LUDUS & PRAGMA

60. Tentang Kamu



60. Tentang Kamu

0Pengkhianat kelas kakap adalah mereka-mereka yang tak pernah patuh pada janjinya sendiri. Mengkhianati dan tak pernah menaruh cinta pada apa yang sudah diucapkan teruntuk oleh yang menaruh harapan padanya. Menjual dengan harga murah nan rendah segala kalimat menenangkan yang dikata saat masalah sedang datang menyapa. Seperti itulah brengseknya para pengkhianat kelas kakap layaknya si sahabat menyebalkan kepunyaan seorang gadis bernama lengkap Davira Faranisa.     
0

Sebenarnya sih tak separah itu untuk mendekripsikan siapa dan bagaimana watak Arka Aditya kalau sudah mengucap janji tak sehidup juga tak semati teruntuk sahabat kecil nan cantiknya, Davira Faranisa. Arka hanya mengingkari satu janji yang diucapnya kemarin malam sepelas pulang dari minimarket. Mengatakan dengan tegas bahwa ia akan membawa gadis yang sudah berpuluh tahun lamanya hidup sebagai seorang sahabat pertama juga terakhir untuknya, bahwa Arka akan mengajak Davira jalan-jalan sore sebab tak ada latihan juga hal-hal konyol nan menyebalkan yang menghambat aktivitas sore mereka saat ini. Akan tetapi seakan janji sudah murah harganya, Arka dengan mudah mengkhianati dan melepas janji tanpa ada perwujudan nyata begitu saja. Berimbas pada nasib sial yang menimpa gadis itu sore ini.     

Davira pulang sendirian! Berjalan dengan menggunakan sepasang kaki mungilnya untuk sampai ke halte bus dan menunggu transportasi umum untuk menjemput dan membawa tubuhnya sampai ke kawasan komplek tempatnya tinggal. Sialan memang sahabatnya itu! Kalau-kalau saja Arka bukan orang yang berharga untuknya, Davira pasti sudah mencabik-cabik mulut remaja tampan bertubuh jangkung itu. Sayang sangat disayangkan sebab Davira terlalu menyayangi Arka Aditnya. Melukai dan melihatnya terluka bukan hanya akan menyakiti remaja itu, namun juga akan menyakiti hati dan menyesakkan dadanya.     

Davira tegas melangkah. Sejenak berhenti di sisi jalan untuk mencari celah agar bisa menyebrang jalan. Bukan halte yang menjadi tempat singgahnya sebentar lagi, namun sebuah bagunan besar yang berisi ribuan camilan juga minuman kaleng dengan satu meja kasir di depan pintu kaca dalam ruangan itulah yang menjadi tujuan gadis itu untuk sejenak merasakan sejuk dan dinginnya udara AC serta membeli satu botol minuman segar dan satu bungkus camilan guna menemaninya menunggu bus nanti.     

Celah sudah ada. Lalu lintas memang sedikit padat, akan tetapi sebab lampu merah yang ada di ujung perempatan sanalah yang membuat senggang jalanan sebab para pengendara yang masih berhenti menunggu giliran mereka untuk kembali berjalan melanjutkan perjalanannya. Gadis itu menyebrang dengan langkah di percepat. Sedikit berlari kecil sebab was-was hatinya kalau jalanan kembali padat sebab lampu merah sudah redup, membiarkan si hijau untuk menyala terang menandakan bahwa giliran pengendara berarah lain untuk melanjutkan perjalan mereka.     

Ia kini mendorong pintu kaca sesaat langkahnya sudah sampai tepat di depan minimarket. Menelisik setiap bagian ruangan luas yang tak hanya dipenuhi makanan dan jajanan cepat saji, namun juga beberapa tumpuk anggur segar juga apel merah yang menggoda hati untuk segera disantap.     

Gadis itu berjalan di salah satu sisi ruangan. Sebuah lemari penyimpanan minuman dinginlah yang menjadi fokus lensanya juga tujuan langkah kakinya setelah diam sejenak sembari mengamati suasana baru sebab mungkin saja ada beberapa perubahan di sini, namun tak disadari oleh gadis yang kini menarik pintu penyimpanan minuman dingin itu kemudian mengambil sebotol teh dingin.     

