LUDUS & PRAGMA

74. Dua Putri Gila dan Seorang Pangeran Tampan



74. Dua Putri Gila dan Seorang Pangeran Tampan

0Langkah kakinya tegas membelah jalanan yang sedikit sepi setelah ia memutuskan untuk turun dari bus dan berjalan ringan menyusuri gang demi gang untuk sampai ke tujuan akhirnya sore ini. Rumah remaja sialan nan brengsek namun tampan rupanya dan atletis fisik yang membuat siapapun akan luluh kalau-kalau hanya sekilas bertatap atau tak sengaja berpapas di jalan. Adam Liandra Kin. Bukan tanpa alasan Davira datang ke rumah remaja itu, ia datang dengan satu alasan pasti yaitu untuk mengembalikan jaket yang masih ada di dalam genggaman Davira. Davira tak terlalu suka jika ada barang orang lain di dalam kamarnya. Bukannya apa, ia hanya tak mau merawat dan menjaga sesuatu yang tak pernah benar diharapkan kehadirannya dalam hidup Davira Faranisa.     
0

"Lo bener gadis sialan yang suka ikut campur urusan orang dewasa rupanya!" bentak seseorang dengan lantang. Bukan, bentakan kasar yang membuat siapapun akan berhenti sejenak dalam langkah dan perjalannya itu bukan ditujukan untuk Davira Faranisa. Akan tetapi, untuk gadis mungil yang kiranya sedikit lebih tinggi dari Davira Faranisa.     

Gadis itu hanya diam. Membalas tatapan orang dewasa dengan santai tanpa ada gusar yang tergambar di dalam netra pekat sedikit cokelat miliknya itu. Sesekali ia tersenyum picik. Dalam senyuman dan ekspresi yang ada di atas paras ayunya itu, ia puas! Entah puas sebab apa, namun yang jelas dari semua perilaku dan sikap fisik yang ditunjukan untuknya dia baik-baik saja meskipun sedang dalam keadaan terpojok seperti sekarang ini.     

"Jadi dia yang membocorkan semuanya?" sela seorang remaja yang sedikit lebih tua dari usia Davira. Lawan bicaranya menimpali dengan anggukan ringan di kepalanya. Melirik sekilas gadis muda yang masih kokoh dalam posisinya tak berusaha untuk melawan atau sekadar bertindak untuk segara pergi dari kepungan orang-orang yang terlihat lebih tua darinya itu.     

Davira yang tadinya sempat terhenti kini mulai melanjutkan langkahnya. Kembali tak acuh sebab ia enggan berurusan dengan hal-hal tak penting sore ini. Tujuannya ada di khawasan asing yang baru pertama kali didatanginya ini adalah untuk datang ke rumah Adam, menyerahkan jaketnya lalu pergi begitu saja tanpa mau bertamu lebih lama lagi.     

PLAK! Keras dan menyayat hati. Begitu kiranya yang dirasa oleh si gadis kala satu tamparan melayang di sisi pipi kirinya. Davira yang baru saja ingin mengambil langkah untuk kesekian kalinya itu kembali terhenti dan sigap menoleh kala suara tak asing masuk menyela ke dalam lubang telinganya. Ah, remaja dewasa sialan itu! Membuat Davira muak melihat kelakukan sok jagoan dengan mengepung dan mengintimidasi satu gadis yang jelas lebih muda usia dan lebih kecil ukuran fisiknya dari mereka semua.     

--dan sekarang ... mereka menamparnya?     

"Oi!!!" teriak Davira sembari melambaikan tangannya. Tersenyum ringan kemudian berjalan mendekat dengan langkah sedikit gontai dan tatapan malas sebab sumpah demi apapun, ia tak hanya membenci kumpulan laki-laki dewasa yang baru saja keluar dari masa remaja yang menyenangkan dan menggairahkan itu. Jika dilihat dari penampilan mereka, bukan seorang pekerja kantoran yang sedang menegur anak didiknya. Bukan juga seorang senior sekolah menengah atas yang sedang berusaha memberi pembelajaran berharga untuk dikenang di awal tahun pembelajaran dimulai. Jaket kulit dengan kaos tipis berkerah O yang dipadukan celana jeans panjang. Sepasang sepatu convers imitasi dan satu tas punggung yang tergantung rapi di salah satu sisi bahu mereka. Rambut tak rapi dengan wajah alakadarnya. Tak ada yang tampan, namun fisik dewasa yang sedikit menggoda. Beberapa dari mereka terlihat mewah dengan aksesoris mahal yang pastilah bukan dibeli dari toko aslinya. Beberapa juga terlihat biasa layaknya remaja tua yang baru saja menginjak masa dewasa. Tepat! Mereka adalah mahasiswa semester menengah yang baru dimabuk kegilaan masa peralihan.     

