LUDUS & PRAGMA

67. Senyuman Di Atas Duka.



67. Senyuman Di Atas Duka.

0Bahagia? Sangat! Itulah penggambaran singkat keadaan dan kondisi Adam Liandra Kin setelah memutuskan untuk pergi dan meninggalkan kediaman Davira setelah puas memastikan bahwa keadaaan gadis itu sedikit membaik tak seburuk seperti dalam bayangannya sebelum ini. Senyum terus tercipta di atas paras tampannya tiada mau berkurang atau sedikitpun terjeda sesaat sebab mungkin saja ia sedikit terganggu karena seorang wanita yang terus menatap putranya itu dalam dia. Meskipun tidak dengan jarak yang intim seperti saat pertama kali Adam datang berkunjung, namun dalam keyakinan penuh bahwa putra tertuanya itu sedang sangat bahagia saat ini. Entah rejeki dan anugerah macam apa yang diterima putranya itu sebelum datang ke sini, yang jelas ia akan ikut bahagia dengan keadaan putranya saat ini.     
0

"Adam? Ada sesuatu yang baik hari ini?" sela sang mama kala rasa penasaran mulai menguasi dalam diri wanita yang masih nyaman dengan posisi setengah tidurnya itu.     

Adam mengondak. Menatap dari jarak yang tak bisa dibilang jauh juga tak bisa dibilang dekat setelah suara mamanya itu menyela senyuman dan kekehan kecil darinya. Ah, benar! Saking sedang berbunga-bunga hatinya saat ini ia lupa bahwa ada mama yang harus ia layani sebab Raffa tak kunjung datang ke rumah sakit.     

"Mama pengen Adam ambilin sesuatu?" tanya remaja itu kemudian bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan menghampiri sang mama yang hanya diam menggeleng sembari tersenyum ringan.     

"Anggurnya enak?" sambung remaja itu bertanya acak sembari menarik kursi kecil untuk duduk di sisi ranjang sang mama.     

Wanita dengan wajah pucat dan pakaian khas ala-ala pasien rawat inap di rumah sakit besar itu lagi-lagi hanya tersenyum manis dan menganggukkan kepalanya ringan.     

"Syukur deh kalau mama suka."     

"Ngomong-ngomong ada hal baik yang terjadi sama kamu sebelum datang ke sini?" ulang sang mama memberi pertanyaan yang sama. Kali ini dengan nada lembut namun penuh dengan penekanan di setiap kalimatnya. Jujur saja, selama menghidupi dan mengasuh untuk membesarkan juga mendidik seorang Adam Liandra Kin, wanita berusia kepala empat itu tak pernah melihat wajah putranya sebahagia ini. Senyum, raut wajah, dan apa yang ada di dalam tatapan putra tertuanya kali ini benar-benar lain. Seperti seseorang yang sedang merasa bahwa dirinya sudah terlahir kembali saat ini.     

"Adam? Adam baik-baik aja. Mama jangan mikirin Adam dulu—"     

"Mama gak boleh tau apa yang sudah terjadi sama kamu? Kalau dipikir-pikir, semenjak kamu lulus dari sekolah menengah pertama kamu gak pernah curhat apapun lagi sama mama. Kamu gak percaya sama mama?" kekeh wanita itu mencoba untuk mengoda remaja yang memiliki sedikit semburat wajah yang identik dengannya.     

Adam menggelengkan kepalanya cepat. Meraih tangan sang mama yang sedikit dingin sebab udara pendingin ruangan yang masih berfungsi dengan baik malam ini. "Adam ... menyukai seseorang," akunya pada sang mama dengan nada melirih. Sejenak menunduk untuk menyembunyikan rasa malu pada sang mama yang kini diam sejenak sembari membulatkan matanya. Pengakuan akan cinta yang dilakukan oleh putranya tak berarti banyak sebab bukan ini pertama kalinya Adam mengatakan bahwa dia sedang jatuh hati pada seorang gadis, namun yang membuat wanita itu terkejut adalah ... hanya sebab itu Adam terlihat sebahagia ini?     

"Bukankah itu hal biasa untuk kamu?" timpal sang mama tak mengurangi senyum di atas paras ayu yang benar-benar bisa dibilang bahwa anugerah paras berlebihan yang ada pada Adam Liandra Kin adalah pemberian dari sang mama dengan sedikit campur tangan milik sang papa.     

