LUDUS & PRAGMA

66. Cara Terbaik Menemukan Kebahagiaan



66. Cara Terbaik Menemukan Kebahagiaan

0"Adam!" teriak Davira lagi. Tak langsung memutar tubuhnya seperti sebelumnya, remaja itu sejenak menunduk untuk menyembunyikan senyum manis yang jujur saja, ia tak dongkol dengan aksi Davira yang terus saja menahannya agar tak segera pergi, namun ia bahagia. Tingkah konyol gadis itu benar-benar mengemaskan!     
0

"I Love You!" Jangan mengira jikalau Daviralah yang mengatakan kalimat mengejutkan itu. Bingo! Adam Liandra Kin adalah pelakunya. Si remaja aneh yang baru saja sukses membungkam mulut Davira sejenak sebab kalimat singkat berbahasa asing yang dengan keyakinan penuh pastilah gadis yang dituju paham benar apa maksud dan artinya. Aku mencintaimu! Sebenarnya sih, tak aneh jikalau Adam mengatakan itu teruntuk Davira, sebab remaja itu sudah pernah mengakui perasaannya dengan cara yang berbeda. Akan tetapi tetap saja, kalimat itu sukses membuat sepasang lensa milik Davira membulat sempurna dengan perubahan ekspresi wajah gadis itu saat ini.     

"Aku yakin kamu gak nunggu aku buat bilang itu 'kan?"     

Oh sialan! Adam tak sedang mengakui perasaannya untuk yang kedua kalinya, remaja itu sedang mencoba bergurau untuk mencairkan suasana dan—Davira kembali tersenyum dengan kekehan kecil yang mengakhirinya.     

"Ada apa lagi?" tanya Adam melanjutkan kalimatnya kala Davira masih bungkam.     

"Hati-hati di jalan. Maaf karena gak jadi jenguk mama kamu dan makasih udah nganterin pulang juga hibur aku." Gadis itu kini mempertegas segala yang diucapkannya. Menghilangkan canggung? Tidak! Kata itu masih ada di dalam sana, hanya saja gadis itu sedang menahannya saat ini.     

"Udah selesai? Serius? Gak pengen manggil lagi?" kata Adam dengan nada sedikit menggoda.     

Davira hanya diam sembari menganggukan kepalanya. Tersenyum ringan kemudian berbalik dan mendorong pintu gerbang rumahnya. Sejenak menoleh untuk menatap dan memastikan bahwa Adam masih kokoh dalam posisi dan tatapannya mengarah padanya. Baiklah, tatapan itu ... meskipun dari jarak yang cukup jauh, namun tatapan itu terasa begitu bermakna untuk Davira Faranisa. Bukan tatapan tajam khas yang dimiliki oleh Adam Liandra Kin yang mampu meluluhlantahkan hati para gadis-gadis cantik yang ada di sekitarnya, bukan juga tatapan penuh godaan bak seorang iblis pengoda yang diturunkan Tuhan untuk menguji seberapa mampukah manusia menahan agar tak menambah koleksi dosa yang sudah dimilikkinya. Tatapan Adam malam ini, lain! Sangat lain. Bahkan bisa dikatakan dengan penuh kejujuran bahwa Davira baru mengetahui bahwa remaja sebrengsek Adam Liandra Kin mampu memiliki tatapan teduh sedikit sayu dengan penuh makna dan arti seperti itu.     

***LnP***     

Tatapannya sayu sedikit sendu. Ekspresi wajahnya sedih dengan sepasang alis yang saling tertaut turun dan kening yang samar berkerut. Setelah cukup lama memandangi ke arah jendela ruang kamar yang tertutup oleh tirai berwarna emas dengan lampu remang yang mendandakan bahwa si penghuni ruangan sedang mencoba untuk tidur itu, remaja berponi yang terus saja menghela napas kasar nan berat seakan segala beban tak segera kunjung lepas dari pundaknya kini memutuskan untuk menundukkan kepelanya. Bukannya lelah mendongak, namun ia paham sekuat dan segigih apapun dirinya memendani ke arah jendela di lantai atas rumah yang dibangun di sisi perempatan komplek itu tak akan pernah membuahkan hasil yang berarti. Jadi, ia memutuskan untuk merubah fokus dan mengumpulkan keyakinan bahwa sampai di sini saja penantian yang dilakukan dengan harapan Davira akan membuka tirai dan menengok ke arahnya.     

