LUDUS & PRAGMA

75. Risak Renjana



75. Risak Renjana

0Keduanya kini saling tatap. Tersenyum kikuk sembari terus mencoba menyesuaikan irama napas yang sudah tak karuan sebab langkah cepat yang mereka lakukan sebelum ini. Setelah kehadiran Adam yang menyela keduanya, remaja itu menarik tangan Davira dan membawa paksa tubuh mungil gadis itu untuk lari bersamanya. Meninggalkan gerombolan laki-laki aneh yang dalam tebakan Adam, pastilah sedang memendam rasa jengkel juga amarah yang menggebu-gebu pada Adam Liandra Kin, Davira Faranisa, juga Rena Rahmati.     
0

Bukannya Adam takut dan bernyali kecil, remaja itu hanya tak ingin menambah luka memar dan darah segar di atas paras tampannya. Cukup kemarin malam terlibat pertengkaran dengan Arka, sekarang sudah tak ingin lagi.     

Adam melepas genggamannya. Menatap Davira yang jelas terengah-engah sebab lari adalah hal yang paling dibenci gadis berambut pekat itu. Kemudian mengalihkan fokusnya untuk menatap Rena yang terlihat baik-baik saja setelah sejenak berhenti dan memposisikan dirinya dengan keadaan yang terjadi.     

"Bukankah dia mantan pacarnya kakak lo?" tanya Adam di sela helaan napasnya. Menujuk ke arah gadis yang kini menoleh sembari berdecak ringan kemudian menggangguk samar.     

"Terus, kok bisa ...."     

"Gue yang bocorin perselingkuhannya sama temen Kak Lita. Dia marah dan mau balas dendam." Rena menjelaskan dengan singkat. Tak mau banyak berbasa-basi pada remaja yang sumpah demi apapun tak ia harapkan kehadirannya di sini sekarang ini. Akan tetapi, ia sedikit bersyukur sebab semesta mau menyisahkan satu orang baik yang bisa membuatnya juga Davira keluar jangkuan para laki-laki sialan itu.     

"Dan lo gak mikirin perasaan kakak lo?" Adam kini memprotes. Berjalan mendekat ke arah Rena yang dengan tegasnya menggelengkan kepala sembari mengangkat satu sisi bahunya. Peduli, bukan salah satu sikap baik yang dimilikkinya.     

"Lo boleh peduli sama dia kalau lo mau." Rena kembali menimpali. Kali ini membenarkan tas punggung miliknya kemudian memutar tubuhnya dan melangkah pergi. Meninggalkan Davira juga Adam di tempatnya.     

"Ah, buat kamu. Thanks!" kata gadis itu sejenak memutar badannya dan mengulurkan tangannya untuk menepuk pundak gadis sebaya dengannya yang masih diam bungkam tak mampu mengeluarkan sepatah katapun sebab di sini, Davira adalah tokoh bodoh yang tahu apapun.     

Adam mengenal Rena? Bagaimana bisa? Percakapan antara mereka berdua barusan itu, seperti seakan-akan mereka sudah lama mengenal dan berbagi banyak cerita suka dan duka bersama. Ah, Rena adalah salah satu target gadis incaran Adam Liandra Kin?     

"Kita pasti ketemu lagi, Davira." Gadis itu menutup kalimatnya. Tersenyum ringan kemudian sejenak memusatkan tatapannya pada remaja jangkung yang terus saja memberi tatapan aneh penuh kecurigaan pada gadis berambut pendek yang jatuh tepat di atas pundaknya itu.     

Meskipun ini bukan pertama kalinya ia bertemu dan berbicara dengan gadis pemilik nama lengkap Rena Rahmawati itu, namun Adam masih benar-benar merasa asing dengan gadis satu ini. Sikapnya lebih misterius dari seorang Davira Faranisa. Caranya berbicara dan menyikapi sebuah masalah juga lebih tenang jikalau dibandingkan dengan gadis kesayangannya itu. Apakah itu artinya luka yang dimiliki gadis itu lebih besar dari luka milik Davira Faranisa?     

"Kamu kenapa ke sini?" sela Adam kala Davira mulai tak acuh dengan kehadirannya dan terus menyentralkan fokusnya untuk menatap kepergiaan gadis sebaya dengannya itu.     

