LUDUS & PRAGMA

72. Proses Pendewasaan Terbaik (Pt. 2)



72. Proses Pendewasaan Terbaik (Pt. 2)

0Sayu tatapan mengarah pada luasnya bentangan cakrawala yang gelap nan sepi sebab tiada bintang juga indahnya bulatan rembulan yang menjadi pemimpin malam ini. Tanah sedikit lembab dirasa oleh punggung keduanya sebab gerimis yang baru reda beberapa menit lalu. Baik Arka maupun Adam kini hanya diam membungkam tak mau bersuara untuk melepas keheningan yang terjadi. Hanya ada suara helaan napas sebab lelah dirasa setelah menghabiskan tenaga mereka untuk hal sia-sia tiada gunanya tadi. Adam tersenyum ringan. Melawan rasa nyeri sebab sisi bibirnya yang robek dan memar akibat tinju brutal dari Arka barusan. Sedangkan untuk Arka, ia hanya terdiam. Sesekali mengedipkan matanya untuk memastikan bahwa kelopak matanya tak kaku sebab luka memar yang ada di sudut mata bulatnya. Sakit, perih, dan nyeri. Itulah yang dirasa oleh keduanya saat ini. Entah apa yang akan dijelaskan Adam pada sang mama juga adik semata wayangnya nanti kalau ia kembali ke rumah sakit setelah ini. Juga untuk Arka, ia tak tahu harus berkata apa dan beralasan bagaimana pada sahabatnya. Jikalau pada sang mama dan papa, remaja itu hanya perlu berkata bahwa ia berkelahi dengan anjing jalanan atau berkelahi dengan preman liar yang membahayakan nyawa nenek tua. Klasik sih, namun alasan itu pasti berhasil jikalau hanya untuk membungkam mulut sang mama dan papa. Akan tetapi tidak untuk membungkam mulut sahabat cerewetnya.     
0

"Gue udah temenan sama Davira sejak SD." Arka kini memecah keheningan. Sejenak melirik remaja yang hanya diam sembari sesekali tersenyum konyol tanpa mau balik menoleh menatap wajah remaja yang berbaring di sisinya itu.     

"Gue Cuma gak mau dia—"     

"Lo gak percaya sama gue?" Adam kini menyela. Menoleh sekilas pada remaja yang juga ikut memberi tatapan tegas padanya.     

"Harusnya lo gak tanya begitu. Jawabannya udah pasti."     

Adam terkekeh kecil. "Karena kita adalah orang asing. Wajar lo gak bisa percaya sama gue," kata remaja yang kini perlahan bangkit sembari terus mencoba melawan rasa sakit yang tak hanya dirasakan di wajahnya saja, namun juga seluruh raganya.     

Arka ikut bangkit. Tersenyum ringan sembari sesekali menggangguk-anggukkan kepalanya. Yang dikatakan Adam barusan itu, memang benar. Sejauh ini remaja itu hanya tau perihal Adam sebatas apa yang dilihatnya saja. Berteman dan mengenal Adam belum lama, jadi bisa dikatakan bahwa Arka sedikit ceroboh dengan menyimpulkan bahwa Adam adalah remaja brengsek yang suka bermain dengan banyak gadis. Meskipun secara fisik dilihat oleh kedua mata telanjang memang benar begitu. Namun sejauh ini, tiada yang melontarkan kalimat tanya untuk Adam perihal alasannya bersikap demikian dalam menjalani masa remaja.     

"Lo melihat Davira seperti apa?" tanya Arka dengan nada melirih. Memindah fokusnya dengan menatap ujung jarinya yang kini kasar mencabut rumput liar yang ada di bawahnya.     

Remaja yang dilontari pertanyaan diam sejenak. Lagi-lagi mengembangkan senyum ringan guna menanggapi pertanyaan ambigu dari remaja sebaya yang duduk rapi di sisinya.     

"Sebagai gadis cantik berhati baik? Atau gadis gila yang suka mengumpat? Atau mungkin sebagai gadis dingin yang sok kuat?" tutur Arka mencoba menebak asal.     

Adam menoleh. Menggeleng samar kemudian menepuk perlahan pundak milik Arka Aditya dan sigap berdiri kemudian membenarkan baju yang terlihat begitu kacau dan lusuh.     