"Kenapa tidak masuk ke dalam rumah?" sela seseorang kala hening nan sepi bak berdiri di tengah jalanan kota mati tercipta cukup lama.     

Remaja itu menoleh. Sedikit tersentak kala tau siapa yang baru saja menegurnya dengan nada ringan dan santai.     

"Tante Diana kok ada di sini?" katanya balik melempar pertanyaan.     

"Tante? Ini 'kan rumah tante," jawab wanita itu dengan kekehan samar dan senyum ringan yang terlukis di atas paras awet muda yang sedikit terlihat kacau itu. Bagaimana tidak, setelah membuat putri semata wayangnya syok berat dan memutuskan untuk menutup diri dan komunikasi dengannya, Arka kemudin mengirim pesan singkat dengan bahasa yang lebih halus dari permintaan tolong Davira beberapa jam lalu. Dalam pesan singkat itu, Arka meminta Tante Diana untuk tak menemui Davira malam ini dengan alasan agar gadis itu bisa menyelami kesedihan dan menuntaskan permasalahannya sendiri kemudian memehami keadaan yang sedang terjadi. Namun apa ini? Sekarang Arka paham bahwa sikap keras kepala yang dimiliki sahabatnya itu adalah warisan dari sang ibunda tercinta.     

"Kamu takut tante mengacaukan Davira lebih dari ini?" tanyanya mencoba menerka isi kepala remaja setara usia dengan putrinya itu.     

Arka diam sejenak. Menggelengkan kepalanya untuk menolak kalimat yang baru saja ditujukan untuknya itu, meskipun sebenarnya apa yang dikatakan oleh Tante Diana tak sepenuhnya salah.     

"Arka hanya ingin yang terbaik buat Davira," kata remaja itu membuat alasan.     

Wanita yang setara tinggi dengannya itu kini tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya tanda mengerti dan menyetujui apa yang dikatakan Arka barusan. "Tante pun begitu," tuturnya melirih.     

Wanita itu kini memutar tubuhnya menghadap ke arah remaja yang juga mengimbangi aktivitasnya saat ini. Tersenyum ramah kemudian meraih tangan remaja yang tiba-tiba memaku sebab perlakuan aneh yang dilakukan oleh Tante Diana padanya.     

"Kamu mencintai Davira 'kan?" tanya Diana tiba-tiba. Keluar dari topik pembicaraan!     

Arka diam sejenak. Mencoba menelisik setiap bagian lensa mata teduh yang terlihat sedikit cokelat sebab cahaya remang lampu jalanan tak cukup untuk benar bisa menampilkan seluruh ekspresi wajah dan tatapan penuh makna milik Tante Diana.     

"Aku menyayanginya," jawab Arka dengan penuh ketegasan.     

"Kamu menyukainya dan mencintainya. Tante tau itu." Diana kembali menyanggah dengan gelengan kepala samar dan usapan lembut yang diberikannya teruntuk Arka Aditya.     

"Karena kami sudah bersama berpuluh tahun lamanya? Karena itu tante menyimpulkan bahwa—"     

"Karena tatapan mata itu," tukasnya menyela kalimat milik Arka Aditnya.     

"Kata dan kalimat bisa berdusta, namun tatapan mata tak akan pernah sanggup melakukannya. Bukankah kamu paham kalimat itu juga?"     

Remaja berponi itu kini melunak. Menundukkan sejenak wajahnya sembari sesekali menghela napasnya kasar.     

"Tante gak minta banyak, tante cuma minta satu hal dari kamu. Bisa?"     

Arka kembali mendongakkan kepalanya. Menatap sepasang lensa yang kini tegas menaruh harapan padanya. "Apa?"     

"Selama tiga hari ke depan, ah tidak. Selama dua hari ke depan, jagain Davira. Ketika dia lagi marah seperti itu, dia akan lupa makan dan membahayakan dirinya sendiri. Untuk saat ini, tidurlah di kamar tamu di lantai bawah rumah tante." Diana menjelaskan singkat. Merogoh saku jas yang dikenakannya kemudian menyodorkan kunci kepada Arka.     

"Masuklah lewat pintu belakang biar Davira gak tau kamu lagi jagain dia, kalau tau nanti—"     

"Aku pasti diusir dengan dilemparin bantal. Syukur bantal, bisa aja sepatu," kekeh Arka menyela kalimat dari wanita yang seusia dengan mamanya itu.     

