LUDUS & PRAGMA

73. Senandika



73. Senandika

0Langkahnya tegas menyusuri lorong sekolah yang sedikit ramai sebab bel jam istirahat baru saja berbunyi dengan nyaringnya tanda waktu makan siang telah tiba. Menyentak seluruh murid rajin yang masih saja menyentralkan segala fokus sepasang lensa mereka untuk merunut angka juga kalimat-kalimat berteori yang kata orang jaman dulu, kalau bisa dipahami dan dihapalkan dengan bagus maka kau akan menjadi si raja dan ratu sekolah dengan tingkat kepandaian luar biasa tiada tandingnya. Kalau bisa, kalau tidak bagaimana? Bodoh dan tak berguna kau itu!     
0

Ia terhenti. Menatap sayu pintu kayu yang masih tertutup rapat tiada suara yang menyela dari dalam sana. Ruangannya kosong? Entahlah. Siapa sangka jikalau si penghuni sedang saling diam dan fokus menatap satu sama lain sehingga tiada suara mengganggu untuk memecah keheningan. Atau kalau-kalau para penghuninya sedang tidur melepas lelah sebelum akhirnya keluar dari ruangan dan kembali menjemput lelah yang sama.     

Davira meremas perlahan tote bag hitam yang ada di dalam genggamannya. Melirik isi yang ada di dalamnya kemudian berat menarik napasnya. Jaket Adam, itulah alasan gadis itu mengkhianati rasa lapar juga Davina yang memaksanya untuk pergi menyambangi kantin guna mengisi perut dan menenangkan cacing-cacing dalam perutnya yang sedang berdemo ria sekarang ini.     

"Mau ketemu Arka?" sela seseorang menginterupsi gadis yang kini dengan cepat memutar tubuhnya dan memberi tatapan sedikit terkejut pada remaja berkaos biru tua dengan celana pendek selutut berwarna senada. Potongan rambut cepak ala-ala tentara yang sedang melaksanakan tugas negara dengan wajah tak terlalu tampan namun bisa dibilang sedikit manis jikalau ia tersenyum simpul seperti sekarang ini. Abian Candra Gilang Kusumo —atau kalian bisa memanggilnya Candra.     

Davira menggeleng samar. Masih belum mau mengubah ekspresi wajahnya juga tatapan anehnya pada remaja yang sedikit asing sebab mengingat bahwa Davira tak pernah berbicara dengan Candra sebelum ini. Kalau hanya melihat wajah dengan mata sedikit sipit beralis tebal menyiku dan hidung pesek dengan garis rahang tegas dan bibir sedikit lebar kalau tersenyum itu, Davira sering melakukannya. Sebab remaja satu ini adalah teman dari si sahabat kecil juga Adam Liandra Kin.     

"Terus?" tanyanya sembari melirik tote bag yang ada dalam genggaman Davira. Ah, dia membawa buah tangan rupanya.     

"Adam?" sambungnya melirih. Menarik janggut lancip sembari sesekali mendesis ringan untuk memastikan tebakannya kali ini benar tak meleset sedikitpun.     

"Adam gak masuk hari ini." Candra melanjutkan. Menatap Davira yang semakin tegas merapatkan bibirnya sembari sempurna membulatkan kedua matanya.     

Hanya sebab perkelahiannya dengan Arka semalam ia tak datang ke sekolah?     

"K--kenapa dia ...." Davira menghentikan kalimatnya. Sejenak merubah sorot matanya menatap ke sisi lain untuk sejenak menyela fokusnya agar tak lagi menatap remaja yang ada di depannya yang masih jelas menunggunya untuk melanjutkan kalimatnya saat ini.     

"Makasih," tungkas gadis itu pada akhirnya. Tersenyum ringan kemudian memutar tubuhnya dan mengambil langkah pasti untuk menjauh meninggalkan ruangan beserta remaja tak tampan yang masih mematung di tempatnya itu.     

"Adam menjemput mamanya hari ini. Katanya, mama dia pulang dari rumah sakit!" Candra sedikit berteriak. Mencoba menghentikan langkah kaki Davira. Gadis itu terdiam sejenak. Memutar tubuhnya kemudian lagi-lagi hanya tersenyum ringan tanpa mau mengubris kalimat dari Candra.     

