sebab, pertanyaan itu hadir dan muncul diluar dugaannya saat ini.     

"Davira ...." Remaja di sisinya menyela. Menarik tangan gadis yang kini tegas menampik sentuhan dari sahabat kecilnya itu.     

"Mama dinas sejak hari Sabtu lalu, tante gak ikut? Bukankah tante itu satu bagian kerjaan sama mama aku?" cecar Davira kala wanita di depannya hanya diam sembari terus mencoba mencerna keadaan yang terjadi padanya secara tiba-tiba itu.     

"Tante ... tante dipulangkan," katanya menjawab dengan singkat.     

Gadis muda di depannya kini tegas mengernyitkan dahinya tanda tak mampu menerima apa yang baru saja dikatakan wanita sepantaran usia dengan mamanya itu. Bedanya, wanita di depannya itu masih betah saja melajang di usia yang tak lagi muda.     

"Kenapa tante di pulangkan?"     

Wanita di depannya bungkam sejenak. Tersenyum kaku untuk memberi celah dirinya agar bisa merangkai kata-kata dusta yang terkesan bak sebuah fakta.     

"Karena tante ada keperluan keluarga mendadak," tukasnya beralasan.     

"Apa?" sahut Davira dengan tegas.     

Kali ini Arka tegas menarik tangan gadis itu sembari menyenggol bahunya ringan. Apa yang dilakukan Davira Faranisa saat ini menurutnya sudah melebihi batasan. Menggali informasi pribadi seorang wanita dewasa memang tak ada sopan santunnya sedikitpun.     

"Lo gak denger, keperluaan keluarga." Arka berbisik. Mencoba memberi isyarat pada Davira agar tak lagi meneruskan pertanyaannya.     

"Sebutkan satu alasan yang jelas agar Davira percaya kalau tante gak bohong," tutur gadis itu melirih.     

Gagal! Membujuk sahabatnya untuk berlaku sopan adalah sebuah usaha sia-sia dengan hasil yang tak mungkin ada. Sebab jikalau Davira sudah berambisi, maka jangan harap kau bisa memutus dan mematahkan ambisi itu.     

"Tante akan menikah akhir tahun ini. Jadi banyak keperluan yang perlu dipersiapkan," terangnya menjelaskan singkat.     

Davira diam. Menatap sepasang lensa milik wanita bertubuh krempeng di depannya itu. Baiklah! Entah dusta adalah bakat terpendamya atau memang ia sedang berkata jujur apa adanya, yang jelas Davira tak melihat celah kebohongan sekarang ini.     

"Baiklah, maaf Davira udah gangguin tante," ucapnya lirih sembari sejenak membungkukkan badannya.     

"Tak apa, lagian wajar aja kalau kamu salah paham." Wanita itu tersenyum ramah. Mengelus punggung gadis muda yang kini tersenyum ramah untuknya.     

"Davira pulang dulu, Tan."     

Gadis itu memutar tubuhnya. Mengambil langkah pertama dan berjalan menjauh dari sang wanita yang masih mematung sembari terus menatap kepergiaan gadis muda polos nan baik hati itu. Melirik sejenak Arka yang sesaat membeku di tempatnya kemudian ikut membungkuk guna memberi salam hormat sebelum memutuskan untuk pergi mengekori sahabatnya.     

"Kamu juga tau 'kan?" selanya untuk menghentikan aktivitas ringan remaja laki-laki berparas tampan di depannya.     

Arka mengernyitkan dahinya. "Maksud tante?"     

"Diana gak dinas ke luar negeri atau ke luar kota." Ia tersenyum aneh. Meraih pundak Arks yang kini diam membisu sebab apa yang dikatakan wanita asing di depannya itu sungguh membuatnya terkejut.     

"Aku lihat kamu ketemu Diana kemarin. Gak sengaja 'kan?" kekehnya tertawa kecil.     

Arka masih memilih diam mengunci rapat bibirnya. Hanya menatap sayu wanita aneh di depannya itu.     

"Kamu anak yang baik sebab melindungi perasaan pacar kamu," tukasnya melanjutkan.     

Arka tersenyum ringan. "Dia sahabat aku," katanya menimpali.     

"Kamu pasti mencintainya 'kan?" tanya wanita itu semakin jelas merekahkan sentum di atas bibir merah meronanya.     

Arka diam memantung. Menganggguk samar kemudian mengerang ringan untuk mengiyakan apa kata si wanita aneh itu.     

"Diana pasti beruntung sebab ada yang menjaga anaknya dengan baik selagi ia sedang menjaga mantan suaminya," pungkasnya menutup kalimat. Sekarang Arka semakin tegas mengernyitkan dahinya. Samar kedua alisnya bertaut sembari mengerutkan kedua sudut matanya. Tentang Tante Diana yang sedang menjaga mantan suaminya, Arka benar-benar tak bisa mengerti maksud dan arti kalimat itu.     

...To be Contnued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.