"Davira. Gue melihat Davira ... sebagai gadis bernama Davira Faranisa," lirihnya menjawab. Menoleh dengan sedikit menundukkan kepalanya untuk menatap Arka yang masih diam mematung pada posisi nyamannya.     

"Gue gak akan menyerah hanya karena ini. Gue harap lo ngerti maksud gue," sambung Adam kemudian memutar tubuhnya dan berniat untuk melangkah pergi. Untuk Adam, hari ini cukup sekian. Raganya sudah remuk, wajahnya sudah terluka, dan hatinya sudah kalut malam ini. Fakta kembali menegaskan perihal seperti apa tantangan yang sedang menghadangnya saat ini. Seperti Arka Aditya. Remaja yang bisa saja menjadi jembatan untuknya melompat dan mendekati Davira juga bisa saja menjadi sebuah tembok besar yang akan menghalangi posisinya nanti. Jikalau ditanya, takutkah Adam akan kehadiran Arka? Maka dengan tegas Adam akan mengatakan "Takut!"     

"Haruskah kita berkelahi lagi biar lo ngerti?!" pekik Arka berteriak kala remaja yang menjadi lawan mainnya itu sudah melangkah pergi. Meninggalkan Arka dengan melambaikan tangannya ringan tanpa mau menoleh untuk menanggapi kalimat singkat nan konyol milik remaja itu.     

"Ck, dari sekian banyak manusia sialan di dunia ... kenapa harus lo?" tukas Arka berbicara lirih sembari terus memberi tatapan pada remaja yang kini mulai terlihat samar sebab ditelan oleh kegelapan malam.     

***LnP***     

Cahaya remang kini mulai tergantikan dengan terangnya lampu rumahan yang sukses menampilkan seluruh perawakan remaja jangkung dengan keadaan yang bisa dibilang sangat kacau jikalau dibandingkan saat ia pergi dari rumah beberapa jam lalu. Jujur saja, Arka sudah berusaha untuk membersihkan luka dan menutupnya sebaik mungkin. Akan tetapi si Adam sialan itu terlalu banyak menghujaninya dengan tinju mentah yang benar-benar menghancurkan image tampan nan baiknya.     

"Kamu berkelahi?!" teriak Desi histeris kala melihat wajah sang putra semata wayang. Mencuri segala perhatian semua penghuni ruangan yang ikut menoleh ke arahnya. Perubahan ekspresi wajah sang papa sangat tak bersahabat kali ini, begitu juga untuk raut wajah gadis yang duduk di atas kursi untuk menyantap makam malam yang sengaja disediakan untuknya, Davira Faranisa.     

Tunggu, Davira? Ah, sialan! Arka langsung pulang ke rumah tanpa mau sejenak bertamu dan menyambangi kediaman Davira sebab ia tak ingin gadis itu melihat wajah Arka malam ini. Akan tetapi ... brengsek memang semesta itu, bisa-bisanya ia membuat Davira datang dan melihat keadaannya saat ini.     

"Lo—" Davira bangkit dari tempat duduknya. Kasar meletakkan sendok yang ada di dalam gennggamannya kemudian meletakkan jari telunjuknya untuk menujuk ke arah wajah tampan milik Arka yang sudah dihiasi dengan luka memar itu.     

"Lo pasti mau alasan jatuh dari motor, berkelahi sama anjing dan preman di pinggir jalan 'kan?" ucap gadis itu semakin tegas berjalan ke arah Arka. Remaja itu sejenak membulatkan matanya. Sejak kapan Davira punya kemampuan meramal bak seorang cenayang?     

"Kamu berkelahi sama siapa, Ka?" tanya papa menyela. Ikut berjalan ke arah sang putra yang masih bungkam sebab mencoba mencari alasan yang tepat tanpa menyebut nama Adam sebagai lawan tandingnya juga tanpa mengatakan bahwa Davira-lah yang menjadi alasannya berkelahi.     

"Tadi ada kesalahpahaman di jalan, Pa. Arka berkelahi sama temen SMP." Bodoh! Kenapa harus teman semasa sekolah menengah pertama, sih?     

"Temen SMP kamu?" tanya sang mama memastikan.     