Davira menoleh. Menatap paras remaja yang baru ia sadari bahwa wajah Adam ... tak separah paras Arka Aditya kemarin malam. Artinya Adam menang telak kemarin? Entahlah. Ia tak ingin membicarakan itu sekarang ini.     

"Kamu kenal dia?" Davira membalas dengan satu pertanyaan dan mengabaikan kalimat tanya yang dilontarkan kepadanya.     

Adam menggangguk. "Rena adiknya Kak Lita," singkatnya dengan tegas.     

"Kak Lita?" Davira mengulang untuk memastikan bahwa nama asing yang baru saja di dengarnya itu tak salah masuk ke dalam lubang telinganya.     

"Senior yang pergi sama aku waktu itu. Di pasar malam," tutur Adam menutup kalimatnya dengan senyum tipis. Sejenak melirik tote bag yang ada di genggaman tangan kiri gadis cantik di depannya itu.     

"Kenapa kamu bisa di sini?" ulangnya memberi pertanyaan yang sama.     

Davira sejenak membulatkan matanya. Benar! Karena Rena ia hampir saja melupakan tujuannya jauh-jauh datang ke tempat asing seorang diri seperti ini. Setelah Candra memberitahukan pasal ketidakhadiran Adam di sekolah sebab menjemput sang mama dari rumah sakit, gadis itu kemudian meminta alamat rumah Adam alih-alih meneloponnya dan meminta remaja jangkung itu untuk datang menemuinya saja. Kata Davira dalam sebuah alasan kala Candra mempertanyakan alasannya kukuh dengan meminta alamat rumah Adam adalah Davira ingin mengembalikan sesuatu yang tak sengaja dipinjamnya dari Adam. Kalau menelepon dan meminta bertemu di tengah-tengah maka itu namanya tak ada sopan satun juga tak ada rasa berterimakasih. Sebab Davira yang meminjam, maka tanpa merepotkan si pemilik ia akan mengembalikannya sendiri.     

"Jaketnya," ucap gadis itu lirih. Menyodorkan tote bag yang ada di dalam genggamannya kemudian melirik sejenak Adam yang mematung sembari menaruh sorot lensa pekatnya ke arah tote bag hitan yang disodorkan padanya.     

"Bawa aja," tukasnya mempersingkat.     

Gadis di depannya kini sedikit mendongak. Menatap paras tampan Adam Liandra Kin kemudian membulatkan matanya sempurna. Tak mengerti? Tidak! Davira mengubah ekspresi wajahnya sebab ia terkejut kala Adam menyuruh dirinya untuk tetap membawa dan menyimpan jaket yang sering dibawanya ke sekolah itu. Jikalau diingat dengan benar, Adam selalu memakai ini kala datang dan pulang dari sekolah. Bahkan ia juga memakainya kala berkeliaran bak anak hilang di jalanan kota dengan mengendarai motor gede miliknya itu.     

Jadi bisa dikatakan bahwa jaket ini adalah benda kesayangan milik Adam Laindra Kin.     

"Kenapa aku harus membawanya? Aku ke sini untuk mengembali—"     

"Kamu gak laper?" Adam menyela. Mengubah arah tatapannya dengan menelisik setiap sudut jalanan untuk mencari apa-apa saja yang bisa mengenyangkan perutnya saat ini.     

Remaja brengsek dengan wajah tampan dan fisik mumpuni layaknya seorang model papan atas itu keluar sore ini bukan tanpa alasan atau bukan sebab ia mendapat firasat buruk terkait gadis berparas cantik yang ada di depannya sekarang ini. Adam memutuskan untuk meninggalkan sang mama di dalam rumah setelah menjemputnya dari rumah sakit sebab satu alasan yang jelas, yaitu mengisi perutnya dan sejenak mencari udara segar sebab hari ini tak ada sekolah dan tak ada basket. Jadi ia ingin memulai hari dengan bahagia juga mengakhirinya dengan indah.     

"Tapi jaketnya!" ucap gadis itu sedikit berteriak kala remaja jangkung yang tadinya berdiri mematung di depannya itu memutar tubuh jangkungnya serong kemudian mengambil langkah untuk berjalan meninggalkan Davira.     

-meninggalkan Davira gadis pujaan hatinya?! Eits! Tenang. Adam hanya menggoda gadis itu. Toh juga mau tak mau Davira pasti akan mengikuti langkah kaki jenjang milik Adam Liandra Kin.     

