LUDUS & PRAGMA

77. Asa Yang Aksa



77. Asa Yang Aksa

"Kita sudahi pelajaran hari ini. Kerjakan tugas yang saya berikan dengan baik. Pertemuan besok kita akan membahasnya," tungkasnya menutup kalimat. Mengemasi barang-barang miliknya yang ada di atas meja kemudian melempar senyuman untuk semua murid yang baru saja serentak menjawab untuk mengiyakan apa kata wanita paruh baya yang selalu rapi berbalut seragam dinas cokelat tua dengan kerudung yang indah membalut kepalanya.     

Semuanya kini bisa sejenak bernapas lega sebab ada sedikit jeda untuk mereka singkat berbincang melepas penat dan ketegangan setelah menimba ilmu dengan mata pembelajaran yang menjadi momok menakutkan untuk orang-orang yang hidup di ambang dan di bawah rata-rata kepandaian yang lainnya. Pelajaran matematika.     

Davira melirik sejenak jam kecil yang melingkar di atas pergelangan tangan kirinya. Sesekali mencocokkannya dengan jam dinding bulat yang tergantung di atas papan tulis. Gadis itu kemudian memberi sentral fokusnya pada teman semeja yang mulai mengemasi barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Jikalau tebakan Davira benar kali ini, Arka ingin segera mangkir dari kelas lebih cepat dari biasanya. Sebab kalau ditelisik dengan benar, remaja jangkung yang selalu datang bersamanya itu selalu saja pergi setelah bel istirahat berbunyi. Akan tetapi kali ini ia sedikit tergesa-gesa sebab masih ada satu putaran jarum jam sebelum bel istirahat benar nyaring berbunyi menyentak seluruh penghuni ruangan untuk berhambur keluar meninggalkan kelas guna mengisi perut atau hanya sekadar mencari udara segar.     

"Lo mau pergi sekarang?" tanya Davira menyenggol bahu remaja yang ada di sisinya.     

Arka menoleh sejenak. Tersenyum ringan kemudian menganggukan kepalanya tegas. "Nunggu guru dateng buat ijin," katanya singkat. Lalu kembali membuang tatapannya untuk tak lagi menghadap dan menatap paras gadis yang masih diam sembari terus memusatkan tatapannya pada Arka. Mencoba menerka sikap aneh yang ditujunkan oleh remaja itu pagi ini.     

Sejak keluarnya Davira dari dalam rumah Arka sebab urusan dan permasalahannya dengan sang mama sudah selesai, Arka menatap dan meladeni Davira dengan kesan sedikit lain. Dingin dan bersikap tak acuh dalam waktu tertentu. Marah sebab mama Davira memutuskan untuk menjemput sang putri keluar dari rumah Arka dan kembali ke kediamannya sendiri? Davira rasa tidak. Toh juga, wajar saja kalau gadis itu pergi dan kembali ke rumahnya 'kan?     

"Lo gantian marah sama gue?" Davira kembali membuka mulutnya. Menarik tangan Arka untuk menghentikan aktivitas remaja yang ada di sisinya itu.     

Arka menoleh. Lagi-lagi tersenyum ringan sembari menggelengkan kepalanya. Benar! Remaja itu sedang marah dengan Davira saat ini.     

"Gue ada salah?" sambung gadis itu kala ia tak mendapat jawaban yang bisa memuaskan hatinya.     

"Kalau gue ada salah, bilang aja. Gue bukan—"     

"Kenapa lo pergi ke rumah Adam kemarin?" Kali ini remaja jangkung di sisinya itu mau berucap dan menyela kalimat milik gadis yang seketika diam mengunci bibirnya sebab nada bicara Arka kali ini benar-benar membuatnya terkejut. Remaja itu jengkel dengan tingkah Davira yang semakin lain setiap harinya? Mungkin.     

"Jadi lo yang bilang ke mama kalau gue ke sana?" Davira membalas dengan sama-sama mengajukan pertanyaan pada remaja yang duduk rapi sembari menyandarkan tubuhnya ke belakang itu. Menghela napasnya berat sebab apa yang dilakukan Arka itu ... sedikit lancang. Mamanya kemarin hanya mengaku bahwa ada seorang teman yang mengatakan bahwa Davira Faranisa pergi sendirian ke khawasan asing perumahan elit tempat Adam Liandra Kin tinggal. Sekali lagi, gadis itu sendiri. Jadi, Diana hanya perlu menunggu di sisi halte bus utama untuk bertemu dengan putrinya sebab Davira pasti akan naik dan turun dari halte itu. Awalnya, Davira mengira bahwa teman yang dimaksud oleh mamanya adalah si aneh Candra Gilang, namun sekarang ia tahu bahwa Arka Aditya lah pelakunya.     

