LUDUS & PRAGMA

70. Sahabat Terbaik Sepanjang Masa!



70. Sahabat Terbaik Sepanjang Masa!

0 "Jangan suka menyimpulkan semuanya sendiri. Itu akan merugikan diri lo sendiri, oke?" ucap remaja itu kini mengacak kasar puncak kepala Kayla. Kembali melangkah dan meninggalkan gadis yang kini berlari kecil untuk mengekori Adam Liandra Kin. Merengkuh lengan remaja itu kemudian mengelayut manja di sisinya.     
0

Semua orang yang melihat mereka akan mengira bahwa Adam dan Kayla adalah sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Semua orang! Tak terkecuali seorang Davira Faranisa sekalipun!     

***LnP***     

Gadis bersurai pekat yang dibiarkan terurai dengan ujung rambut yang sediki basah sebab gerimis adalah peristiwa indah yang sedang terjadi malam ini dan menghujaninya sesaat ia turun dari halte bus kemudian berlari ke rumahnya itu kini merebahkan kasar tubuhnya di atas ranjang. Menatap sayu langit-langit kamarnya kemudian melirik keranjang kecil yang dipenuhi oleh buah-buahan segar yang dibelinya beberapa jam lalu. Bukan tanpa alasan Davira membeli semua itu, bukan pula sebab ia sedang ingin memakan buah-buahan segar guna meningkatkan mood dan stamina yang terus saja berkurang sebab digerogoti oleh waktu yang berjalan. Davira membeli buah-buahan yang dipilihnya dengan penuh kehati-hatian juga ketelitian tingkat tinggi itu adalah untuk mama dari seorang Adam Liandra Kin. Mamanya Adam?! Ya. Davira berniat untuk mengganti waktu yang sempat terjeda kala itu. Waktu di mana ia akan menjenguk wanita yang sudah melahirkan putra tampan dengan perawakan tubuh jangkung nan atletis meskipun sifatnya brengsek dan kadang tak tahu diri.     

Malang memang nasib gadis itu tadi. Bukannya berakhir pada bahagia dan sejerahtera yang bisa saja mengharmoniskan hubungannya dengan Adam, Davira baru saja ditampar oleh keadaan dan dijatuhkan bersama harapan bahagianya. Adam bersama dengan Kayla Jovanka! Davira melihat semuanya. Kemesraan dan kedekatan orang-orang menyebalkan itu membuat dirinya terganggu saat ini.     

Gadis itu kini mengeliat kasar. Menyibakkan selimut dan menendang guling yang ada di sisinya sembari terus mengutuk dirinya sebab sikap ceroboh yang baru saja dilakukannya tadi. Untuk apa ia harus bersikap sok baik dengan datang dan membuat pemikiran Adam akan terkejut dengan rencana baiknya itu? Bodoh! Sangat bodoh!     

Davira bangkit. Duduk di sisi ranjang sembari menatap sayu cermin besar yang memantulkan bayangan paras ayunya meskipun bisa dikatakan bahwa gadis itu sedang dalam keadaan kacau saat ini. Jujur saja, saat melangkahkan kakinya masuk ke dalam khawasan rumah sakit seorang diri, ia khawatir. Bukan pasal hantu yang akan menyeret tubuhnya dalam kegelapan dan memakannya hidup-hidup. Bukan juga pasal penculik yang akan menggotong dirinya kemudian menjual organ dalamnya dengan harga yang fantastis. Davira takut akan kenangan kemarin yang mungkin saja terulang jikalau ia menyambangi tempat yang sama dengan waktu yang identik pula. Jikalau kemarin ada Adam yang merengkuh dan mendekap tubuhnya juga Arka yang mengamankan jiwanya, namun kali ini lain. Davira Faranisa sendirian! Akan tetapi, semua keberaniannya hanya dibayar dengan sebuah pemandangan yang tak mengenakkan hatinya tadi. Brengsek, Adam memang brengsek! Bisa-bisanya ia mempermainkan Davira seperti ini.     

"Lo udah mandi?" sela seseorang membuyarkan fokus gadis itu. Membuatnya cepat menoleh kala menyadari bahwa suara yang baru saja menginterupsinya itu tak asing.     

Sialan! Dia lagi.     

"Sejak kapan lo berdiri di sana?" tanya gadis itu dengan tatapan malas.     

