LUDUS & PRAGMA

76. Asmaraloka Sang Ibunda



76. Asmaraloka Sang Ibunda

0Saling diam tanpa mau memulai percakapan terlebih dahulu dan membiarkan hening nyata terbentang di antara keduanya adalah suasana yang tercipta antara Davira juga Adam Liandra Kin. Desir sang bayulah yang menjadi melodi pengiring langkah keduanya menyusuri gang komplek perumahan elit tempat Adam Liandra Kin tinggal setelah aktivitas makan selesai dilaksanakan. Adam 'menjamu' Davira dengan sangat baik. Membelikan segala hal yang dikata 'suka' oleh gadis berparas ayu itu. Sedikit terkejut memang, sebab siapa sangka bahwa tubuh mungil sedikit semampai milik Davira Faranisa itu tak menjamin bahwa si gadis adalah tipe orang menjaga pola makannya dengan baik. Bisa dikatakan Davira memilih apa-apa saja yang masuk ke dalam perutnya hanya dengan kata suka. Tak mau mempertimbangkan banyak hal sebab baginya semua makan pasti ada baik juga buruknya.     
0

"Lain kali aku bayar sendiri," tukas gadis itu menyela langkah pada akhirnya. Memuat Adam menoleh sejenak kemudian tersenyum ringan.     

"Artinya kita harus makan bersama lagi?" timpal remaja jangkung di sisi Davira dengan nada sedikit menggoda.     

Davira berdecak ringan. Kemudian menghentikan langkahnya dan memutar serong tubuh mungilnya untuk bisa menatap remaja setara usia bukan setara tinggi dengannya itu. Bagaimana bisa Adam sekukuh ini untuk tetap berjuang meluluhkan dan merobohkan benteng pertahan miliknya? Bukankah penolakan yang diucapkan malam itu sudah cukup untuk menyakiti hati dan membuat remaja yang kini kembali mengayunkan kakinya ringan untuk mulai melangkah dan meneruskan perjalanannya menghantar Davira ke halte bus itu berhenti mengejarnya? Toh juga masih ada Kayla Jovanka si gadis sialan yang terus menempeli Adam bak roh halus yang sedang mencari sarang untuk tempatnya tinggal juga ada Kak Lita si senior bertubuh seksi dengan tingkat kecantikan yang tak perlu diragukan lagi. Kalaupun dua gadis itu tak benar bisa masuk ke dalam hati Adam, masih ada Davina si fans gila yang terus saja memuja dan memuji serta mengangungkan sosok idola yang amat dicintainya itu. Lalu, mengapa Adam harus sekuat ini dalam bertekad untuk mengejarnya?     

"Pokoknya ... ambil jaketnya sekarang," sambung Davira menyodorkan paksa isi tote bag yang sudah membuatnya bertindak sejauh ini.     

"Bawa aja." Adam menolak. Kembali menampik sodoran dari Davira dengan lembut.     

"Kenapa harus aku simpan? Pertama, aku gak suka warna hitam. Kedua, ini jaket laki-laki dan aku gak bisa memakainya. Ketiga—"     

"Karena itu punyaku." Adam menyela. Lagi-lagi mengembangkan senyum manis di atas paras tampannya kemudian tegas menghentikan langkahnya sesaat ia tersadar bahwa mereka sudah berada di belakang bangunan halte bus.     

"Simpan dan bawa kalau aku membutuhkannya. Ini bisa jadi alasanku buat kita ketemu lagi." Remaja itu kini mengulurkan tangannya. Mengusap lembut puncak kepala gadis yang hanya setinggi bahunya itu.     

Davira diam. Mematung bak es balok di tengah dinginnya udara malam yang berembus. Mengapa setiap kata yang diucapkan oleh Adam teruntuk dirinya itu selalu saja terdengar indah namun juga mengejutkan dan membuat hatinya terkagum-kagum? Sekarang Davira mulai paham, mengapa segala yang dikatakan dan dilakukan oleh Adam Liandra Kin teruntuk dirinya tak bisa ia tolak atau sanggah lagi. Sebab Davira ... mulai merobohkan dinding pertahannya sendiri.     

"Hati-hati di jalan, Nona cantik." Adam memungkaskan kalimatnya dengan manis. Kembali menarik tangannya dan memberi celah pada si gadis agar ia bisa pergi dari tempat ini.     

