LUDUS & PRAGMA

61. Cerita Baik dari Orang Baik.



61. Cerita Baik dari Orang Baik.

Bus yang membawa tubuh Davira juga Adam kini tegas membelah padatnya jalanan kota. Sesekali berhenti kala lampu merah menyala kemudian kembali berjalan kala hijau datang menyapa. Lajunya pun tak tetap. Kadang cepat lalu sedang, juga kadang kala sedang lalu diperlambat. Gadis yang naik bersama seorang remaja itu sengaja memilih kursi di barisan kedua dari belakang sebab Davira tak suka duduk di paling depan. Toh juga, kursi di barisan paling awal sudah di isi oleh nenek tua yang duduk rapi bersandar ditemani oleh cucu laki-lakinya.     

Ia diam sesaat. Menoleh ke arah keluar jendela kala menyadari posisi asing tercipta di antaranya juga Adam Liandra Kin. Duduk berhimpit dengan sisi bahu yang saling menempel membuat Davira maupun Adam sedikit canggung kali ini. Sebenarnya sih untuk Adam ia sangat bahagai! Mengingat yang sedang duduk rapi di sisinya itu adalah si gadis cantik pujaan hati. Jadi, kalau boleh jujur tak pernah ada rasa canggung dalam kamus kehidupannya kalau sudah menyinggung pasal gadis cantik. Lagian mau canggung sebab apa? Dari secara fisik Adam tak mungkin mendapat penolakan. Secara materi pun, remaja itu bisa dikatakan adalah anaknya orang kaya yang tidur beralaskan uang. Keluarga orang baik dan berada. Jadi, tak ada alasan untuknya harus canggung dan takut kalau-kalau para gadis cantik akan menolaknya nanti.     

Yang canggung setengah mati itu adalah Davira Faranisa. Gadis yang hanya diam bungkam mengunci rapat bibirnya itu masih terus saja membenarkan posisinya sembari berdeham ringan sebab rasa tak nyaman dirasa karena duduk berhimpit dengan remaja yang jujur saja, masih terasa asing untuknya.     

Bodoh memang dirinya itu, mengapa juga mengiyakan tawaran Adam beberapa waktu lalu untuk mengajak gadis itu menjenguk mamanya? Mungkin sebab yang sedang sakit adalah seorang ibu yang tak lagi ada suami setia yang menjadi penemannya? Layaknya Diana, mama tercinta yang sudah tegar dan teguh dalam menghidupinya selama ini.     

Davira tahu perihal papa Adam yang jarang sekali pulang ke rumah. Kata Arka dalam ceritanya, papa Adam itu orang sibuk. Kerjanya bolak balik keluar kota dan keluar masuk dalam serta luar negeri. Perusahaan pusatnya adalah di Singapura, namun anak cabangnya ada di Indonesia. Jadi wajar saja kalau sering tak pulang ke rumah, namun uang dan fasilitas yang diberikan teruntuk dua putra tampan berwajah identik itu tak pernah kurang bahkan selalu dibuat berlebih. Dalam cerita Arka juga, Adam lah yang menjadi pengganti papanya kalau mama sedang sakit atau dirundung masalah. Juga kalau-kalau si adik kecilnya sedang dalam bencana besar. Adam yang mengurus semuanya. Itulah cerita singkat Arka Aditya beberapa malam lalu kala Davira tak sengaja menyingung pasal Adam Liandra Kin.     

"Makasih udah mau jengguk mama aku," ucap Adam menyela. Kalau dipikir-pikir, ia belum sempat mengucapkan terimakasih atas kelonggaran hati Davira Faranisa untuk datang dan menjenguk mamanya.     

"Sama-sama." Gadis di sisinya menjawab. Kini menoleh pada Adam dan menyadari bahwa posisi mereka sangat dekat saat ini. Paras tampan Adam terekam jelas oleh netranya. Membuatnya benar-benar ingin memuji sebab anugerah yang dilukiskan semesta untuk membentuk visual milik remaja itu sangatlah berlebihan.     

"Gak ijin sama mama kamu dulu, gak papa?" lirih Adam menimpali.     

"Mama dinas. Gak ada kabar sejak kemarin. Mungkin terlalu sibuk," ucap gadis itu menjelaskan singkat.     

"Gak ijin sama mamanya Arka sebab kamu pulang telat?"     

Gadis itu diam sejenak. Ah, benar! Ia melupakan perihal Tante Desi.     