"Baru aja. Tapi kalau ada di kamar tamu, sejak satu jam yang lalu mungkin." Remaja jangkung yang baru saja mengganti pakaiannya dengan kaos biru muda polos yang apik di padukan celana kain panjang dengan handuk kecil yang melingkar di atas pundaknya menandakan bahwa ia baru saja membasuh dan membersihkan dirinya itu kini berjalan masuk ke dalam kamar Davira. Duduk di atas kursi kecil yang biasa digunakan gadis itu untuk duduk sembari merias diri di depan cermin riasnya.     

"Lo menyelinap masuk ke rumah gue? Lo emang gak punya sopan—"     

"Gue gak menyelinap. Gue masuk lewat gerbang depan dan pintu utama. Kalau kemaren gue emang menyelinap ke rumah lo. Itu pun karena permintaan Tante Diana." Arka –remaja yang kini melipat rapi tangannya di atas perut datarnya— tersenyum kikuk di bagian akhir kalimat yang diucapkan. Menatap gadis yang masih diam dengan mempertahankan raut wajah masam miliknya.     

"Lo ada di pahak mama?" Davira menyahut dengan nada malas. Menghela napasnya kasar sebab jujur saja, ia membenci suasana seperti ini.     

Arka menggeleng. "Gue ada di pihak gue sendiri."     

Gadis di sisinya menyeringai. Terkekeh samar dengan perubahan ekspresi aneh kemudian tegas menatap Arka yang lagi-lagi menggembangkan senyum menyebalkan.     

"Terus kenapa lo ada di sini gak tiduran santai di rumah aja?" Davira memprotes. Mengalihkan tatapannya kemudian beranjak dari ranjang dan berjalan ke arah balkon di sisi jendela besar kamar tidurnya.     

Arka bangkit. Mengekori gadis yang kini sudah berdiri mematung sembari menatap jalanan luar kosong sedikit gelap sebab lampu remang bercahaya kuninglah yang mewakili bulan sebab tertutup oleh awan mendung malam ini.     

"Karena gue ada di pihak gue sendiri," ucap remaja itu memberi penegasan. Baiklah, Davira sedikit menyebalkan malam ini. Kalau gadis itu sedang marah dan kalut, tiada orang yang bisa mengalahkan ego tinggi dalam dirinya. Bahkan itu seorang Arka Aditya sekali pun.     

"Karena gue mendukung diri gue sendiri, makanya gue berdiri di sini sekarang." Arka meraih bahu gadis yang ada di sisinya. Menariknya perlahan dan membuat tubuh mungil berbalut seragam putih abu itu menghadap ke arahnya.     

Arka tersenyum. Memberi tatapan pada teduh pada gadis yang masih diam sebab Davira malas memberi perlawanan dan mengeluarkan tenaga berlebih malam ini.     

"Lo lagi gak sibuk 'kan malam ini?" tanya remaja itu melepas keheningan yang baru saja ingin membentang di antara keduanya.     

Davira menghela kasar. Sejenak menunduk kemudian berdecak ringan dan tersenyum aneh. Kegigihan sahabatnya itu patut diacungi jempol!     

"Gue belum mandi," tukas Davira beralasan. Kalau boleh jujur, ia masih malas jikalau menyinggung masalah pasal pengkhianatan dan kebohongan yang dilakukan oleh sang mama.     

"15 Menit. Please, Ra." Arka melepas cengkramannya dari atas bahu Davira. Mengangguk paham kala gadis itu hanya diam tak merubah ekpresi sayu dan tatapan lelah miliknya barusan.     

"Oke. Kita bicara ini lain kali aja kalau—"     

"10 Menit dari sekarang." Davira menyela. Membuat remaja di depannya sejenak membulatkan matanya dan bungkam sebab tak menyangka bahwa gadis di depannya ini akan setuju dan mengijinkannya berbicara malam ini.     

"Pertama, gue minta maaf karena udah bohong sama lo." Arka memulai penjelasannya. Membuat gadis di depannya itu hanya diam dan mengganggukkan kepalanya mengerti.     

"Kedua ... soal mama lo yang udah bohong. Beri dia waktu untuk menyelesaikan urusannya dengan—"     

"Gue bukan gadis baik dan sabar yang bisa berkompromi dengan waktu. Waktu udah menampar gue dan mengkhianati gue. Lo masih minta gue jadi gadis baik?"     