"Ah mama!" gerutu Adam merengek manja. Benar sih apa kata sang mama barusan, namun tidak bisakah mamanya melihat ada yang istimewa kali ini?     

"Oke ... oke, mama dengarin. Apa yang lain kali ini?" tanya mamanya sembari mengusap lembut puncak kepala putra yang tampannya tak ada batasan itu. Itulah salah satu sisi lain dari seorang Adam Liandra Kin ketika sedang bersama sang mama. Rasa sayangnya teruntuk mama begitulah besar hingga ia bisa saja melepas semua yang dimiliki dan meninggalkan semua yang dipunyainya hanya dengan satu alasan pasti yang tak bisa disanggah lagi, yaitu teruntuk sang mama.     

Adam bungkam sejenak, memutar bola matanya untuk menelisik setiap bagian ruangan yang ditempatinya guna mencari inspirasi kalimat yang tepat menggambarkan situasi hatinya saat ini.     

"Karena dia cantik?" Mamanya akhirnya menyahut kala yang ditunggu tak kunjung membuka suarnya.     

Adam mengangguk. "Tentu. Sangat cantik."     

"Dia gadis yang baik?" tanya mamanya lagi.     

Remaja yang duduk di sisinya lagi-lagi mengganggukkan kepalanya setuju sembari mengerang ringan untuk mengiyakan apa kata sang mama barusan.     

"Dia pandai?" imbuh sang mama untuk ketiga kalinya. Baiklah sekarang mamanya bukan hanya sedang mengajukan pertanyaan untuknya, namun sedang mencoba mengintrogasi sang putra untuk tau gadis macam apa yang sudah mampu menjadikan Adam Liandra Kin terlihat lain malam ini.     

"Dia—"     

"Benar, dia sempurna," sahut Adam memotong kalimat sang mama dengan senyum simpul yang mengakhiri kalimatnya.     

"Bukan itu yang mau mama tanyakan." Wanita di sisi Adam kini memprotes aksi sang putra. Asal menebak adalah sifat ceroboh yang dimiliki oleh seorang Adam Liandra Kin.     

"Dia juga menyukaimu?" sambung sang mama dengan nada penuh kehati-hatian. Kalimat yang sang singkat dan tak bertele-tele. Sebenarnya tak sulit untuk memberi jawaban sebab hanya ada dua kemungkinan, ya atau tidak!     

"Kenapa diam? Dia gak suka sama kamu?" ulang mamanya memastikan kala Adam masih memilih bungkam dan mengunci rapat bibirnya.     

"Katanya sedangdipikirkan," tukas remaja bermata elang itu sembari sesekali menarik napasnya berat membuat sang mama kini tersenyum geli.     

"Jadi ini perbedaannya," tutur sang mama melirih.     

Adam menganggukkan kepalanya samar. Sejenak menatap lensa sang mama yang tegas mengartikan padanya bahwa ia iba. Pada Adam? Entahlah. Yang jelas Adam akan merasa benar bersalah jikalau sang mama terganggu sebab cerita mengenai cinta monyet yang sedang terjadi padanya sekarang ini.     

"Dia pasti menyukaimu ...."     

Adam kembali mendongakkan kepalanya kala kalimat singkat dengan nada lirih nan lembut kembali terucap dari celah bibir wanita yang sudah melahirkan dan merawatnya itu.     

"Kalau kamu benar menyukainya, dia pasti juga akan menyukaimu."     

"Maksud mama? Adam sangat menyukainya sekarang ini, itu artinya—"     

Mamanya menggeleng samar. Tersenyum aneh dan lagi-lagi meraih puncak kepala anak tertuanya itu kemudian mengusapnya lembut. "Kau hanya merasa menyukainya, belum benar menyukainya."     

Adam kini tegas menatap wajah sang mama, baiklah ... kalimat yang diberikan untuknya dari sang mama barusan itu terdengar sedikit aneh dan ambigu.     

"Jika kamu benar menyukai dan menyayangi gadis itu, maka saat kamu tak sengaja melukainya ... rasa sakit yang kamu rasakan lebih besar dari rasa sakit yang gadis itu rasakan. Katakan saja seperti berbagi rasa sakit, namun tak perlu berbagi rasa bahagia," terang mamanya menjelaskan singkat.     

"Sebab cinta itu bukan pasal memberi dan meminta harapan, cinta itu tentang bagaimana cara memahami dan mengerti. Berbagi suka dan duka serta saling memberi kepercayaan satu sama—"     

"Mama dan papa juga begitu?" sahut Adam tiba-tiba. Memotong kalimat sang mama yang kini diam bungkam sebab tak percaya bahwa pertanyaan itu bisa terlontar keluar dari celah bibir Adam Liandra Kin.     

