LUDUS & PRAGMA

62. Dusta yang menyakitkan.



62. Dusta yang menyakitkan.

0Senja menyapa. Mengiringi setiap langkah gadis cantik yang berjalan ringan sembari terus menatap lorong rumah sakit yang dipenuhi oleh orang-orang asing, namun tak dengan bau khas rumah sakit yang kini menari ria di dalam lubang hidungnya. Setelah turun dari halte bus, Davira tak lagi banyak bercakap dengan remaja yang kini berjalan di sisinya sembari sesekali melirik ke samping untuk memastikan gadis yang diajaknya kemari itu tak hilang ditelan keramaian orang-orang yang berlalu lalang sebab tubuhnya yang mungil sedikit semampai kalau boleh dibandingkan dengan tubuh tinggi milik Adam Liandra Kin, Davira hanya sepantaran pundak lebarnya saja.     
0

"Soal Kayla," sela Davira sesaat lorong yang mereka lalui mulai menyepi tak seramai lorong sebelumnya.     

Adam menoleh. Nama yang disebut Davira barusan itu memang sudah tak asing untuknya lagi. Namun, yang menjadikannya asing adalah sebab Davira Faranisa-lah yang menyebutkannya. Sebab jikalau diputar kembali saat sebelum gadis itu menyebut nama Kayla Jovanka, Davira tak pernah terlihat bercengkrama akrab dengan gadis yang sedang dekat dengan Adam Liandra Kin itu.     

Oh, pernah! Adam pernah melihat gadis itu bercengkrama bersama Kayla Jovanka. Bukan akrab namun lebih kepada situasi mencengkam ala-ala drama anak remaja yang sedang ada di puncak konfliknya. Ya, benar! Saat Davira mencengkram kerah Kayla Jovanka di lorong sekolah. Adam ... melihat semua kejadihan itu dari jarak yang amat jauh. Tak mendengar apa yang dikatakan keduanya untuk saling menyahut memang, namun dari adegan yang terjadi antara keduanya pastilah bukan hal baik nan harmonis yang menyertai hubungan mereka. Seperti seorang musuh yang tetap tenang meskipun sedang saling tatap di antara keramaian misalnya.     

"Kenapa sama Kayla?" tanya Adam kini jelas merubah sorot matanya untuk menatap gadis yang berjalan ringan seirama dengan langkah kaki jenjangnya itu.     

"Kamu juga sahabatan sama dia? Atau kamu suka—"     

"Aku pernah bilang kalau aku suka sama dia." Adam menyela. Membuat sebuah pengakuan mengejutkan yang sebenarnya untuk Davira Faranisa, ia hanya ingin memastikan saja bahwa apa yang dikata si gadis sialan berwatak iblis tadi pagi menjelang siang adalah sebuah fakta bukan hanya bualan semata.     

"Lantas? Sebrengsek itu 'kah kamu?" Davira menimpali. Tak mau merubah sorot matanya dan terus menatap lurus ke depan.     

Adam terkekeh kecil. "Apa batasan untuk seorang laki-laki agar tak kamu sebut sebagai seseorang yang brengsek? Dengan tidak menyatakan perasaan pada dua gadis sekaligus adalah syarat salah satunya?" tanya Adam kembali menyahut.     

Davira kini sejenak menghentikan langkahnya. "Aku tahu kamu gak bodoh 'kan?" tuturnya kemudian kembali melanjutkan langkahnya untuk menyusuri lorong yang ada di depannya. Adam mengekori. Tersenyum singkat untuk menanggapi sikap dingin Davira yang baru saja muncul kembali kepermukaan setelah beberapa menit lalu tertidur dan digantikan oleh sifat hangat nan terbuka miliknya.     

"Tujuan kita sama." Adam lagi-lagi menyela.     

"Sama-sama ke kamar rawat inap mama kamu?"     

Lucu! Sedikit lucu sebab gadis itu dengan polosnya menebak asal tanpa berpikir dengan jernih terlebih dulu.     

"Menjaga agar orang terbaik dalam hidup kita tak pergi," sahut Adam membantah apa yang baru saja dikatakan oleh Davira barusan.     

Gadis itu menoleh. Lagi-lagi menghentikan langkahnya kemudian memutar tubuhnya untuk bisa menatap paras tampan remaja di sisinya itu.     

"Seperti yang aku lakukan untuk Arka?" tanyannya melirih.     

