LUDUS & PRAGMA

63. Malam penuh duka



63. Malam penuh duka

0Senja menyambut setelah berhasil menuntaskan dan mengalahkan agungnya sinar sang surya. Tersenyum manis mentari pada seluruh penduduk bumi sebelum akhirnya purna dan membenamkan dirinya di balik semburat indahnya awan jingga yang tegas terlukis di atas cakrawala. Langkah kaki gadis yang kini tegas menyusuri jalanan sepi sisi bangunan rumah sakit itu kini memelan seiring dengan helaan napas kasar yang keluar dari celah bibir ranumnya. Kepalanya sesekali menunduk kemudian kembali menegadah untuk menatap luasnya cakrawala yang ada di atasnya. Perasaannya ... sangat kalut! Setelah ia memutuskan untuk pergi tanpa berkata banyak terhadap Adam juga sang mama yang masih berusaha meraih posisinya itu ternyata bukanlah hal yang tepat sebab sekarang ini rasa penasaran mengusai dalam benaknya. Mengapa mamanya memilih rumah sakit sebagai tempatnya singgah setelah memutuskan untuk mendusta pada sang putri? Sebab apa? Ada sesuatu yang terjadi padanya tanpa sepengatuhan Davira?     
0

Gadis itu kini benar menghentikan langkahnya. Menundukkan kepalanya dan tegas menghela napas untuk kesekian kalinya. Davira berkacak pinggang. Menatap ujung sepatu putih yang kini berjajar apik sebab posisi berdirinya sangat rapi kali ini. Gadis bersurai pekat itu kini berjongkok, membenamkan wajahnya sebab tak lagi mampu untuk menahan air mata yang sudah dibendungnya beberapa menit lalu. Isakan kecil kini terdengar samar bersama dengan kedua sisi bahunya yang naik tarun. Helai demi helai rambutnya kini ikut terjun melalui batas telinga milik gadis yang benar-benar merasakan sesak dalam dada dan benaknya sebab semesta baru saja memberi hantaman keras pada dirinya. Seakan mendukung ingin ikut serta menutupi kesedihan dan isak tangis gadis berparas cantik itu.     

Baiklah, Davira membenci ini semua! Bukan pasal air mata yang kini deras membasahi kedua pipinya yang sedikit cubby, namun sebab ia menangis di tempat umum seperti ini. Davira tak suka jikalau seseorang melihatnya dalam keadaan kacau seperti sekarang ini. Membuat orang-orang iba padanya perihal apa yang sedang diterjadi dan dirasanya hingga membuat sepasang mata bulatnya itu sembab dan ujung hidungnya memerah.     

"Ck, sial!" umpatnya di sela-sela isak tangis yang ada. Tanpa mau mendongakkan kepalanya ia terus saja mengutukki dirinya perihal apa yang sedang dilakukannya saat ini. Bodoh! Dirinya sangat bodoh sebab tak bisa menahan air matanya hingga sampai tiba di rumah nanti.     

"Jangan menahannya," sela seseorang bersuara bariton kala isak yang didengar kini semakin samar dan lirih. Sesengukan yang dihasilkannya pun terkesan benar-benar ditahan sebab ia ingin menyimpannya semuanya sendiri dalam hati.     

Davira terdiam sejenak. Mendongakkan cepat kepalanya kemudian menatap jalanan yang ada di depannya. Kasar mengusap wajahnya untuk menyeka air mata yang turun membasahi kedua pipinya saat ini.     

"Menangisnya maksud aku," lanjutnya kemudian berjalan dan memutar langkahnya kemudian berdiri tepat di depan gadis itu.     

Davira mendongak. Menyipitkan matanya sembari mengernyitkan dahinya samar. Seingat Davira ia sudah dengan jelas mengatakan padanya bahwa untuk tak lagi mengikuti Davira apapun alasannya. Namun apa ini? Permintaan yang sebenarnya adalah sebuah ancaman juga peringatan untuk Adam Liandra Kin itu tak benar diindahkan oleh remaja di depannya itu.     

"K--kamu ngapain?" tanya Davira di sela isak tangis yang baru saja ia ciptakan. Adam ikut berjongkok. Menatap paras gadis yang kini juga ikut menatapnya sayu. Wajah Davira sangat lain kali ini. Matanya sembab dengan sepasang pipi dan hidung yang memerah.     

"Teruskan nangisnya." Adam kembali bersuara. Kini tangannya terulur untuk meraih pundak gadis yang ada di depannya.     