"Udah lah, lo pasti gak mau—"     

"Gue mau ngembaliin jaket yang ada sama gue. Lo sendiri 'kan yang bilang kalau itu punyannya Adam." Davira menyela. Sedikit menggerutu sebab Arka ternyata merajuk padanya hanya sebab hal kecil dan kesalahpahaman begini. Dasar bocah!     

"Kenapa gak dititipin sama Candra?" gerutu Arka memprotes aksi sahabatnya itu.     

"Lo pernah diajarin sopan santun 'kan sama Tante Desi? Lo pasti tahu alesannya. Kenapa berpura-pura bodoh," ucap gadis itu dengan nada semakin melirih. Memanyunkan bibirnya sebab sumpah demi apapun Davira tak suka kalau sahabatnya itu sudah bersikap layaknya bocah yang marah hanya sebab gula-gulanya terjatuh di atas tanah dan kotor.     

"Kenapa lo gak ajak gue buat nganterin?"     

"Di saat lo lagi latihan buat pertandingan yang akan dimulai lima hari lagi?" timpal gadis itu kemudian mengulurkan tangannya dan menjitak kepala sahabat kecilnya itu.     

Arka mendesah kesal. Selalu saja begini. Ia memang marah dan kesal sebab Davira yang selalu saja bertindak seenaknya tanpa memikirkan akankah ia salah paham atau tidak? Akan tetapi, Arka tak pernah bisa marah dengan benar pada sahabatnya itu. Arka terlalu menyayangi Davira, hingga rasa sayang itu berubah menjadi rasa cinta seorang laki-laki pada gadis pujaannya. Meskipun jujur saja penolakan dari Davira waktu itu sedikit menamparnya akan sebuah keserakahan sebab ia baru saja ingin melampaui batasan, namun fakta bahwa ia rasa cintanya sekarang ini lebih besar dari rasa sayangnya sebagai seorang sahabat tak bisa dibantah dan disanggah oleh remaja itu sekarang ini.     

"Terlebih dari semuanya, gue makasih sama lo." Davira kembali menyela. Menoleh sedikit mendongakkan kepalanya untuk menatap paras sang sahabat yang baru saja ikut menoleh menatapnya.     

"Karena mama lo?" Arka menyahut.     

Gadis di sisinya menganggukkan kepalanya. Tersenyum ringan kemudian menggerang lirih. "Mama jelasin semuanya. Meskipun gue masih marah karena dibohongi, tapi setidaknya gue tau apa alasan mama berbohong."     

Arka ikut tersenyum. Paras dan raut wajah gadis itu kini lain. Tak sekacau dan tak seburuk sebelum ini. Mengangkat tangannya kemudian mengusap perlahan puncak kepala gadis yang ada di sisinya. "Kerja bagus, Nona Davira."     

Usapan tangan yang jatuh di atas kepalanya itu meninggatkan Davira pada seseorang. Adam Liandra Kin.     

"Lo mau tau alasan mama berbohong gak?" ucap gadis itu dengan manja.     

Arka yang tadinya hanya tersenyum itu kini terkekeh ringan. "Gue udah tahu. Kemaren malam mama cerita."     

Davira menarik wajahnya. "Iyakah? Baiklah kalau begitu."     

"Ngomong-ngomong, lo mau temenin gue?" Davira kembali memulai pembicaraan dengan alur topik yang berbeda. Membuat remaja yang ada di sisinya itu kini kembali menoleh setelah memutuskan untuk kembali memusatkan fokusnya menatap ponsel yang ada di depannya.     

"Ke pelaminan?" kekeh Arka menggoda. Gadis di sisinya kini sigap memukul pundak lebar milik sahabatnya.     

"Gue bilang jangan becanda kalau selera humor lo murahan gitu," gerutunya kesal.     

"Ke rumah sakit," sambung Davira meneruskan kalimatnya. Kali ini Arka benar menatap gadis yang ada di sisinya itu. Kemudian sigap memutar tubuhnya serong agar bisa berposisi saling hadap dengan gadis yang baru saja membuatnya terkejut dengan kalimat singat yang diucapkan Davira barusan itu.     