Tubuhnya memutar. Menatap perawakan tak asing yang sedang memilah dan memilih apa yang ada di depannya saat ini. Seperti bimbang, mau anggur merah atau anggur hijau? Itulah yang tergambar dari kesan aktivitasnya saat ini.     

Tak acuh! Setelah berhasil menerka siapa yang baru saja sibuk memilih anggur itu, Davira kembali tak acuh dan sigap memutar tubuhnya. Berniat untuk berjalan ke rak tempat camilan favoritnya berada kemudian segera membayar dan keluar dari tempat ini.     

"Untuk mamanya?" gumam gadis itu sembari perlahan melangkah untuk datang ke rak camilan yang sudah ditangkap jelas posisinya oleh sepasang lensa teduh miliknya.     

Ia menoleh. Melirik ke sebuah celah kecil yang masih bisa menampilkan samar punggung lebar berseragam sama dengannya itu.     

"Ah," erangnya ringan. Kembali meletakkan camilan yang baru saja ingin dipilihnya kemudian berjalan mendekat ke arah remaja itu.     

Persetenan memang rasa baik yang ada dalam diri Davira Faranisa. Selalu saja iba dan ingin menolong orang-orang yang sudah dikenalnya. Terkadang antara hati dan langkah kaki serta fisiknya menang tak sinkron seperti ini. Hatinya iba, ingin membantu dan menyelesaikan masalah orang lain semampu dan sebisanya. Namun langkah dan fisiknya seakan menolak dan enggan melakukan hal yang demikian itu. Toh juga, ada banyak orang yang bisa membantu memilihkan anggur yang baik untuk remaja sepantaran usia dengannya itu 'kan?     

"Jangan pilih yang banyak isinya. Tapi pilih yang bagus bentuk dan kulitnya. Bersih juga tak berair," sahut Davira menyodorkan satu mika buah anggur yang sudah dipilihnya tanpa disadari oleh si remaja bahwa sejak beberapa detik lalu, Davira sudah berada di sisinya dan ikut membantu memilihkan anggur untuknya. Tidak! Lebih tepatnya untuk mama si remaja jangkung di sisinya itu.     

Adam menoleh cepat sebab suara itu tak asing lagi untuknya. Memang sih, Davira tak pernah benar bisa bercakap dengannya. Bahkan bisa dikatakan sangat jarang hampir tak pernah. Gadis itu selalu saja menjawab semua pertanyaan dari Adam dengan suara lirih nan singkat. Akan tetapi kalau sudah suka dan menetap di hati, mau sejarang apapun berinteraksi akan tetap hapal bagaimana dan seperti apa gadis yang disukainya itu. Hanya hapal suara saja adalah hal biasa tak perlu sanjung-sanjungkan bakatnya.     

"Ambil. Aku yang milihin," imbuh Davira kemudian.     

Adam masih memantung. Tak percaya? Sedikit. Gadis itu kini terlihat hangat dan akrab serta menyambut baik kehadirannya. Tak sama seperti belumnya. Yang selalu dingin dan tak acuh kalau sudah menyinggung pasal Adam Liandra Kin.     

"Mamaku dulu juga pernah sakit. Dia pengen anggur. Dari situ aku belajar cara milih anggur yang benar." Lagi! Kalimat panjang milik Davira barusan lagi-lagi membuat Adam semakin jelas mengunci rapat bibirnya sebab tak tahu harus menjawab apa dan bagimana. Adam hanya takut kalau ia salah menjawab, maka Davira akan marah dan tersinggung lalu pergi meninggalkannya.     

"Kenapa diem aja? Gak mau aku ba—"     

"Bantu aku," sahut Adam tegas. Menerima anggur yang diulurkan padanya.     

"Kamu bisa bayar sendiri, aku pergi." Gadis itu menutup kalimatnya. Memutar cepat tubuhnya untuk pergi meninggalkan Adam sebab memang tak ada yang bisa ia bantu lagi di sini.     

"Kamu gak mau jenguk mama aku?" tanya Adam berbasa-basi. Keluar dari topik! Bodohnya Adam itu. Kalau sudah grogi seperti itu memang dungu adalah sifat yang jelas mendomanasi dalam dirinya. Untuk apa coba menawarkan hal seperti itu pada Davira?     