"Makasih udah ngingetin," kata gadis itu kemudian merogoh ponsel dalam tas gendong yang ada di pangkuannya. Menggeser layar dan menekan tombol kunci tanpa peduli Adam yang kini ikut menyaksikan segala gerak lincah jari jemari Davira untuk mengolah apa isi yang ada di dalam ponselnya itu.     

Wajah Arka bersamanya dalam satu scene layar yang sama. Mereka tertawa berdua. Wajah bahagia Arka juga Davira yang tersenyum simpul dengan rangkulan tangan remaja sialan itu seakan menjadi penegas bahwa keduanya memang sangat dekat melebihi batasan sebagai seorang sahabat lama. Menyebalkannya lagi, foto itu tak hanya dijadikan Davira sebagai wallpaper beranda ponselnya, namun juga sebagai latar belakang aplikasi chat yang sedang digunakan gadis itu untuk mengirimi pesan singkat pada sang pemilik nomor.     

Sedekat itu 'kah mereka itu?     

"Kamu beneran sahabatan sama Arka sejak SD?" tanya Adam sesaat Davira menyelesaikan aktivitas mengetik pesan dan kembali menutup ponselnya.     

Gadis itu menoleh dengan sedikit mendongak untuk menatap remaja yang baru saja menginterupsi ketenangan yang ada.     

"Iya." Davira menjawab singkat. Kembali memasukkan ponselnya ke dalam tasnya kemudian menatap jauh ke depan.     

"Seberapa dekat?" tanya Adam mulai menginterupsi.     

Davira diam. Sejenak tersenyum kaku untuk memberi respon apa yang baru saja ditanyakan Adam untuknya.     

"Sangat dekat. Bahkan aku terkadang menganggapnya sebagai pengganti mama kalau mama lagi sibuk," terangnya mempersingkat.     

Remaja tampan berhidung lancip di sisinya itu kini mengangguk ringan. Sedikit paham dengan apa yang dikatakan gadis tercinta yang sudah menarik hatinya barusan itu.     

"Bagaimana kalau Arka pergi suatu saat nanti?"     

Davira menoleh. Kembali memberi tatapan sayu pada Adam yang jelas menunggu kalimat balasan dari gadis di sisinya itu.     

"Pergi karena apa? Arka tak mungkin—"     

"Tak pergi begitu saja? Dunia di masa depan itu akan lebih kejam dari sekarang ini. Bukankah mempersiapkan adalah hal yang tepat?" lontarnya tersenyum ringan pada Davira.     

Gadis itu ikut menggembangkan senyumnya. Kembali membuang arah tatapannya jauh ke luar jendela sembari menatap langit yang mulai mendung sore ini. Tiba-tiba mendung dan akan turun hujan? Tak usah risau atau terkejut berlebihan, sebab sudah biasa semesta melakukan itu. Mendatangkan mendung tiba-tiba maksudnya. Bahkan terkadang, tak ada mendung namun hujan deras turun menghamtam bumi. Lucu bukan 'kelakuan' seenaknya yang dilakukan oleh semesta itu?     

"Bagaimana jika Arka pergi meninggalkan kamu?"     

"Sebab dia adalah laki-laki. Dunia luar sedang menunggunya." Adam mengimbuhkan. Menuntaskan kalimatnya dengan nada lirih sembari menaruh banyak perhatian untuk gadis yang lagi-lagi tersenyum ramah alih-alih marah atau merubah ekspresinya sayu.     

"Aku akan menunggunya kembali. Sahabat tak akan pernah melupakan sahabatnya. Sahabat juga tak akan pernah memutuskan hubungan secara sepihak. Karena sahabat adalah hubungan yang paling mulia di dunia. Melebih hubungan pacaran, pertunangan, atau bahkan pernikahan." Davira kini menoleh. Sejenak menghentikan kalimatnya untuk lagi-lagi mengembangkan senyum di atas bibir merah muda miliknya.     

"Pacaran, pertunangan, dan pernikahan hanya diikat oleh buku dan cincin. Kalimat janji yang tak sempurna akan memudar dan hilang seiring dengan berjalannya waktu. Namun persahabatan, diikat atas dasar rasa senasib dan seperjuangan. Kita mengikat bukan dengan cincin, buku, atau uang taruhan yang disebut mas kawin. Kita saling mengikat dengan rasa yang tulus untuk bisa saling melengkapi luka satu sama lain," pungkasnya menutup kalimat.     