"Menangis—"     

"Cih, sialan." Gadis itu memotong kalimat Adam. Tersenyum miris di sela wajah sayunya teruntuk Adam Liandra Kin.     

Remaja di depannya sejenak diam. Sepasang netranya kini tegas terblokir sebab perubahan ekspresi wajah sayu gadis yang ada di depannya itu. Bahkan, dalam keadaan seperti ini pun ia masih menyempatkan suara dan waktunya untuk mengumpat dan tersenyum licik. Sekarang Adam paham, bahwa inilah yang dimaksud tentang gadis itu sedang sakit saat ini.     

"Pergi," ucap Davira lirih. Melirik sekilas genggaman jari jemari Adam di atas pundaknya. Davira bangkit. Membenarkan posisi dan bajunya yang sedikit terlipat sebab posisinya sebelum ini.     

"Aku udah bilang untuk gak ngikutin aku, kamu tuli?" tanya Davira dengan nada lirih sedikit gemetar. Sumpah demi apapun, hatinya sangat kalut saat ini.     

"Kalau aku pergi, kamu mau lanjutin nangisnya?" Remaja itu tipis mengembangkan senyum untuk tetap terlihat sedang ingin mencoba membantu menutup luka yang dirasa oleh Davira Faranisa. Meskipun Adam tau, bahwa itu mungkin saja akan sia-sia.     

Davira diam sejenak. Membuang tatapannya jauh ke sisi jalanan kosong sebab jalanan kecil sisi rumah sakit bukanlah akses jalanan umum yang sering dilalui para pengendara dan pengguna jalan lainnya.     

"Terserah," ucapnya menutup kalimatnya. Kembali mengambil langkah untuk meneruskan perjalanan yang sempat terhenti sebab isak tangis tak mampu dibendung lagi. Berjalan melalui Adam tanpa mau mengubris atau berpamitan pada remaja yang kalau ditelisik dengan benar, dialah yang membuat Davira melihat hal mengertikan dan menyesakkan dadanya tadi. Akan tetapi, ini bukanlah saat yang tepat untuk saling menyalahkan atau membenarkan posisi diri sendiri. Ini adalah saat yang tepat untuk Davira segera mempercepat langkah agar bisa sampai ke halte bus dan pulang ke rumahnya. Entah untuk mencari tempat agar bisa semakin puas mengeluarkan segala beban dan sisa isak tangis yang ada atau hanya sekadar ingin melepas lelah dan menutup matanya mencoba untuk mengakhiri hari dengan paksa. Yang jelas, Davira hanya ingin pergi dari khawasan ini secepatnya sebab hatinya sakit, dadanya sesak, batinnya terluka, jiwanya hancur, dan raganya ingin ambruk sekarang ini. Mamanya ... mengkhianati Davira!     

Gadis itu kini kembali mengeluarkan air matanya. Samar tatapannya menatap jauh ke depan jalanan yang hanya berisikan jajaran lampu guna menyaingi cahaya indah rembulan malam. Ia pasrah! Membiarkan langkah kaki gontainya diiringi dengan tetes demi tetes air mata yang tak bisa dibendungnya lagi. Luka masa lalu, terbuka kembali. Itulah gambaran keadaan Davira saat ini. Isak tangis yang kembali mulai terdengar seakan menandakan bahwa luka yang kembali ditorehkan padanya itu benar-benar menyakitkan. Ia ingin menyerah! Menyuruh siapapun membunuhnya saat ini.     

"S--si--sialan!" lirihnya dengan nada gemetar. Sekali lagi mencoba menahan isak tangis agar tak tegas keluar dan terdengar oleh orang yang masih kokoh mengekori langkahnya sekarang ini. Adam Liandra Kin.     

"J-jangan me--mengikuti ... aku ingin pu—"     

Srek! Suara kasar permukaan sepatu putih Davira tegas menggesek permukaan kasar aspal jalanan yang menjadi tempatnya berpijak kala tangan panjang milik Adam Liandra Kin menarik pergelangan tangan gadis itu untuk memaksa tubuh Davira berputar dan menjatuhkan tubuhnya tepat di pelukan hangat remaja jangkung itu.     

Davira meronta. Respon yang diberikan Adam untuknya sangat berlebihan saat ini dengan tiba-tiba menarik tubuh Davira dan memberi gadis itu sebuah pelukan hangat. Akan tetapi, rontaan gadis itu tak ada gunanya saat ini. Adam tak mau melunak meskipun Davira berusaha menolak pelukan itu. Semakin tegas ia merapatkan tangannya untuk memeluk tubuh mungil Davira yang mulai melunak dan melemas.     