Adam tersenyum kemudian. Menggeleng samar untuk menolak pertanyaan dari gadis yang ada di depannya itu. Tentu saja tak sama. Sebab posisi antara Kayla dan Adam dengan Davira dan Arka, tak bisa dibandingkan dan disamaratakan. Davira menyayangi Arka sebagai sahabatnya dengan tulus. Tak peduli apapun yang dilakukan Arka juga apa yang dikatakan remaja tampan nan jangkung dengan wajah khas ala orang tanah jawa pada umumnya itu, Davira akan tetap menganggapnya sebagai seorang laki-laki dekat yang katanya juga terkadang menggantikan posisi mama dalam kehidupan seorang Davira Faranisa. Itu artinya Arka Aditya sangatlah berharga bak sebuah berlian yang bersinar terang di antara ribuan batu kerikil tepi sungai.     

"Tujuan kita sama. Tapi makna yang tak bisa disamakan." Adam kembali membuka mulutnya.     

Baiklah, yang sekarang pandai bermain kata-kata bukanlah Davira melainkan si brengsek ludus yang menyebalkan namun sekarang berubah menjadi remaja baik penuh kehangatan itu. Membuat Davira sukses mengernyitkan dahinya sembari samar mengerutkan sudut matanya untuk mencoba menerka apa yang sedang ada dalam pikiran remaja jangkung berseragam sama dengannya itu.     

"Kamu menjaga sahabat agar tak pergi dengan menolak perasaannya. Sebab rasa dan tujuan kalian ada dalam ikatan yang sama. Arka mengerti apa yang kamu maksudkan dari penolakan itu 'kan? Artinya apa yang kamu lakukan sudah benar." Remaja dengan sepasang netra tajam bak elang yang sedang membidik mangsanya itu kini tersenyum di bagian akhir kalimatnya.     

"Kalau aku melindungi perasaan lemah seorang gadis dan seorang teman agar tak berubah menjadi musuh yang jahat dengan membohonginya pasal rasa," tukas Adam menutup kalimatnya.     

Davira diam. Namun, dalam diam itu ia paham benar apa yang sedang dikatakan Adam untuk menjelaskan situasinya saat ini. Singkatnya jikalau Davira menjaga hubungan baiknya dengan Arka Aditya dengan cara menolak perasaan remaja yang sudah lebih dari sepuluh tahun hidup sebagai sahabatnya itu, Adam lain. Remaja jangkung dengan visual dan fisik yang saling mendukung satu sama lain itu tak begitu. Caranya menjaga hubungan baik dengan teman pertama setelah menginjak masa remaja adalah dengan cara mengiming-iminginya dengan permen manis yang dituangkan dalam sebuah kata-kata pengakuan cinta.     

"Kamu paham sekarang?" tanyannya melirih.     

Davira menghela napasnya kasar. Mengapa bisa sampai sejauh ini ia mengulik apa yang tersimpan di dalam hati seorang Adam Liandra Kin? Mengapa ia bisa merasa sedekat dan sepenting ini untuk Adam Liandra Kin hanya sebab mereka menghabiskan senja bersama? Davira pasti sudah gila sekarang ini!     

"Diam kamu aku anggap mengerti," pungkas Adam mengulurkan tangannya. Mengusap puncak kepala gadis yang ada di depannya itu dengan lembut. Kemudian tersenyum ringan dan melanjutkan langkahnya kala tak ada jawaban pasti dari gadis yang ada di depannya itu.     

Davira benar-benar mematung sejenak kali ini. Seperti seakan seluruh tubuhnya sudah dibuat kaku sebab usapan lembut yang baru saja diberikan Adam untuknya. Remaja itu ... lagi-lagi membuat Davira goyah!     

Gadis itu kini kembali berjalan ringan. Mengekori segala langkah remaja jangkung yang kini menjadi navigasi tujuannya saat ini. Jujur saja, bertemu dengan mama Adam sedikit membuat jantungnya was-was. Bukannya apa, sedekat apapun Davira dengan teman-temannya ia tak pernah bertemu dengan mama atau papa dari teman-temannya itu. Jadi bisa dibilang bahwa gadis itu gugup!     

"Kamar mama aku ada di depan sana," tukas Adam menujuk sebuah pintu yang tertutup rapat. Sejenak melirik Davira yang hanya mengangguk ringan tanpa mau bersuara banyak.     

