LUDUS & PRAGMA

78. Kisah Rumit Hari Ini



78. Kisah Rumit Hari Ini

0Surya gila dengan sengatan sinarnya yang tegas menghantam permukaan bumi. Desir sejuknya bayu yang berembus kini jelas sudah tergantikan oleh hawa panas yang ikut mengalir melalui angin siang ini. Davira gontai menyusuri lorong sekolah tanpa tujuan yang jelas. Entah UKS sekolah yang berada di sisi pertigaan lorong di depannya itu atau taman dengan beberapa bangku yang sengaja dibangun di belakang gedung sekolah sisi parkiran besar tempat para murid meletakkan motor dan sepeda miliknya yang menjadi tujuan langkah gadis itu. Ia hanya tak suka berada di dalam kelas siang-siang begini sebab panas dan sumpek ia rasakan akibat satu kipas angin besar di dalam kelasnya mati tak berfungsi lagi. Tak ada Arka yang bisa menemaninya saat ini dan tak perlu ditanya lagi dimana remaja itu berada sekarang ini. Juga tak ada Davina yang biasa menemaninya sebagai pengganti sang sahabat kalau Davira sedang bosan tak ingin sendiri. Davina ada di dalam ruang basket, entah apa yang dilakukan gadis itu saat ini, ia hanya berpesan pada Davira untuk menyusulnya jikalau gadis itu merasa bosan sebab tiada peneman hari. Akan tetapi, mau diberikan kelonggaran sebesar dan sebanyak apapun Davira adalah Davira! Ia tak akan pernah datang ke ruangan yang dibangun dipojok lorong sekolah itu apapun alasannya. Sebab tak ingin bertemu dan ingin menghindari Adam? Tidak juga.     
0

Gadis itu kini menghela napasnya. Setelah pemikiran panjang, mungkin taman belakang sekolah adalah tempat yang bagus dan cocok untuknya menghabiskan waktu istirahat yang tinggal 20 menit berlalu itu. Meskipun hawa panas sedang gila-gilanya saat ini, namun gadis itu percaya bahwa di taman sekolah dengan beberapa pohon besar yang menghiasi itu akan terasa lebih sejuk.     

"Davira?!" pekik seseorang menyela langkahnya. Suara bariton itu ... tak asing.     

Gadis yang dipanggil namanya kini menoleh cepat. Menghentikan sejenak langkahnya kemudian menyerongkan tubuhnya untuk menatap siapa yang sudah dengan lancang menyela langkah malasnya. Ya, siapa lagi memangnya kalau bukan Adam Liandra Kin?     

"Kamu sendirian?" tanya remaja itu kala langkah kaki jenjangnya sudah dekat dengan posisi Davira.     

Davira menggangguk samar. Berdeham ringan dan tersenyum kaku kemudian melanjutkan langkahnya menyusuri lorong sekolah untuk sampai di tempat tujuannya sekarang ini, taman rindang nan hijau di belakang sekolah.     

"Arka latihan basket dan Davina—"     

"Dia bantuin official membuat daftar penting untuk pertandingan besok," kata Adam menyahut. Membuat gadis yang baru saja ingin mengatakan tak tahu menahu akan apa yang dilakukan oleh teman dekatnya itu menghentikan kalimatnya. Lagi-lagi mengembangkan senyum simpul tanpa mau merubah atau mengurangi laju langkah kakinya.     

"So--soal mama kamu kemarin, s--sebenarnya aku nunggu telepon dari kamu." Adam berucap sedikit gagap dengan nada yang lirih. Menunduk sejenak untuk menghilangkan rasa canggung yang tiba-tiba saja membentang di antara keduanya. Adam canggung? Sedikit. Sebab ini adalah kali pertamanya ia berjalan beriringan dengan Davira Faranisa di lingkungan sekolah.     

Davira terdiam sejenak. Baiklah, ia lupa! Sungguh demi apapun ia sejenak melupakan Adam Liandra Kin kemarin malam. Selepas mengemasi barang-barangnya dan keluar dari rumah Arka Aditya, gadis itu menghabiskan malam indah nan damai bersama sang mama dengan menyambangi tempat-tempat mahal yang kala gadis itu memberi sebuah protes pada sang mama, wanita dewasa itu menjawab dengan tegas bahwa malam ini adalah malam untuk sang putri. Jadi, Davira bisa bersenang-senang tanpa mengkhawatirkan apapun dan melupakan segala rasa sakit yang sudah menyiksanya selama berhari-hari.     