"Maksud Adam ... mama dan papa berbagi rasa sakit dan saling memberi kepercayaan?" ulang remaja jangkung itu mempertegas tujuan dari pertanyaan singkatnya barusan.     

Bungkam! Itulah yang dipilih sang mama kala sang putra memberi tatapan tajam sedikit sayu dengan penuh pengharapan di dalamnya. Entah berharap sang mama akan menganggukkan kepala dan tersenyum seperti biasanya tau berharap sang mama berkata jujur dengan memberi sanggahan dan pembelaan pada dirinya sendiri.     

"Lupakan. Pertanyaan itu hanya akan menganggu kesehatan mama. Sudah malam, mama bisa ti—"     

"Kamu tau sesuatu tentang papa?" tanya mama Adam dengan nada penuh penekanan. Ekspresi itu ... Adam membencinya, sungguh!     

"Jika kamu tahu—"     

"Hm, Adam tahu." Remaja itu kembali memotong kalimat sang mama membuat wanita yang tadinya memasang wajah sayu itu berubah menjadi sedikit terkejut sebab jawaban tak terduga dari sang putra.     

"Papa itu—"     

"Aku pulang ...." Momen yang tak tepat untuk di sela sebenarnya, namun bukan Raffa namanya kalau tak menyela obrolan sang mama dengan sang kakak pada momen penting seperti ini.     

"Lesnya sudah selesai?"     

Raffa –remaja yang kini memberi tatapan aneh untuk sang kakak— hanya menganggukan kepalanya, meletakkan tas punggu hitam yang menjadi penemannya untuk menimba ilmu juga melepas hoodie hitam yang selalu dipakainya untuk menawan hawa dingin agar tak masuk dan menyentuh permukaan kulit putih susu miliknya itu.     

"Kak Adam bisa balik dan gantian yang belajar," sahutnya dengan nada ringan. Berjalan mendekat ke arah ranjang tempat menyangga tubuh lemas sang mama kemudian berdiri di sisi sang kakak yang hanya diam mencoba menerka situasi yang sedang terjadi saat ini.     

"Aku bisa belajar—"     

"Kalau gitu temenin Raffa cari minum di luar. Mama bisa—"     

"Pergilah, kalian juga keliatan lelah. Cari udara di luar dan balik ke sini lagi." Senyum ramah terus saja menyertai kata demi kata yang dilontarkan wanita berusia kepala empat itu. Baik Raffa maupun Adam hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Berbalik badan kemudian berlalu meninggalkan mamanya di dalam ruangan.     

***LnP***     

"Aku denger semuanya," tukas remaja yang kini sukses menghentikan langkah sang kakak untuk tak lagi menyusuri lorong rumah sakit.     

Adam menoleh. Menatap perubahan ekspresi sang adik yang jelas melukiskan semburat wajah kekesalan dan kekecewaan teruntuk sang kakak. Tunggu, untuk Adam?     

"Kenapa kamu sekesal itu sama kakak? Kakak ngelakuin kesalahan?" Berpura-pura bodoh? Tentu tidak. Adam benar-benar tak mengerti maksud dan tujuan adiknya membawa Adam keluar dari dalam ruangan rumah sakit sekarang.     

"Kakak mau cerita sama papa kalau papa selingkuh? Di keadaan mama yang lagi sakit? Kakak sebodoh itu?" gerutu Raffa dengan nada aneh yang jujur saja itu sedikit lucu dan menggemaskan untuk Adam.     

"Kamu seriusan mikir kakak itu bodoh rupanya," kekeh Adam kemudian.     

"Cih, kalau kakak bilang gak tau, kamu pikir mama akan percaya?"     

Arka memilih bungkam saat ini. Baiklah mengapa ia yang terkesan bodoh dan tak bisa diandalkan saat ini?     

"Kalau kakak bilang gak tau, mama pasti akan curiga dan kepikiran. Jadi kakak memutuskan untuk berbohong dengan mengatakan bahwa papa adalah orang baik yang gila untuk membahagiakan keluarganya. Kamu masih gak paham? Ck, dasar bocah." Adam berdecak ringan di bagian akhir kalimatnya, menatap paras sang adik yang kini berubah dengan helaan napas kasar yang muncul di celah bibir merah mudanya.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.