"Menangislah, aku akan berpura-pura tak melihat dan mendengarnya." Adam berucap lirih. Sejenak melirik puncak kepala gadis yang kini terdiam sembari masih memutuskan untuk menahan isak tangis dengan menggigit bibir bawahnya.     

"Aku akan melupakan malam ini jika perlu. Menangislah," bujuknya dengan nada lirih.     

Sukses! Davira kini menangis sejadi-jadinya. Kedua tangan yang tadinya ia simpan di depan dada untuk membatasi posisinya dengan Adam, kini mulai melunak. Turun ke bawah dan tak ada lagi perlawan yang diciptakan gadis itu untuk menahan aksi Adam kali ini. Adam menghela napasnya kasar. Semakin tegas memberi pelukan untuk merendam isak tangis Davira yang benar-benar menyayat hatinya saat ini.     

Selama ia 'bermain' bersama para gadis cantik, ia tak pernah merasa se-iba dan sesedih ini. Gadis yang menangis sebab dirinya, tak pernah diindahkan oleh Adam Liandra Kin. Paling-paling hanya satu dua hari Adam akan merasa bersalah. Setelah itu, ia akan melupakannya. Namun malam ini, rasa itu lain. Ia benar-benar ingin memeluk gadis itu sampai pagi. Membuatnya tertidur dalam sebuah pelukan hangat hingga lupa bahwa malam ini sangat menyeramkan bak wahana rumah hantu yang menyembunyikan banyak kejutan aneh juga menyeramkan.     

"J--jangan ceritakan pada siapapun tentang hari ini." Davira melirih di sela isak tangis yang begitu menyayat hati itu.     

Adam berdeham ringan. "Aku akan melupakannya. Jadi ... menangislah," ucapnya menimpali. Mengusap puncak kepala gadis yang kembali terisak sebab tangis belum selesai dan hati belum lega kondisinya.     

Bagi Davira, posisi seperti ini sangat nyaman! Bukan pasal Adam si brengsek menawan hati yang sedang memeluknya saat ini, namun sebab posisi seperti ini sangat dirindukan Davira di tengah hawa dingin malam yang ada. Pelukan Adam mirip dengan rasa hangat kala Arka memeluknya jikalau Davira sedang kalut saat itu.     

"Davira, lo sedang apa?" tukas seseorang menyela pelukan keduanya. Baik Davira maupun Adam cepat memberi respon untuk kalimat itu. Untuk Davira, sigap ia melepas pelukan Adam dan untuk remaja brengsek yang sekarang menghela napasnya berat itu sigap memutar tubuh jangkungnya sebab suara yang baru saja menginterupsi itu berada di balik punggung lebarnya. Suara berat nan lirih itu tak asing lagi untuk keduanya! Ya, Arka Aditya datang di saat yang sangat tidak tepat.     

"Gue tanya ... lo sedang apa?" tanyannya mengulang. Davira diam. Tatapannya sayu menatap paras sang sahabat yang baru saja datang tanpa ada suara yang mengganggu hingga Davira sendiri pun tak tahu, sejak kapan Arka berdiri di sana?     

"Mama ...."     

"Gue tahu. Gue anterin pulang," sahut Arka menyela kalimat Davira. Berjalan mendekat dan sejenak melirik Adam yang tegas memberi tatapan malas untuk Arka. Bedebah sialan remaja brengsek satu ini! Bisa-bisanya ia datang dan mengacau momennya dengan wajah menyebalkan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.     

"Ayo," lirihnya menarik tangan Davira.     

Adam mencegah. Ikut menahan gadis itu dengan menarik satu sisi tangannya. "Dia belum jawab mau pergi sama lo apa enggak, jadi jangan maksa."     

Arka menoleh. Memutar tubuhnya kemudian mengernyitkan dahinya samar. Tersenyum licik sembari berjalan mendekat ke arah Adam. "Semuanya gara-gara lo. Kalau lo gak ngajak dia jengguk mama lo, dia gak akan tau kalau mamanya masih di Indonesia," ucap Arka lirih penuh penekanan.     

"Lo emang brengsek yang suka mengacau," lanjutnya menutup kalimat. Kembali menarik tangan Davira yang hanya diam sembari sesekali menatap Adam yang membisu tak mampu bersuara apapun. Benar kata Arka, semua ini .. karena dirinya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.