Gadis yang dilontari pertanyaan kini menoleh. Kembali memutar tubuhnya dengan perubahan raut wajah sebab tawaran dari Adam sangat ... aneh! Bukankah siang tadi ia menolak niat baik Arka untuk menjenguk mamanya? Lantas sekarang ia memberi tawaran itu untuk Davira? Cih, dasar ludus gila!     

"Huh?"     

"Maksud aku ... kamu gak—"     

"Hm, aku mau," tukas gadis itu menutup kalimatnya. Jawabannya memang sangat singkat, namun cukup membuat Adam mabuk kepayang kali ini.     

***LnP***     

Ringan tanpa ada jeda juga sela itulah definisi langkah keduanya kala menyusuri trotoar jalanan untuk sampai ke halte bus. Untuk Davira tak perlu ditanyakan lagi sebab mengapa ia naik bus sore ini? Jawabannya tak lain tak bukan adalah sebab Arka Aditnya yang sudah mengingkari janjinya. Namun untuk Adam? Hari ini remaja itu tak membawa mogenya sebab mamanya yang sakit. Sejak kemarin malam, ia menginap di rumah sakit. Tak pulang setelah menghantar mamanya untuk ditempatkan di kamar rawat inap. Ia hanya membawa baju seragam dan peralatan mandi seadanya. Memutuskan untuk bermalam di rumah sakit yang menyebabkan jam tidurnya berkurang. Menjaga orang sakit memang tak semudah bayangannya. Tau kalau begitu, ia terima saja tawaran sang adik untuk gantian berjaga agar tak ada jam yang dikorbankan nantinya.     

"Jadi kamu dihukum tadi pagi karena terlambat?" ucap gadis itu memecah keheningan.     

Sungguh, suara Davira dan nada bicara gadis itu sangat lain saat ini.     

"Hm," erang Adam ringan. Sekarang kesan sifat mulai terbalik. Adam yang biasanya mencecar Davira dengan beribu pertanyaan agar ia bisa akrab dengan remaja itu kini menjadi pendiam sebab jujur saja, ia masih was-was kalau apa yang dikatakannya bisa saja membuat Davira sakit hati dan tersinggung nantinya.     

"Raffa gimana?"     

"Gimana apanya?" sahut Adam singkat.     

"Dia juga terlambat?"     

Adam tersenyum singkat sembari menggeleng ringan. "Dia tidur di rumah. Aku suruh jaga rumah biar aku aja yang begadang nungguin mama. Dia juga harus belajar untuk ujian akhir tahun," jelas Adam menerangkan.     

Gadis di sisinya kini menoleh sembari sedikit mendongakkan kepalanya. Tersenyum singkat untuk menanggapi kalimat penjelasan dari Adam barusan. Remaja brengsek itu ... tak benar brengsek rupanya.     

"Dan kamu yang telat?" kekehnya ringan.     

Adam menoleh. Ikut tersenyum mendengar kekehan ringan dari gadis yang sumpah demi apapun ini adalah momen langka bisa melihatnya tertawa ringan seperti itu. Di mana tawa ringan itu ditujukan untuk Adam Liandra Kin.     

"Toh juga enak kok telat di hari Senin begini. Guru pelajaran jam pertama itu killer," sahut Adam mengimbangi kekehan kecil dari Davira.     

"Kenapa kamu gak jelasin alasan kamu telat ke guru BK?" Davira kembali membuka suaranya. Mengalihkan tatapan tak lagi menatap Adam Liandra Kin, namun menatap jalanan ramai di depannya.     

"Udah tapi percuma karena aku gak bawa bukti surat dari dokter dan rumah sakit."     

Davira tersenyum seringai. "Orang dewasa memang egois 'kan?" tanyanya mempersingkat.     

Adam kembali menoleh. Menatap gadis yang sudah tak lagi memberi sorot lensa untuknya. Senyum tipis nan miris terlukis jelas di wajahnya. Seakan kalimat itu tak hanya muncul sebab asal sebut untuk menanggapi pernyataan dari lawan bicaranya. Namun, kalimat itu seakan muncul sebab luka yang dipendamnya sudah terlalu banyak dan tak bisa dibendung lagi.     

Tentang orang dewasa yang egois, itu 'kah yang menjadi dasar luka hati gadis cantik di sisinya itu?     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.