"Kalik aja lo butuh informasi itu," ucap remaja itu memungkaskan kalimatnya. Kikuk tersenyum pada Davira yang masih bungkam sebab tak bisa banyak berkata untuk menimpali kalimat dari Candra barusan. Intinya, Davira hanya ingin berterima kasih saat ini. Sebab remaja tak tampan layaknya Arka Aditya juga Adam Liandra Kin itu sudah memberinya satu informasi yang amat sangat berharga untuknya sekarang ini. Bahwa Adam sedang dalam keadaan baik-baik saja meskipun dalam bayangan gadis berambut pekat panjang yang dibiarkan terurai melalui batas telinganya itu, wajah tampan Adam pasti bernasib sama dengan paras milik sahabatnya. Hancur babak belur dengan memar yang membiru sedikit ungu dan darah segar yang meninggalkan bekas luka nantinya.     

***LnP***     

Davira kembali meletakkan tote bag yang ada dalam genggamannya di atas meja. Kasar menghela napasnya kemudian melirik bangku kosong yang ada di sisinya. Pertandingan basket sebentar lagi akan dilaksanakan. Itulah sebabnya bangku yang ada di sisinya akan sering kosong setelah bel istirahat berbunyi dengan nyaringnya. Meskipun absennya Arka Aditya dari kelas terkadang tak diindahkan oleh Davira, akan tetapi kalau-kalau keadaannya sedang begini Davira mencabut kalimatnya pasal kepergian Arka dan mengkirnya remaja itu dari kegiatan pembelajaran di kelas tak menjadi masalah. Davira ... kesepian!     

Jujur saja, perasaan gadis itu masih dihantui dengan ribuan pertanyaan terkait dengan apa yang dilihatnya kemarin petang selepas senja berakhir di langit kota. Sebuah pemandangan yang merusak agungnya cahaya senja dalam hati yang sedang berbinar dengan terangnya. Membawa harapan di setiap langkah demi langkah yang dicipta dengan sebuah doa pada Yang Maha Kuasa agar memberi akhir sedikit bahagia untuk bisa dikenang sepelas pulang dari sana. Harapan Davira punah! Fakta menamparnya, bahwa posisi Davira masih bisa tergantikan oleh gadis cantik berwajah oriental yang suka mengekori kemana pun Adam pergi. Si gadis sialan Kayla Jovanka.     

"Lo akhirnya tiduran di sini?" protes seseorang menyela lamunan gadis yang lemah meletakkan kepalanya di atas tembok. Mengarahkan segala fokus lensa pekatnya untuk menatap tembok kosong yang ada di sisinya.     

Davina menarik tote bag yang ada di sisi Davira. Dengan paksa membuka dan mengambil isinya. Tak menghiraukan gadis yang kini sontak memberi respon padanya untuk tak melanjutkan kelancangan yang sedang dilakukannya saat ini. Akan tetapi bukan Davina Fradella Putri namanya kalau belum mengusik dan mengganggu ketenangan yang ada dalam diri Davira. Untuknya, apapun perlawanan dan selaan dari gadis yang kini berdecak kasar sembari menahan agar tak mengumpati Davina tak akan berpengaruh banyak saat ini.     

"Oh! G--gue kayaknya pernah liat jaket ini." Davina kini menyala. Sejenak melirik gadis yang baru saja mengubah ekspresi wajahnya aneh.     

Sigap tangan Davira menarik kembali jaket yang ada dalam genggaman teman duduknya itu. Melirik sekilas kemudian berdeham ringan sembari memasukkan paksa tanpa melipat dengan benar seperti keadaan sebelumnya.     

"Jaketnya Arka?" tanya Davina kemudian menyela. Kembali menarik fokus gadis yang kini menoleh ke arahnya.     

Davira menggangguk ragu. Tersenyum kikuk kemudian memasukkan tote bag berisi jaket milik Adam itu ke dalam laci meja di depannya. Syukur! Itulah yang diucapkan oleh batinnya. Jika saja Davina tahu pasal pemilik jaket hitam yang ada pada Davira saat ini, percaya saja kalau ia akan merengek pada Davira untuk memindah tangankan jaket itu padanya.     

"Dav," panggil Davira lirih. Membuat gadis yang baru saja ingin meronggoh sesuatu di saku rok pendeknya itu menoleh. Menatap gadis yang kini hanya diam sembari berat mengulum salivanya.     

