LUDUS & PRAGMA

64. Malam Penuh Luka



64. Malam Penuh Luka

0Pulang ke rumah? Tidak! Arka tak benar membawa Davira untuk kembali ke rumahnya. Baik gadis yang masih dengan hati kalut dan wajah sedikit sembab sebab isak tangis yang bertubi-tubi turun membasahi pipinya yang sedikit cubby beberapa waktu lalu itu juga remaja yang menjadi navigasi tujuannya malam ini hanya diam tak bersuara sebab memang tak ada yang patut dibicarakan untuk saat ini. Davira hanya terus menatap jauh apa-apa saja yang ada di depannya, mengabaikan paras tampan remaja yang tegas melukiskan semburat wajah kesedihan dan kekhawatiran untuk gadis yang sudah menjabat sebagai teman masa kecil sekaligus cinta pertamanya itu.     
0

Setelah berpuluh menit lamanya Arka membawa Davira menyusuri ramainya jalanan kota, ia memberhentikan motor gede-nya dan membawa Davira singgah di sebuah kafe sederhana yang tak terlalu ramai sebab dibanggun di pojokan jalanan yang bukan merupakan akses utama para pengendara juga pengguna jalan lainnya. Bisa dikatakan, si pemilik sedikit bodoh dengan memilih tempat berdagang di area yang tak strategis begini. Namun apa boleh buat, pun jikalau Arka bertanya pada si pemilik pastilah harga sewa yang murah adalah alasan mendasar mengapa ia memilih hal bodoh untuk memulai karirnya sebagai seorang pembisnis muda.     

Segelas cokelat hangat dihidangkan bersama dengan kepulan asap yang masih tegas mengudara. Bersama dengan sepiring roti kering guna sedikit meredakan rasa gelisah juga kekecewaan yang dalam keyakinan penuh seorang Arka Aditya pastilah ada dan menguasai segala sudut yang ada di dalam hati Davira Faranisa.     

"Makan rotinya dan minum cokelatnya selagi hangat. Setidaknya ini bisa bikin hati lo--"     

"Lo tau mama masih ada di Indonesia?" Davira menyela. Tanpa mau merubah arah tatapannya dan terus memusatkan fokusnya menatap ke arah jendela luar yang ada di depannya.     

Arka diam. Memilih bungkam sejenak dan enggan mengubris atau sedikit memberi respon untuk menjawab pertanyaan dari Davira yang jujur saja, sedikit mengejutkan.     

"Maksud gue ... lo tau mama gak pernah dinas ke luar kota?" lanjutnya dengan nada milirih. Sungguh demi apapun yang Arka Aditya milikki saat ini, suara dan nada bicara Davira benar-benar menyayat habis hatinya sekarang ini. Penampilan gadis itu nampak sedikit kacau didukung dengan ekspresi wajah yang tak kalah 'berantakannya' dengan nada bicara malas sedikit gemetar sebab Davira masih mencoba untuk tak lagi menangis kali ini. Apapun alasannya, ia tak boleh menangis!     

Arka menghela napasnya. Melirik sejenak Davira yang kini menoleh padanya. Ekspresi wajah gadis yang amat dicintainya itu terlihat begitu kacau saat ini.     

"Hm," erang remaja berhidung standar dengan bentuk mata bulat yang menajam di bagian ujungnya itu.     

Davira tersenyum miris. Kembali menarik segala fokusnya agar tak lagi menatap remaja yang kalau dirasa dengan benar, sedikit menyebalkan malam ini. Pertama, ia datang dan mengacau segala momennya bersama Adam Liandra Kin. Menarik tubuh gadis itu tanpa mau menunggu jawaban mau atau tidak Davira pergi bersamanya dan meninggalkan Adam yang membeku di tempatnya tadi. Sekarang? Davira tahu akan satu fakta mengejutkan dari Arka Aditya, bahwa sahabatnya itu mulai berani dan tega membohongi dirinya setelah lebih dari separuh hidupnya dihabiskan dengan menyandang status sebagai sahabat kecil yang dengan setia menemani Davira hingga tumbuh beranjak menjadi gadis remaja berparas cantik dan fisik sempai yang mumpuni.     