--namun gadis itu, juga membenci dirinya sendiri saat ini! Bagaimana ia bisa bersikap sok baik dengan mencoba untuk mencari celah agar bisa membantu gadis malang itu. Tunggu, siapa yang disebut sebagai gadis malang di sini? Gadis yang kini mulai menatap Davira? Ah, jangan konyol! Gadis malang yang sesungguhnya adalah Davira Faranisa.     

Melihat apa yang sedang dilakukannya pada gadis berseragam barusan itu, pastilah mereka hanya hidup dengan mengandalkan uang dan ketenaran sebab sikap kasar dan badboy-nya mereka sebab tak mungkin mereka mengandalkan tampang yang pas-pasan begitu.     

"Kamu manggil kita?" tanya salah satu laki-laki kala Davira mulai mendekat dan berposisi wajar untuk mulai sebuah percakapan.     

"Sebenarnya aku mau mengumpati kalian," tutur Davira mendorong laki-laki yang baru saja ingin menghandang jalannya.     

"Ck, kamu temennya dia?" kekeh seseorang menyela. Menarik lengan Davira hingga membuat gadis itu kembali tertarik ke belakang dan setengah ambruk ke arah laki-laki yang kini memusatkan fokusnya ke dada gadis itu. Cabul gila! Bukan, laki-laki yang menjadi pemimpin geng sialan ini hanya ingin membaca name-tag yang ada di dada kanan gadis itu.     

"Davira Faranisa," ejanya kemudian mendorong tubuh Davira dengan kasar. Membuat si gadis kini meloloskan umpatan yang sedari tadi ia simpan rapi di dalam bibirnya.     

"Shit?!" ulang sang laki-laki memberi tatapan pada Davira yang hanya menggangguk-anggukkan kepalanya sembari memberi tatapan polos tak berdosa.     

"Sorry, aku kebiasa mengupat pada laki-laki brengsek." Gadis itu kini terkekeh kecil. Melirik satu lagi gadis sepantaran usia dengannya yang baru saja ikut merubah ekspresi wajahnya tak percaya. Jika dilihat secara fisik dengan mata telanjang, Davira adalah gadis baik, pendiam, lemah lembut, dan pemalu dengan tingkat kesopan yang luar biasa tingginya. Sebab mata dan caranya menatap beberapa menit yang lalu, sangat teduh dan bersahabat dengan sedikit duka yang mungkin sengaja disimpannya dalam hati. Akan tetapi setelah umpatan dan cara bicara serta caranya tersenyum, ia tak seperti itu! Bukan gadis baik, melainkan serigala yang sedang menyamar menjadi seekor kucing yang lucu. Bukan gadis pendiam, namun gadis sadis dengan segala kalimat pedas nan mengerikan bak mata pisau yang tajam untuk membunuh lawan bicaranya. Juga, bukan gadis pemalu dengan tingkat kesopanan yang tinggi, namun gadis liar yang sengaja menyembunyikan kebrutalan dan keliarannya.     

"Laki-laki brengsek?" ucap seorang laki-laki kasar menarik kerah seragam yang digunakan oleh Davira. Mencengkramnya kuat kemudian kembali memblokir seluruh fokus gadis muda berparas cantik yang ada dalam jangkuannya itu.     

"Jalang sia—"     

PLAK! Belum sempat laki-laki itu menyelesaikan kalimatnya, satu tamparan yang dilakukan oleh tangan Davira sukses jatuh di atas permukaan pipi tirusnya. Membuat beberapa teman yang tadinya hanya diam menonton dengan tawa haha-hihi tak jelas itu kini mulai sigap beraksi.     

PLAK! Tamparan kedua yang dilayangkan oleh gadis itu teruntuk orang yang sama.     

"Yang pertama untuk membalas yang tadi, yang kedua untuk membalas yang baru saja." Davira menyela. Kini mulai tersenyum picik dan berusaha melepas cengkraman di atas kerah seragamnya.     