Dalam raut wajah yang dilukiskan gadis itu, seperti seakan ia sedang menimang keputusan mengenai haruskah ia mengatakan dan menanyakan hal ini pada gadis di sisinya itu?     

"Lo suka sama Adam?" sambung Davira sukses membuat sepasang bola mata milik Davina membulat. Pertanyaan yang singkat, namun sukses membuat terkejut gadis dengan sepasang alis melengkung bulan sabit itu.     

Sejak kapan gadis dingin nan cuek tak pernah peduli pada lingkungan sekitar itu mulai tertarik dengan remaja yang sumpah demi apapun selalu dapat umpatan darinya itu? Juga peduli apa Davira pada perasaan Davina?     

"Sejauh ini sih gue cuma nge-fans sama dia." Davina menjawab dengan sedikit ragu. Terus memberi tatapan pada gadis yang kini mengganggukkan kepalanya samar.     

"Gue suka sama anak kelas sebelah." Davira memungkaskan kalimatnya. Heran, itulah yang ada dalam semburat ekspresi wajah gadis yang baru saja menutup bibirnya dengan lengkungan bibir samar nan tipis. Pertanyaan dari Davira memang sedikit ambigu juga memunculkan satu tanda tanya besar yang ada di dalam benaknya saat ini. Sekali lagi, untuk apa gadis itu mempertanyakan perasaannya pasal Adam Liandra Kin?     

"Ada yang salah sama lo hari ini," tutur Davina mengulurkan tangannya. Sigap meletakkan punggung tangan miliknya untuk memeriksa bahwa suhu tubuh Davira Faranisa. Memastikan bahwa gadis yang menjabat sebagai teman terdekatnya saat ini sedang tak terkena demam juga sakit serius yang menyebabkan perubahan dratis pada sikapnya itu.     

"Gue cuma tanya." Davira menyela. Menampik kasar tangan Davina yang kini berdecak sembari melipat keningnya samar.     

Sikap kasar Davira kembali lagi!     

"Tapi gak tau kalau besok. Ketampanan Adam selalu bertambah setiap detiknya," kekeh Davina sembari menyenggol manja bahu gadis di sisinya itu.     

Davira tersenyum kikuk. Entah ada apa dengannya saat ini. Mendengar candaan dari seorang Davina Fradella Putri barusan itu sedikit mengusik batinnya. Bukannya apa, Davira hanya takut dicap sebagai gadis sok baik yang merebut kesukaan teman dekatnya sendiri.     

"Lo suka sama Arka?" Davina kini membalas. Melontarkan satu pertanyaan identik dengan merubah objek kalimat teruntuk Davira Faranisa.     

Yang dilontari pertanyaan kini bungkam sejenak. Menaikkan sepasang alis tipis melengkung miliknya sembari samar bibirnya berucap kala tak pernah terpikir di dalam otak dan tak pernah terbesit di dalam hatinya bahwa gadis seusia dengannya itu akan bertanya demikian. Bukankah sudah jelas bahwa dirinya dan Arka hanya dekat sebagai sepasang sahabat baik sehidup tapi kalau mati Davira tak suka bersama-sama dengan remaja sialan itu? Bisa dikatakan bahwa Davina sedang berbasa-basi kali ini.     

"Gue cuma sahabatan. Lo tau itu 'kan?"     

Gadis berponi tipis itu mengganggukkan kepalanya. "Kalau nanti? Lo ada rencana melebihkan kata sahabat?" kekehnya memberi pertanyaan acak.     

Davira menoleh. Memberi tatapan malas kemudian memutar bola matanya untuk mengekspresikan betapa basi dan membosankannya kalimat canda berkedok introgasi yang dilontarkan Davina untuknya barusan itu.     

"Gak akan. Gue—"     

"Laki-laki dan perempuan gak akan pernah bisa sahabatan dalam waktu yang lama." Davina menyela. Tersenyum kuda menampilkan deretan gigi putih bersih nan miliknya sembari menopang dagunya dan memberi tatapan penuh godaan pada Davira yang kini mulai tak acuh dengan mengalihkan fokusnya tak lag menatap gadis sialan menyebalkan di sisinya itu.     

Sumpah demi apapun, kalimat pepatah yang diucap oleh Davina Fradella Putri itu ... menyebalkan!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.