"Siapa yang mau lo—"     

"Benar, Tante Mira." Davira menyela kala Arka menghentikan kalimatnya sejenak setelah tersadar hal gila yang ada di dalam pikiran sahabatnya itu. Gila dan aneh, itulah cara berpikir gadis cantik yang berposisi sebagai sahabat masa kecilnya itu.     

***LnP***     

Sepi tak pernah ramai kala gadis itu memutuskan untuk datang menyambangi tempat tersejuk, terbersih, dan paling nyaman juga tenang dari sekian banyaknya tempat yang ada di dalam khawasan sekolah itu. Bukan tanpa alasan gadis itu keluar dari dalam kelas selepas bel masuk berbunyi setelah mengijinkan semua murid untuk seperempat putaran jarum jam menghabiskan waktu di luar kelas dengan me-refresh-kan otak mereka. Gadis itu datang kemari bersama si teman dekat yang tak lagi duduk sebangku dengannya itu sebab perintah dari sang guru yang menyuruhnya untuk mengambil buku pendamping di dalam perpustakaan sekolah. Tak ingin repot sendirian, Davira mengajak Davina untuk pergi bersamanya.     

--dan di sinilah, mereka berada. Davira masih fokus mencatat laporan buku pinjam yang harus diisinya sebagai syarat gadis itu membawa seluruh tumpukan buku yang dimaksud oleh gurunya, sedangkan Davira kini memusatkan arah sorot lensanya untuk menatap tumpukan buku di depannya tanpa melakukan hal yang berguna.     

Setelah sepersekian detik, Davira datang. Berjalan ringan ke sudut ruangan perpustakaan untuk menghampiri Davina yang masih kokoh dengan posisi duduknya sembari menatap tumpukan buku yang ada di depannya.     

"Kita bawa separuh-separuh." Davina memerintah ringan. Memasukkan pena hitam ke dalam saku rok pendeknya kemudian menatap gadis sebaya yang kini mulai melukiskan ekspresi aneh di atas paras cantiknya.     

"Ada sesuatu yang aneh sama gue?" tanya Davira sembari mengarahkan arah jari telunjuknya di depan hidung lancipnya sendiri.     

Davina menggeleng. "Enggak. Kita angkat bukunya," tukas gadis itu tersenyum aneh. Davira hanya menganggukkan kepalanya. Mengerti? Tidak sepenuhnya!     

"Davira ...." Davina kini kembali menyela. Menarik lengan gadis di sisinya untuk mencuri perhatiannya.     

"Hm? Ada apa?"     

"Gue suka sama Adam," ucapnya dengan tegas. Gadis yang dilontari pernyataan itu kini sejenak mematung. Membulatkan matanya sembari menaikkan sepasang alis melengkung bulan sabit miliknya. Davina menyukai Adam sebagai seorang gadis pada laki-laki idamanya? Ya! Dan itu ... menamparnya dengan keras. Dari sekian banyak gadis yang dikenalnya, mengapa harus Davina?     

"Menurut lo gimana?" tanya Davina melanjutkan.     

Gadis di sisinya kemudian sigap memecah lamunannya. Menatap gadis sebaya dengannya kemudian tersenyum kaku. "Apa yang gimana? Emangnya gue berhak melarang atau menyetujui?" kekeh gadis itu sembari mencoba mengangkat tumpukan buku yang ada di depannya. Kekehan Davira ... palsu!     

"Gue harus gimana kalau lihat Adam deketin cewek lain? Atau ada cewek yang lagi deket dan suka sama Adam?" Davina menyela. Terus memberi tatapan pada gadis yang kini tiba-tiba saja menghentikan aktivitasnya. Davina sedang tak menyindir dirinya 'kan?     

"Lakukan yang lo mau dan lo bisa. Lo tau sendiri gue gak pinter dalam hal begituan," tutur Davira mengakhiri kalimatnya dengan senyum simpul.     

Gadis di sisinya menganggukan kepalanya mengerti. Bohong! Davira berbohong! Davina tahu semuanya. Jaket Adam yang ada di dalam tote bag itu bahkan kemarin senja saat Davira makan berdua dan berbicara intim juga berjalan sembari bergandengan tangan dengan Adam, Davina tahu semuanya!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.