"Ah aku lupa." Gadis itu sedikit membuka suara. Lirih terdengar suaranya, namun cukup untuk membuat remaja di sisinya menoleh kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Jikalau bahagia, wajar saja Davira melupakannya.     

"Kamu udah baikkan sama mama kamu?" lanjut Adam meneruskan kalimatnya.     

"Udah." Singkat, padat, dan jelas. Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Davira sebab jujur saja, ia sangat canggung sekarang ini. Tak heran jikalau beberapa pasang mata yang berpapasan dengannya sinis memberi tatapan padanya, sebab mungkin saja yang ada di dalam otak dan batin mereka semua sedang mengumpat dan memberi sumpah serapah pada gadis asing yang kini berjalan bersama dengan idola barunya kaum-kaum hawa di sekolah.     

"Mau makan siang sama ak—"     

"Bisakah kamu pergi?" ucap Davira memotong kalimat Adam. Menghentikan langkahnya kemudian memutar tubuhnya untuk bisa berhadapan dengan Adam Liandra Kin.     

Remaja jangkung berponi belah tengah itu kini sejenak membulatkan matanya. Menatap gadis yang kini sejenak menundukkan kepalanya sebab merasa bersalah telah mencoba untuk mengusir Adam. Tunggu, Davira merasa bersalah? Bukankah kalimatnya barusan masih terbilang sopan jikalau dibandingkan dengan kalimat-kalimat pedas yang dilontarkan Davira untuk Adam?     

"Kamu nyuruh aku pergi?" tanya Adam mengulang kalimat untuk memastikan bahwa yang didengarnya barusan itu tak salah.     

"Bukan gitu. Aku hanya gak suka dilihatin begitu. Semua akan berbicara aneh tentang kita," tukas gadis itu menjelaskan dengan singkat. Membuat remaja yang ada di depannya itu kini tertawa ringan dan mengacak perlahan puncak kepala Adam.     

"Kamu akan terbiasa nanti," tuturnya di sela tawa ringan yang ia ciptakan. Davira mendongak. Sejenak membulatkan matanya untuk memberi respon pada kalimat ambigu yang diucapkan oleh Adam barusan itu.     

"Maksud aku ... kamu akan terbiasa kalau kita paca—"     

"Aku mau ke kamar mandi," sela Davira beralasan. Bukan saat yang tepat membahas hal itu di dalam suasana canggung dan tak nyaman begini. Sebab jikalau Davira membiarkan Adam melanjutkan kalimatnya, ia yang akan mati kaku di sini nanti sebab tak bisa memberi banyak tanggapan.     

"Baiklah. Aku pergi," pungkas remaja itu melukiskan senyum di atas paras tampannya yang sempat hilang kala menatap wajah menggemaskan milik Davira Faranisa. Lagi-lagi Adam terpesona!     

Remaja jangkung yang terlihat benar-benar keren dengan menggunakan kaos tanpa lengan dan celana pendek selutut yang menampilkan betis pepak dan kaki jenjangnya itu kini memutar tubuhnya. Melangkah pergi dan meninggalkan Davira sesuai dengan permintaan gadis itu barusan. Toh tanpa diminta pun Adam akan tetap pergi sebab ia harus segera kembali ke dalam ruang basket. Akan mencurigakan jikalau ia lama pergi dan tak kunjung kembali sebab pamitnya menghilang dari dalam ruangan hanya untuk pergi ke kamar mandi.     

"Adam!" Davira tegas memanggil nama remaja yang baru saja ingin menjauh darinya. Berjalan ke arah lorong di mana ruang basket berada.     

Adam memutar tubuhnya. Kembali menatap paras gadis yang kini mulai memainkan ujung jari jemari lentik nan indah miliknya kemudian mendongak menatap paras tampan yang sedikit berkeringat milik Adam Liandra Kin.     

"Jika aku dalam keadaan baik-baik saja. Aku boleh telepon kamu?"     

Sial! Mengapa hanya untuk mengatakan kalimat sesingkat itu Davira menahan mati-matian rasa canggung yang ada di dalam dirinya saat ini.     