"Aku bilang aku mau ngembaliin jaket kamu." Davira menyela langkah yang diciptakan oleh Adam. Sesekali menyenggol punggung tangan remaja itu untuk membuatnya sejenak terhenti dan mengubris kalimat yang diucapkan oleh Davira Faranisa barusan.     

"Adam!" sentak gadis itu sedikit meninggikan nada bicaranya. Kali ini benar menarik tangan remaja yang berjalan di sisinya itu untuk ikut terhenti dan menyelesaikan urusannya dengan Davira sebelum senja berakhir menutup hari.     

"Tinggal ambil jaketnya dan kamu bisa cari makan setelah ini," tutur gadis itu lagi-lagi menyodorkan tote bag yang ada dalam genggamannya. Nada bicaranya sedikit lain. Ekspresi wajahnya pun tak sama seperti sebelumnya. Bisa dikatakan Davira kali mulai jengkel dengan sikap seenak jidat-nya milik Adam Liandra Kin itu.     

Tertawa ringan nan singkat kala netranya memotret wajah lucu nan menggemaskan milik Davira Faranisa. Seperti seorang anak gadis yang memaksa mamanya untuk segera membelikan mainan boneka terbaru di toko yang dibangun di pusat kota. Jika saja Adam mampu, ia ingin mencubit kasar pipi sedikit cubby yang dibiarkan merona oleh pemiliknya itu. Akan tetapi, Adam takut menyakiti wajah gadis yang amat dicintainya. Meskipun secara fisik Davira adalah gadis yang terlihat kuat nan kokoh, namun siapa sangka jikalau seseorang menyenggol sedikit saja pendirian gadis itu, maka ia akan tumbang dan roboh. Singkatnya, bagi Adam ... Davira adalah gadis yang sensitif.     

"Setelah makan," ucapnya sigap meraih tangan gadis di sisinya itu kemudian menggenggamnya erat. Memasukkan jari jemari panjang miliknya itu pada sela-sela jari jemari lentik nan indah milik Davira Faranisa. Diam! Sejenak bungkam dan terus menatap jari jemari tangannya kini beradu dengan jari jemari panjang milik Adam Liandra Kin. Tak memberi perlawanan yang berarti sebab masih dalam kondisi diam terkejut dan mencoba menyesuaikan suasana baru yang tiba-tiba datang padanya itu, Davira hanya menuruti apapun yang dilakukan Adam padanya saat ini.     

Membawa tubuh gadis itu berjalan beriringan dengan gandengan tangan intim yang membuat Davira tak bisa lepas dan menjauh darinya. Tangan Adam ... sedikit dingin. Entah sebab udara yang berembus memang bisa dikatakan sedikit berlebihan dalam menurunkan suhunya itu atau memang sebab tangan besar remaja itu ... dingin.     

"Kita cari makan dulu, aku yakin kamu juga belum makan 'kan?" Adam menyela di sela keheningan yang membentang. Tak acuh pada Davira yang terus saja melirik ke bawah untuk memastikan bahwa Adam masih menggenggam tangannya.     

"Mama kamu ...." Davira kini menimpali. Mengubah arah pembicaraan yang baru saja ingin dibuka oleh Adam Liandra Kin.     

Adam menoleh. Sedikit menunduk sebab tinggi Davira hanya sampai di garis bahu lebarnya saja. "Mama aku?"     

"Katanya pulang besok atau lusa. Kenapa tiba-tiba—"     

"Mama memohon sama dokternya untuk memulangkannya hari ini. Kata mama rumah sakit itu membosankan. Toh juga, mama udah lebih baik sekarang," terang Adam menjelaskan singkat. Davira yang kini menjadi pendengar itu hanya menggangguk-anggukan kepalanya mengerti. Tersenyum aneh dan lagi-lagi melirik genggaman tangan yang kini mulai terasa hangat.     

"Kamu gak nyaman?" sela Adam sukses membuat gadis di sisinya kembali mendongak cepat. Menaikkan sepasang alis cokelat melengkung bulat sabit miliknya sembari sejenak membulatkan matanya.     

Davira bungkam. Tak merespon atau menjawab kalimat tanya singkat yang dilontarkan teruntuknya itu. Bukankah ia hanya tinggal menggeleng atau berkata 'Ya. Sangat canggung' untuk menanggapi Adam?     

Mengapa kalimat itu terasa sangat sulit sekarang? Menolak perlakuan Adam padanya ... tak semudah kala mereka pertama kali saling mengenal.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.