Adam tersenyum. Kalimat gadis itu sangat menyentuh. Bukan narasi panjang yang sedang dibaca ulang, namun kalimat yang terucap dari celah bibir mungil itu adalah sebuah isi hati yang sudah lama dipendamnya sendiri. Seseorang memancing gadis itu untuk membuka catatan rapi yang ada di dalam hatinya. Membacakannya dengan penuh penekanan juga penuh perasaan yang teramat dalam.     

"Kalau Arka menemukan gadis lain? Maksudku kalau dia menyukai seorang gadis dan memilih untuk—"     

"Aku akan bahagia dan bersyukur. Sebab rasa tulusnya tak sia-sia jikalau ia menemukan gadis yang lebih baik dari aku." Davira menyela. Membuat Adam sejenak bungkam sebab jawaban mengejutkan dari gadis di sisinya itu.     

"Kamu tau kalau Arka suka sama kamu?" tanyanya kemudian.     

Davira tertawa kecil. "Dia bahkan menyatakan perasannya beberapa waktu lalu. Tapi aku—"     

"Kamu nerima itu?!" pekik Adam sedikit meninggikan nada bicaranya sebab ia benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakan Davira barusan. Remaja sialan yang menjabat sebagai wakilnya itu rupanya sudah menipu dirinya.     

Davira membulatkan sejenak matanya. Separah itu Adam terkejut hanya sebab satu kalimat yang baru saja dikatakannya itu?     

"Aku nolak," jawab Davira singkat.     

Adam kini menghela napasnya. Lega dirasa karena usahanya tak akan sia-sia sebab hati Davira tak jadi terisi oleh nama Arka Aditya di dalam sana. Jadi, ia bisa dengan tenang melanjutkan perjuangannya untuk mendapat hati gadis itu nantinya.     

"Kenapa kamu nolak? Bukankah Arka sudah lama jadi sahabat kamu?"     

"Karena dia sahabatku," tukas gadis itu mempersingkat.     

"Yang aku butuhkan darinya adalah jiwa seorang sahabat. Bukan seorang kekasih laki-laki," ucap Davira mengimbuhkan dengan nada yang semakin pelan hingga lirih terdengar sama suaranya masuk ke telinga Adam Liandra Kin.     

"Kalau Arka tetep suka dan pengen kamu jadi pacarnya kau mau apa?"     

"Aku juga aman tetep nolak sebab dia adalah sahabatku. Caraku menyayanginya ... berbeda." Gadis berambut panjang di sisinya itu mengakhiri kalimat dengan senyum singkat. Sejenak melirik Adam yang merubah raut wajah serta tatapannya teduh. Baginya, Davira tak hanya menyimpan banyak luka di dalam relung hati yang paling dalam. Namun, juga menyimpan rindu pada seseorang yang seharusnya bisa menjadi laki-laki baiknya untuk saat ini. Namun, sebab semesta memberi takdir lain untuk Davira Faranisa, laki-laki baik itu tak pernah ada. Digantikan oleh kehadiran Arka yang juga baik meskipun tak sebaik 'laki-laki baik' yang diharapkan bisa dicintai Davira bukan sebab seorang kekasih, namun sebagai sahabat teman berbagi dalam suka maupun duka.     

Adam Liandra Kin sekarang paham, yang diinginkan Davira bukanlah seorang kekasih untuk memberi warna cinta bak pelangi indah selepas hujan turun membasahi bumi. Namun, seorang sahabat baik yang bisa menerimanya apa adanya. Mendengkarkan juga memberi solusi untuknya. Menutup lukanya dengan cara yang sederhana dan mengelabuhi waktu agar bisa membuatnya lupa, bahwa ia sedang 'sakit' saat ini.     

"Untuk jadi yang kedua, aku boleh jadi sahabat kamu?" Adam kini membuka suaranya. Membuat gadis di sisinya menoleh sedikit mendongak dan merubah ekspresi wajahnya sayu sedikit sendu.     

"Aku tak minta jadi yang pertama seperti Arka. Setidaknya datanglah padaku kalau Arka tak ada," ucapnya melanjutkan.     

Davira diam. "Cukup menjawab pertanyaannya. Sebentar lagi kita sampai," tukas Davira mengalihkan pembicaraan. Enggan menjawab? Lebih tepatnya enggan memutuskan. Sebab hatinya saat ini sedang bergejolak antara benar menerima atau menolak tegas tanpa bantahan.     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.