"Ceritanya panjang, Ma. Besok aja Arka jelasin. Arka capek banget." Remaja itu kini beralasan sembari sedikit merengek bak bayi yang sudah lelah belajar untuk berjalan. Melirik sejenak Davira yang masih bungkam sembari terus memberi tatapan penuh kecurigaan padanya. Benar 'kan? Alasan apapun yang dilontarkan Arka untunya tak akan pernah membuat gadis itu mudah percaya.     

"Gak diobatin dulu lu—"     

"Biar Davira yang ngobatin, Tan." Davira menyela dengan antusias. Seantusias itu? Ya! Sebab rasa penasaran kini memenuhi dalam benaknya. Dengan siapa dan sebab apa Arka berkelahi. Dalam masa tumbuh dan berkembangnya sebagai seorang sahabat yang selalu berbagi duka dan suka, Arka bukan tipe orang yang mudah terpancing dan larut dalam emosi untuk memulai perkelahian. Akan tetapi, malam ini ... remaja itu melakukannya.     

***LnP***     

"Duduk!" perintah Davira menepuk kasar sisi ranjang milik Arka. Menatap remaja yang masih kokoh dalam posisinya –berdiri di sisi pintu tanpa mau mendekat dan menatap Davira dengan benar—     

"Ra, bisa gak hari ini—"     

"Gue obatin lukanya doang." Davira menyela. Memotong kalimat milik Arka yang baru saja ingin memohon padanya.     

"Luka di sisi mata dan bibir lo masih ada darahnya. Nanti infeksi," sambungnya kembali menepuk sisi kosong di sampingnya dengan sedikit lebih lembut.     

"Seriusan cuma ngobatin l—luka?" tanya Arka memastikan.     

Davira mengangguk. "Gue juga gak ada mood buat marah-marah."     

Remaja yang tadinya berdiri di sisi pintu itu kini berjalan mendekat. Duduk di sisi gadis yang kini mulai sibuk mengotak-atik isi kotak obat untuk mencari obat luka dan perban juga handsplast untuk menutup luka sahabatnya itu.     

Perlahan namun pasti, dengan penuh kelembutan dan kehati-hatian Davira membersihkan luka yang ada di sisi wajah sahabatnya itu. Meniupnya dengan perlahan kemudian meletakkan obat luka dan menutupnya dengan perban. Sejenak memang tak ada obrolan di antara mereka. Untuk Davira ia hanya diam dan fokus mengobati luka yang ada di atas paras tampan milik Arka Aditya. Sedangkan remaja yang jujur saja menahan rasa sakit dan perih di wajahnya itu hanya diam sembari sesekali mengerang lirih dan terus memberi tatapan intim untuk Davira. Dari jarak yang amat dekat, paras gadis itu sungguh cantik. Mata bulatnya, hidung standar dan bibir mungilnya itu ... sangat menawan! Jika saja boleh, Arka ingin mendekap tubuh dan melumat bibir merah muda milik Davira sekarang. Akan tetapi jikalau ia melakukannya, pasti Davira akan menamparnya saat itu juga.     

"Selesai," lirih gadis itu kemudian. Sejenak menatap Arka yang masih diam dan terus memblokir segala fokus milik Davira.     

"Gue anggep ini impas." Gadis itu kini mulai membuka suaranya. Kalimat yang singkat namun cukup untuk membuat tanda tanya besar ada dalam otak Arka kali ini. Apanya yang impas?     

"Gue gak harus menjelaskan kenapa jaket Adam ada di dalam kamar gue dan lo gak harus menjelaskan kenapa lo berantem sama Adam," tutur Davira mempersingkat. Mengembangkan senyum manis di akhir kalimatnya kemudian sejenak menatap Arka yang masih bungkam tak mampu bersuara apapun kali ini.     

"Jadi jangan—"     

"Gue gak berantem sama Adam," elaknya menarik tangan gadis yang baru saja bangkit setelah mengemasi kotak obat.     

Davira tersenyum. "Dan yang ada di kamar gue itu bukan jaketnya Adam," kekehnya ringan nan singkat. Melepas genggaman tangan Arka kemudian menepuk pundak remaja yang kini benar-benar diam bungkam tak bersuara apapun lagi. Membiarkan Davira pergi keluar dari kamarnya. Satu hal yang dilupakan oleh Arka perihal Davira, bahwa gadis itu ... sulit ditebak.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.