Arka menggeleng. Menyela kalimat Davira dengan helaan napas kasar nan berat. "Lo boleh jadi jahat sejahat yang lo mau. Bahkan kalau lo mau mengutuk Tuhan, lo boleh melakukannya. Sebab itu akan jadi dosa lo sendiri."     

Remaja berponi itu menghentikan sejenak kalimatnya. Memberi tatapan teduh pada gadis yang kini mulai berkaca-kaca sembari terus mengembuskan napasnya kasar dan sesekali mengigit bibir bawahnya untuk menahan air mata juga isak tangis yang mungkin saja keluar dan membasahi wajahnya.     

"Gue cuma minta sama lo untuk tidak menyesali apapun nantinya. Memberikan kesempatan kedua untuk pendosa gak buat lo juga ikut jadi pendosa," tutur remaja itu sembari mengakhiri kalimatnya dengan senyum singkat.     

Davira membuang tatapannya. Lagi-lagi menghela napas berat sebab beban yang tak kunjung keluar dari dalam dirinya saat ini.     

"Lo boleh nangis sekarang. Nangis bukan sebuah dosa dan kesalahan."     

Davira tersenyum kecut. Perlahan tetes air mata kembali turun dan membasahi pipinya yang sedikit cubby. Perlahan namun pasti, isak tangis yang disembunyikannya mulai terdengar kala butir demi butir air mata deras terjun membasahi wajahnya. Membuat remaja yang tadinya berdiri mematung kini mulai merengkuh tubuh mungil sedikit sempampai milik Davira Faranisa. Membenamkan wajah gadis itu di atas dada bidang miliknya dan mengusap helai demi helai rambut panjang milik gadis yang sudah berposisi sebagai sahabat baiknya itu.     

Terlepas dari siapa dan bagaimana Davira Faranisa sekarang ini, gadis itu tetaplah gadis kecil sok dewasa yang kalau disentuh sedikit saja hatinya, ia akan rapuh lalu tumbang. Bagi Arka Aditnya sahabatnya itu tak akan benar bisa menjadi gadis dewasa yang mampu menyelesaikan segala permasalahan yang dipunyainya sendirian. Alurnya, saat Davira marah dan kalut Arka hanya cukup menunggu beberapa waktu agar gadis itu menyelami rasa sakitnya dan mengerti serta mencoba untuk menyesuaikan segala permasalahan yang sedang terjadi padanya. Lalu selepas gadis itu mengerti dan menyesuaikan, maka Arka hanya cukup datang bukan sebagai orang bijak yang memberi saran penyelesaian, namun sebagai seorang sahabat yang mencoba untuk masuk ke dalam luka itu dan mencoba untuk menutupnya sedikit demi sedikit.     

***LnP***     

"Ini 'kan jaketnya Adam?" Arka menegur langkah gadis yang baru saja ingin melangkah masuk ke dalam kamar mandi di sisi bangunan ruang kamarnya.     

Davira menoleh dengan cepat kala satu nama remaja tak asing untuknya tegas disebut oleh Arka dengan raut wajah tak percaya bercampur dengan bimbang penuh tanda tanya. Bagaimana jaket remaja sialan yang kalau ada di tengah lapangan basket menjabat sebagai teman seperjuangannya dan kalau-kalau sedang berada di luar lapangan akan menjadi musuh terbesar yang terus saja membuat rasa khawatir dalam diri seorang Arka Aditya naik setiap detiknya itu ada di dalam kamar sahabatnya? Mungkinkah ... ah sialan! Pemikiran macam apa ini?     

"Kembaliin ke tempatnya!" perintah Davira sedikit membentak. Tidak, ia tak marah sebab marahnya telah usai selepas Arka melepas pelukannya beberapa menit yang lalu. Bentakan gadis itu hanya sebab ... ia tak ingin terpojok dan terintrograsi oleh sahabatnya sekarang ini.     

"Gimana ceritanya bisa ... Adam ke sini?" Arka kini berjalan mendekat sembari menyodorkan jaket yang ada di dalam genggamannya.     

Davira kini memilih bungkam. Toh juga, ia tak bisa beralasan banyak saat ini.     

"Adam main ke kamar lo?!"     

Lagi-lagi Davira hanya bungkam dan terus mengunci bibirnya rapat-rapat.     

"Davira Faranisa!"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.