"Kamu paham rupanya," tukas Diana mengusap puncak kepala remaja yang kini hanya mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.     

"Tante pergi dulu," sambung wanita itu menepuk ringan pundak Arka Aditnya, berbalik badan dan mengambil satu langkah untuk bisa menjauh dari posisi berdiri milik remaja berponi tipis itu.     

"Tante!" panggil Arka dengan tegas. Wanita yang dipanggil kini terhenti dan memutar tubuh krempengnya. Menatap remaja yang sekarang sudah berjalan mendekat dan berhenti tepat di depannya.     

"Tante akan pergi ke luar negeri beneran kali ini tau hanya—"     

"Kamu juga penasaran?" katanya dengan nada menggoda. Membuat remaja yang tadi memasang wajah polos tak berdosa juga tak ada rasa bersalah setelah menyela langkah kaki wanita yang jauh lebih tua darinya itu hanya untuk mengajukan pertanyaan yang sebenarnya tak ada pentingnya sama sekali.     

"Aku hanya berjaga-jaga kalau nanti Davira tanya tentang tante," ucap Arka lagi-lagi membuat alasan.     

Wanita di depannya tersenyum ringan. "Katakan aja seperti yang kamu katakan sebelumnya."     

Remaja itu kembali membulatkan matanya sejenak. Tak mengerti? Sedikit. Kalimat jawaban dari Tante Diana barusan itu benar-benar membuat banyak tanda tanya dalam otaknya. Jawaban macam apa yang dimaksudkan oleh Tante Diana barusan? Haruskah dirinya ikut berdusta dengan membuat ribuan macam alasan untuk menanggapi pertanyaan dan rasa penasaran yang membelenggu dalam diri Davira Faranisa saat ini?     

Kalau boleh jujur, Arka tak benar bisa melakukan kebohongan meskipun itu dengan kedok untuk membahagiakan dan membuat keadaan Davira baik-baik saja. Meskipun Davira sekarang sanggup melakukan itu, namun dengan tegas bahwa Arka tidak benar bisa melakukan hal sekeji itu. Ia selalu merasa bersalah jikalau mengatakan hal dusta pada sahabatnya itu seperti perasaan yang sedang dirasakannya saat ini. Alih-alih meminta bantuan pada Arka untuk mengatakan hal yang sejujurnya pada Davira perihal yang sedang terjadi saat ini, wanita yang selalu saja terlihat anggun dan berwibawa dengan stelan jas dan barang-barang bermerk itu seakan meminta pada Arka untuk sekali saja ia kembali berdusta pada Davira. Sekali saja!     

"Melihat keadaan Davira dan pesan yang kamu kirimkan ke tante tadi, tante yakin kalau kamu belum cerita apapun sama Davira untuk membela keadaan dan situasi kamu. Jadi, sekali lagi ... berpihaklah sama tante."     

Bingo! Dusta adalah permintaan wanita itu dengan kedok untuk membuat hati Davira tak lebih hancur dari ini. Hubungan macam apa ini sebenarnya? Bagaimana bisa seorang ibu dan anak ... ah, sudahlah! Arka hanya perlu mengiyakan saja saat ini sebab memangnya mau bagaimana dan memberi penolakan macam apa lagi?     

"Tante akan telepon kamu kalau urusan tante udah selesai."     

"Jangan menelopon Arka, tapi tolong telepon Davira aja. Bujuk dan perbaiki semua kesalahan tante sama dia." Arka kini menyela. Memberi tatapan dan ekspresi aneh pada Tante Diana yang kini juga ikut merubah ekspresi wajahnya.     

Arka terlihat sedikit kesal kali ini. Bukan perihal Tante Diana yang kembali menitipkan Davira padanya, sebab demi apapun yang ada dalam alam semesta bahwa Arka bahagia dengan keadaan dan fakta bahwa ia akan terus bersama Davira sebab kepercayaaan Tante Diana padanya. Arka hanya kesal sebab satu fakta yang menjadi kesimpulannya saat ini adalah wanita setara usia dengan mamanya itu ternyata lebih mementingkan urusan pasal mantan suaminya dan menyisihkan masalah juga urusannya dengan sang putri. Sekarang Arka sedikit setuju dengan apa kata Davira dulu, bahwa cinta mamanya teruntuk sang mantan suami tak akan pernah benar mati begitu saja. Namun, mereka hanya saling menyimpannya sebab keadaan sedang tak mendukung dan merestuinya.     

... To Be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.