"Davira ...." Seseorang menyela keduanya dengan sebuah panggilan lirih namun tegas dan jelas masuk ke dalam lubang telinga gadis itu. Bukan hanya Davira yang menoleh, namun juga remaja jangkung yang baru saja ingin menyentralkan fokusnya pada kepergian gadis yang amat disayanginya itu.     

"Mama?" Davira menyahut lirih. Menghentikan sejenak aktivitasnya kala sepasang netranya bertemu dengan sepasang lensa identik dengan wajah yang sedikit identik dengannya pula.     

"Kenapa mama ada di sini?" sambung gadis itu melanjutkan. Melirik sekilas Adam yang baru saja membungkukan badannya sopan untuk menyambut dan memberi salam penuh hormat pada wanita dewasa yang kiranya satu usia dengan mamanya itu.     

"Mama mau jemput kamu," ucap Diana dengan nada lembut penuh dengan kehati-hatian. Mencoba agar tak lagi melukai hati anak gadisnya yang dalam tebakan Diana, Davira pasti masih merajuk padanya sekarang ini.     

"Mama duluan aja. Davira pulang sama temen Davira," tukas gadis itu sigap menarik pergelangan tangan Adam dan berniat untuk 'menyeret' tubuh remaja itu ikut masuk ke dalam bus. Bukannya Davira ingin benar mengajak Adam untuk kembali menemaninya dalam menempuh padatnya kota dan gelapnya langit malam sebab senja baru saja purna dalam bertugas. Davira hanya ingin menghindari sang mama bagaimanapun caranya.     

"Ayo, kita pergi," ajak gadis itu menarik pergelangan tangan Adam yang ada di dalam genggamannya. Namun, Adam menolaknya. Jujur saja kalau kali ini Adam tak mau berpihak pada gadis yang amat dicintainya itu. Kali ini ia akan berbuat baik dengan memberi kesempatan pada wanita dewasa yang datang dengan ekspresi wajah sayu dan tatapan mata penuh pengharapan itu agar bisa bercengkrama ringan memutus segala ego dan meredam segala amarah yang ada dalam diri sang putri. Jadi dengan lembut Adam melepas genggaman tangan Davira yang kuat mencengkram pergelangan tangannya. Tersenyum ringan penuh makna kala gadis itu menoleh dan memberi tatapan kepada Adam.     

"Kasian mama kamu udah jauh-jauh ke sini. Pulanglah, telepon aku kalau sudah sampai di rumah," tutur remaja itu dengan penuh kelembutan dan pengertian. Mencoba untuk membuat gadis di sisinya itu mengerti bahwa marah dan menghindari sang mama, tak akan pernah membuat bebannya hilang dan hatinya merasa lega.     

"Adam pamit dulu, Tante." Remaja itu kini melanjutkan. Menatap Diana yang hanya tersenyum ringan sembari mengganggukkan kepalanya. Mengiringi kepergiaan Adam dengan tatapan penuh makna dan kehangatan.     

***LnP***     

Mobil sedang hitam itu tegas membelah padatnya jalanan kota. Sesekali berhenti untuk mematuhi rambu lalu lintas juga sesekali mengurangi dan menambah kecepatannya kala berbelok di perempatan, pertigaan, dan persimpangan jalan raya. Tak ada suara yang menginterupsi untuk memecah rasa sepi sebab ego yang ada dalam diri Davira masih tinggi kali ini. Gadis itu hanya membisu sembari melempar tatapannya untuk menatap ke luar jendela mobil sebab ia masih enggan untuk menatap wajah wanita yang sudah berhari-hari tak bersua dengannya itu.     

"Kamu masih marah sama mama?" sela Diana memelankan laju mobil yang ditumpanginya.     

Davira bungkam. Enggan menggubris atau sedikit memberi respon untuk pertanyaan singkat dari mamanya itu.     

"Mama minta maaf. Mama tau mama salah dan—"     

"Davira malas membahasnya. Padahal sebelum ini perasaan Davira sedang bahagia," sahut gadis itu dengan nada ketus.     