Semakin tegas mereka melangkah menyusuri lorong. Hingga pada akhirnya langkah Davira terhenti sesaat dari kejauhan nampak dua pasang fisik tubuh yang tak asing untuknya. Gadis itu menyipitkan matanya. Memantung di tempat bak sebuah balok es yang diletakkan di almari penyimpanan. Adam menoleh. Ikut menghentikan langkah kakinya guna mencoba menerka apa yang sedang dilihat gadis cantik di sisinya itu.     

Sorot lensanya terhenti dalam satu titik. Menatap langkah wanita yang masih berdiri di depan sebuah pintu ruang konsultasi dokter seperti sedang menunggu seseorang keluar dari dalam sana.     

Adam mengikuti arah sorot netra Davira. Membuatnya sedikit paham mengapa gadis itu terhenti tiba-tiba dan merubah tatapan eksprsinya saat ini. Wanita yang sukses mencuri segala fokus gadis itu sekarang adalah mamanya. Wanita paruh baya yang harusnya berada di luar negeri untuk melaksanakan tugasnya itu, berdiri sembari terus menatap ke dalam ruangan. Menunggu seseorang dengan kecemasan penuh sembari sesekali mengigit jarinya tanda hatinya yang sedang tak tenang kali ini.     

"Mama kamu? Aku akan—"     

Davira menghentikan aktivitas Adam yang baru saja ingin berjalan datang ke arah mamanya. Menarik pergelangan tangan remaja itu kemudian menggeleng ringan tanda tak perlulah Adam menyapa mamanya kali ini.     

Sigap tangan gadis itu merogoh ponsel yang ada dalam tasnya. Membuka layar dan memekan beberapa tombol dengan jari jemari lentiknya kemudian mendekatkan benda itu ke telinga kirinya. Davira sedang melakukan panggilan saat ini.     

Adam diam membisu. Terus menyaksikan apa yang sedang dilakukan gadis itu kemudian menoleh ke arah wanita yang samar terlihat sebab lalu lalang orang yang ada di depan mereka terkadang menghalangi. Wanita bergaun merah pekat selutut yang apik dipadukan sepasang high heels pekat itu sedang menerima panggilan saat ini. Membuat Adam paham bahwa Davira sedang menelepon mamanya.     

"Mama di mana?" tanya Davira lirih kala suara samar terdengar dari dalam ponselnya.     

"Kerja?" ucapnya menegaskan apa yang baru saja didengar oleh kedua lubang telinganya.     

"Lihat kanan mama. Davira di sana," tukas gadis itu melanjutkan kala suara mamanya terus mengoceh untuk menjelaskan bahwa ia sedang sibuk sebab urusan kantor saat ini sedang menumpuk. Dusta! Dasar perempuan dewasa yang suka berdusta pada putrinya sendiri!     

"Jangan ke sini. Sebab Davira ingin—" ucapan gadis itu terhenti kala kini lensanya menatap pemandangan yang benar-benar asing juga tak diharapkan olehnya akan terjadi. Mamanya bersama laki-laki brengsek yang dulu pernah tinggal dan disebutnya sebagai seorang papa.     

Davira kini tersenyum seringai. Kedua lensanya jelas berkaca-kaca sebab sedang membendung tetes air mata yang ingin keluar dari celah kelopak mata bulatnya. Adam sedikit bereaksi dengan melangkah mendekat pada gadis di sisinya. Kemudian memasang tubuh jangkungnya untuk menghalangi pandangan Davira agar gadis yang benar menangis sebab melihat kedustaan dari orang yang amat dicintainya itu. Seakan paham bahwa apa yang dilihat Davira Faranisa sangat menyeramkan hingga membuat bibir gadis itu gemetar sekarang.     

"J--jangan kejar Davira." Gadis itu menutup kalimatnya. Mematikan panggilan secara sepihak kemudian menatap Adam yang juga memberi tatapan sendu padanya.     

"Berlaku untuk kamu juga," pungkas gadis itu memungkaskan perkataan singkat yang membuat Adam mengerti bahwa hati Davira tak lagi sakit, namun sudah hancur saat ini.     

Davira memutar tubuhnya. Melengkah menjauh dan berlari untuk segera meninggalkan neraka yang sudah menghancurkan hati dan segala kepercayaannya tentang sang mama. Dua hal yang paling Davira benci dan sang mama paham benar akan hal itu. Pasal kebohongan dan pengkhianatan!     

...To be Continued...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.