"Lo bohongin gue rupanya," tukas Davira melirih. Membuat Arka yang tadinya hanya diam sesaat setelah memberi respon singkat untuk pertanyaan Davira itu kini tegas merubah ekspresi wajahnya. Bersalah? Sangat! Meskipun jujur saja, kebohongan yang dilakukannya itu tak pernah benar ia lakukan. Arka hanya menuruti perintah dengan selalu menjaga amanah perihal keberadaan Tante Diana. Jika saja beberapa hari lalu ia tak berpapasan dengan Tante Diana di pertigaan jalan tempatnya membelikan sang mama martabak telur dan beberapa jajanan ringan pinggir jalan, ia juga tak akan pernah tau dan tak akan pernah menyangka bahwa seorang wanita karir yang dicap sebagai single parent taguh dan sabarnya melebihi batas manusia wajar itu dengan teganya membohongi putrinya sendiri hanya untuk membantu sang mantan suami.     

"Gue minta maaf," lirih Arka akhirnya menyela dengan embusan napas kasar yang menyertai di bagian akhir kalimatnya.     

"Hanya itu? Gak ada yang lain?" Davira menimpali. Kembali menatap paras tampan remaja yang duduk tak jauh darinya itu.     

Diam bungkam sebab memang tak ada yang harus dikatakan oleh bibirnya lagi. Arka memilih untuk menyimpan apa yang dirasa olehnya perihal Tante Diana sekarang ini. Bukannya apa, menjelaskan pun tak akan membuat hati sahabat baiknya itu sembuh sekarang.     

"Minum cokelatnya keburu dingin," katanya menutup kalimat.     

"Kenapa ada laki-laki itu bersama mama?" tanya Davira menampik tangan berotot milik Arka yang baru saja mau menyodorkan segelas cokelat yang mulai tak lagi mengepulkan asapnya sebab dingin adalah keadaannya saat ini.     

"Gak tau?" lanjut Davira saat yang ditanya hanya diam sembari terus menatapnya penuh makna.     

"Sejauh apa lo tau tentang kebohongan mama sama—"     

"Dia pasti punya alasan, Davira." Arka kini menyela kala gadis yang tadinya berbicara dengan suara lirih itu mulai meninggikan suaranya sebab jengkel sudah mendominasi di dalam dirinya. Ia muak! Sangat muak. Davira benar-benar tak suka harus dihadapkan dengan keadaan menyedihkan juga menjengkelkan seperti sekarang ini. Perasaan, ah tidak! Kepercayaannya pada sang mama seakan digerus oleh waktu yang sedang berjalan mengintarinya malam ini. Dengan seragam sekolah yang masih melekat di atas tubuhnya dan dengan dandanan serta ekspresi wajah seperti sekarang ini, bisa dikatakan bahwa Davira sedang mencoba dihancurkan oleh semesta. Seakan semua hal yang ada hari ini memberikan tamparan padanya bahwa dunia yang ada di balik punggungnya begitu mengerikan, maka dari itu Davira tak boleh berbalik badan saat ini.     

"Alasan?" lirihnya mengulangi. Tertawa kecil di bagian akhir kalimatnya sembari terus memusatkan sorot lensa sayunya pada Arka yang kini menautkan alisnya samar kala tetes air mata itu kembali membahasahi pipi cubby milik Davira Faranisa dan di atas tetes air mata itu, ada senyuman mengerikan yang membuat hati remaja berponi itu teriris. Sebesar apakah luka hati yang ada di dalam diri Davira Faranisa? Sekarang ia bisa menjawabnya. Yaitu, sangat besar!     

"Gue gak tau apa alasan mama lo bohong begini, yang jelas dia pasti punya alasan," tutur Arka dengan nada lembut. Meraih tangan Davira sembari terus memberi tatapan teduh padanya.     

"Karena kalimat berbohong itu pasti punya alasan, semuanya terasa begitu mudah 'kan?"     

Arka diam. Kalimat yang diucapkan sahabat cantiknya itu benar-benar acak dan membuatnya tak mengerti saat ini. Dengan perubahan ekspresi seperti itu, benarkah hanya ada duka dalam hatinya?     

"Karena seseorang membiarkan orang lain untuk membohonginya, dia pasti akan mengulang kebohongan itu, dengan kalimat yang sama dia akan mengatakan bahwa ... dia berbohong karena sebuah alasan," ucap Davira mempertegas maksud kalimat yang diucapnya barusan.     

"Jadi?" tanya remaja di sisi Davira sembari menaikkan kedua sisi alisnya.     