Diana tersenyum ringan. Kalimat yang baru saja diucap oleh putrinya itu sungguh membuat tanda tanya besar dalam benaknya sekarang ini. "Karena Adam?" kekeh mamanya mengulurkan tangan kemudian mengusap puncak kepala gadis yang dengan kasarnya memberi respon dan cepat menghindar.     

Diana menepikan mobilnya kemudian. Menghentikan laju dan mematikan mesin mobil kala posisi parkir yang dibuatnya dirasa sudah pas. Baiklah, Diana tak ingin banyak membuang waktu lagi. Kesalah pahaman antara dirinya dengan sang putri harus segera diselesaikan.     

"Kamu masih marah sama mama?" ulang Diana dengan nada lembut. Kini melepas sabuk pengaman yang membatasi geraknya untuk bisa menjangkau sang putri.     

"Apa yang harus mama lakukan biar kamu gak marah lagi sama mama?" Diana kini memohon. Meraih gadu lancip milik Davira dan menarik arah pandangan sang putri agar mau sejenak menatap sorot lensanya yang penuh dengan pengharapan saat ini.     

Menatap lensa dan wajah sang mama membuat Davira kini merasakan sesak di dadanya. Matanya perlahan berbinar. Sesekali ia menggigit bibir bawahnya untuk menahan tangis agar tak keluar dan membobol pertahanan sok kuat yang ia bangun sesaat setelah gadis itu memutuskan untuk masuk ke dalam mobil dan ikut bersama sang mama.     

"Soal papa ka—"     

"Dia bukan papa Davira. Dia papanya Alia." Davira menyela. Memaling wajah cantiknya agar tak lagi menatap paras sayu nan lelah milik sang mama.     

"Mama menghantar papa kamu untuk menyelesaikan urusannya bersama sang istri." Diana tegas meneruskan kalimatnya. Membuat sang anak gadis kembali menoleh padanya sembari mengubah raut wajahnya tak mengerti. Sikap baik yang terlalu baik milik sang mama terkadang membuat dirinya muak.     

"Peduli apa dan apa urusannya sama mama? Dia bahagia dengan—"     

"Dia tak benar bahagia, Davira." Diana menyela. Cepat menyanggah kalimat sang putri yang sudah dapat ditebak arah dan tujuan pembicaraannya nanti.     

"Fakta bahwa papa kamu sedang dalam masa sulit adalah hal yang ingin mama jelaskan saat ini. Ia mengaku bersalah kala itu. Ia ingin bertemu dengan kamu dan melihat putrinya tumbuh dewasa," tutur Diana dengan nada melunak. Meraih tangan gadis muda di sisinya kemudian lembut mengusapnya.     

"Istrinya sedang sakit parah. Kau tau sendiri Alia sudah bertambah besar 'kan? Dia masuk sekolah menengah pertama tahun ini. Dan dia punya adik kecil yang masih harus mendapatkan ASI." Diana menghentikan kalimatnya sejenak. Menatap sang anak semata wayang yang kini mulai meneteskan air matanya. Diana paham dan mengerti benar bahwa sebesar apapun amarah yang ada dalam diri seorang Davira Faranisa, ia masih menyimpan sedikit rindu dan rasa sayangnya teruntuk sang papa.     

"Mama tau kalau mama memberikan bantuan sepenuhnya pada mereka, kamu akan marah besar dan meninggalkan mama seperti saat ini. Untuk itu mama meminjamkan uang sebagai hutang untuk papa kamu," tegas Diana menjelaskan semua hal yang tak diketahui oleh putrinya.     

"Perusahaan papa? Bukankah papa lebih kaya dari—"     

"Papa kamu bangkrut lima bulan yang lalu." Lagi-lagi Diana menyela. Kalimat singkat darinya itu sukses untuk membuat sepasang mata Davira membulat sempurna.     

"Papa kamu ... sedang memulai karirnya dari bawah lagi. Mama tau semua itu dari teman papa kamu. Kalau saja mama tak diberi tahu, mama tak akan pernah datang dan mengetahui semua keadaan mereka saat ini. Papa kamu menepati janjinya dengan tak pernah datang dan mengusik kita lagi apapun keadaannya." Diana memungkaskan kalimatnya dengan tegas. Menatap wajah sang putri yang kini sudah dibanjiri air mata.     

Seberapa banyak lagi yang tak ia ketahui tentang kehidupan yang ada di balik punggungnya?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.