"Gadis sialan!" teriak sang laki-laki berusaha membalas tamparan yang diterimanya. Mengayunkan tangan untuk memberi perlakuan yang sama pada gadis kurang ajar yang sudah membuat merah adalah warna dan keadaan dari pipi tirusnya saat ini. Akan tetapi satu tangan menghentikannya. Menyela aktivitas dua manusia yang baru ingin saling melempar tamparan satu sama lain itu.     

"Nama gue Rena," ucapnya lirih. Tersenyum pada Davira yang tiba-tiba saja membulatkan matanya untuk kalimat singkat yang diucap gadis di sisinya itu. Momen yang tak tepat untuk memperkenalkan diri 'kan?     

"Salam kenal, Davira," sambungnya kini semakin tegas mengembang senyum di atas bibir merah mudanya. Kemudian kasar melepas tangan berotot pepak yang ada dalam genggamannya dan mendorong kasar laki-laki di depan Davira.     

Gadis bersurai pekat itu masih diam sembari terus memberi tatapan pada gadis sebaya yang dengan gilanya menjadikan momen penuh ketenganan ini sebagai ajang memperkenalkan dirinya pada Davira. Jika dilihat dari caranya menyikapi masalah yang ditimbulkan oleh gerombolan laki-laki brengsek ini, Davira kini mulai paham akan satu hal bahwa gadis asing berambut pendek ini sama dengannya. Bukan secara fisik. Sebab jikalau dilihat, Rena lebih tinggi dari Davira. Tubuhnya lebih kurus dan kakinya lebih jenjang. Parasnya satu angka di bawah Davira Faranisa. Namun sifat mereka ... sama-sama gila.     

"Dasar dua gadis sialan!" Mengumpat dan terus memberi umpatan gila untuk mengekspresikan betapa kesalnya laki-laki di depan mereka itu. Sebab tak hanya satu, namun ada dua gadis gila yang sedang dihadapinya saat ini.     

"Lakukan tugas kalian!" sentaknya pada beberapa laki-laki yang menjadi bagian dari gerombolan mereka. Mendengar perintah dari 'bosnya' itu, mereka sigap bertindak. Dua orang meraih tangan Davira dan mencoba menyeret tubuh gadis itu dan membawanya entah ke mana. Dua pria lainnya melakukan hal yang sama untuk Rena. Baik Davira maupun Rena Rahmawati kini mencoba untuk meronta dan melepaskan diri mereka. Menghadang dengan sekuat tenaga agar para laki-laki brengsek nan sialan yang tak patut disebut sebagai anak manusia itu tak menyeret mereka menjauh dari jalanan.     

Sialan memang keadaan yang sedang terjadi saat ini. Meskipun ini adalah jalanan komplek rumahnya orang-orang kaya, namun sepi bak kondisi kota mati adalah kondisi yang tergambar jelas sekarang ini. Tak menyisakan satu saja orang dewasa yang bisa membantu mereka. Sekarang, Davira sadar bahwa keputusan terbodoh yang pernah diambilnya selama hidupnya sebagai gadis cantik tak berbudi luhur adalah pasal datang dan membantu orang-orang lemah yang sedang terkena bencana seperti Rena Rahmawati beberpa menit yang lalu.     

"Lepasin mereka!" perintah suara bariton khas menyela semua aktivitas yang ada di sisi jalanan kosong itu. Tak hanya dua laki-laki yang sedang berdiri sembari memasukkan kedua tangan mereka ke dalam saku celana sembari tertawa ringan menonton aksi tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh teman-temannya itu, namun juga Rena dan Davira yang tersadar bahwa suara itu ... tak asing.     

"Gue bilang lepasin," ulangnya sedikit melunak. Berjalan mendekat dengan langkah santai sembari terus menatap Davira yang sedikit terkejut dengan kehadirannya.     

"Kamu masih suka ikut campur sama urusan orang rupanya," tukasnya kala gadis yang ditatapan samar menyebut namanya dengan lirih.     

"Dan lo ... kita ketemu lagi," sambungnya tersenyum ringan.     

"Adam?" Rena menyela. Menyipitkan matana sejenak mencoba untuk menerka siapa yang baru saja berdiri di depan mereka. Ah benar, si target baru dari kakaknya. Adam Liandra Kin.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.