"Jangan beri tahu mama bagaimana keadaan gue sekarang. Jangan telepon mama, jangan suruh mama pulang ke rumah, dan jangan ... jangan sebut nama gue di depan mama." Davira menghentikan kalimatnya. Menundukkan kepalanya kemudian mengulum salivanya kasar. Menarik dalam napasnya lalu membuangnya perlahan.     

"Ah, enggak!" ucapnya lagi untuk menyela keheningan kala Arka hanya diam sebab dirinya masih mencoba untuk menerka maskud dan arti dari kalimat Davira malam ini.     

"Tolong gue ...," lanjutnya kemudian.     

"Bilang sama mama untuk gak nemuin gue malam ini. Bilang sama dia, untuk gak nemuin gue juga besok, lusa, sampai—"     

"Davira," sela Arka menarik pergelangan tangan gadis di sisinya. Ia sekarang paham, Davira ingin memutus semua komunikasinya dengan sang mama.     

"Sampai gue sendiri yang nyari dia," lanjut gadis itu bangkit dari tempat duduknya. Melepas kasar genggaman Arka Aditnya sembari merapikan baju dan mengemai tas punggung miliknya.     

"Lo mau bertidak sejauh ini? Bukankah nemuin mama lo dan mendengar penjelasan—"     

"Lo masih gak ngerti juga?" sela gadis itu kembali memutar tubuhnya dan sedikit menundukkan pandangannya sebab Arka yang masih kokoh dalam tempat duduknya.     

Remaja jangkung itu kini menarik napasnya dalam-dalam. Mengembuskannya kasar sembari sejenak menunduk dan mengusap wajahnya kasar kali ini. Selain menjengkelkan dan suka bersikap 'seenak jidatnya sendiri', Davira adalah gadis muda yang berkepala batu.     

"Gue ngerti apa yang lo rasain saat ini, tapi dengan semua keputusan untuk menghindari mama lo, itu gak akan menyelesaikan masalah apapun."     

"Lo gak akan pernah ngerti ... gimana rasanya dibohongi oleh orang yang paling kita percayai sebelumnya. Jadi, hargai keputusan gue."     

"Dan satu lagi ... berlaku untuk lo juga," sambung Davira menutup kalimatnya. Kemudian memutar tubuh mungil sedikit semampai miliknya itu dan beranjak pergi meninggalkan kafe tempatnya berteduh dari dingingnnya hawa malam yang seakan tegas ingin mencengkram tulang belulang siapapun malam ini.     

"Ra!" panggil Arka mencengah kepergian gadis itu. Bangkit dan berjalan keluar meninggalkan dua gelas cokelat dingin yang masih terisi penuh sebab belum sempat ia seruput habis isinya.     

"Ra! Apa maksud lo ini juga berlaku buat gue?" tanyanya sesaat setelah berhasil meraih tangan gadis yang baru saja ingin benar pergi menjauh meninggalkan bangunan kafe.     

"Jangan bicara sama gue dan jangan cari gue sampai gue yang cari lo duluan. Itu maksudnya," jawab gadis itu dengan nada ringan penuh penekanan.     

"Gue gak salah apapun di sini, kenapa—"     

"Kalau gak salah, kenapa lo minta maaf tadi?" sahut Davira memotong kalimat pembelaan dari sahabatnya itu.     

"Itu karena ... karena ... ka—karena gue." Gagap! Entah apa yang sedang dilakukan Arka saat ini, membuat pembelaan untuk dirinya sendiri tiada gunanya memang.     

"Gue 'kan udah minta maaf," ucap remaja itu pada akhirnya.     

Davira diam sejenak. "Jangan ikutin gue, gue mau pulang sendiri," pungkasnya menutup kalimat. Lagi-lagi melepas kasar genggaman tangan Arka yang sukses menghentikan langkah kakinya beberapa waktu lalu. Memutar tubuhnya kemudian berlalu meninggalkan Arka yang masih diam berada di tempatnya. Tak mengejar? Benar, satu alasan untuk hal itu malam ini. Untuk apa? Mengejar dan menghentikan Davira kala gadis itu sedang kalut seperti saat ini dan kembali membuat pembelaan untuk dirinya sediri tak akan berguna banyak. Jadi, biarkan Davira menyelami kesedihannya dahulu, nanti juga ia akan kembali pada Arka lagi.     

Seyakin itu? Tentu. Karena dia adalah Davira Faranisa.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.