Remaja yang tadinya hanya mematung tak bersuara apapun sebab jujur saja Adam juga terkejut dengan kalimat singkat yang ditanyakan oleh Davira Faranisa barusan.     

"Ka—ka--mu nyuruh aku untuk menelepon kalau aku ada masalah. Bisakah—"     

Adam menganggukkan kepalanya. Tersenyum manis kemudian berdeham ringan. "Tentu. Aku akan menunggu itu," ucapnya dengan penuh antusias.     

Baiklah, mereka saat ini sangat menggemaskan!     

***LnP***     

Menatap segala aktivitas gadis yang ada di depannya adalah aktivitas yang dilakukan oleh Kayla Jovanka siang ini. Tak seperti Davira yang butuh alasan kuat untuk mampir dan datang ke tempat ini, Kayla hanya cukup mengatakan bahwa ia sedang bosan dan tak ingin berada di dalam kelas sendirian. Jadi, ia datang dan menyusul Adam ke sini.     

"Bisa gak lo berhenti ngeliatin gue dan bantuin gue sekarang." Davina tegas membuyarkan fokus gadis sepantaran usia dengannya itu. Mendongakkan kepalanya kemudian tersenyum manis untuk gadis yang kini mulai memalingkan wajanya.     

"Kayla Jovanka ... itu nama lo 'kan?"     

Gadis yang disebutkan namanya itu kini menoleh. Menatap Davina yang masih kokoh dengan senyum yang ada di atas paras cantiknya.     

"Lo temen deketnya Davira?" Gadis itu kini bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat ke arah Davina Fradella Putri. Tersenyum seringai kemudian menarik satu bangku kosong dan berposisi saling hadap dengan gadis yang sedikit lebih cantik darinya itu.     

"Bisa dibilang begitu," tukas Davina mempersingkat.     

"Dan bagaimana bisa dia menyukai remaja yang juga disukai sama temennya sendiri? Hubungan kalian lebih rumit dari—"     

"Siapa bilang gue suka sama Adam," lirihnya menyela sebab tak ingin siapapun mendengar obrolan mereka berdua kali ini.     

Kayla terkekeh kecil. "Di perpustakaan tadi, lo pikir gue gak tau?"     

Davina kini berdecak ringan. Sekarang ia merasa kebodohan sudah ditakdirkan Sang Pencipta untuk ada dan mengakar dalam dirinya. Bagaimana bisa ia mengakui perasaannya perihal Adam Liandra Kin di tempat umum seperti itu tadi?     

"Dan siapa bilang kalau Davira suka sama A—"     

"Perhatian Adam ke cewek sialan itu, kalimat-kalimat puitis, dan segala usaha Adam mendekati dia, lo pikir gak akan pernah memberi efek pada perasaan Davira?"     

Kayla kini sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan. Menyeringai samar pada gadis yang kini mengunci rapat bibirnya sembari terus memberi tatapan tajam penuh tanda tanya pada Kayla Jovanka. Untuk apa gadis itu berkata begini padanya? Bukankah Kayla adalah teman dekat Adam Liandra Kin yang tentunya tak akan rela jikalau ada gadis lain yang menyukai dan mendekati remaja jangkung berhidung mancung itu 'kan? Termasuk juga Davina Fradella Putri.     

"Jadi ... berjuanglah. Diam dan memendam perasaan gak akan buat Adam melihat ke arah lo," tutur gadis itu menutup kalimatnya dengan senyum sempurna.     

Davina mengerutkan samar keningnya. Perlahan matanya menyipit untuk mencoba menerka apa yang ada di dalam otak gadis licik bak ular berbisa di depannya itu.     

"Kenapa lo ngomong begini ke gue. Bukankah—"     

"Singkatnya gue benci sama Davira." Kayla menyela. Bangkit dari duduknya dan lagi-lagi mengembangkan senyum manis untuk mengakhiri obrolan singkatnya dengan Davira.     

"Itu cuma saran. Lo bisa memikirkan itu dengan baik atau mengabaikannya saja. Semua keputusan ada di tangan lo, Davina," pungkasnya menepuk pundak Davina kemudian berlalu pergi meninggalkan gadis yang masih diam sembari menatap kepergiaan Kayla Jovanka.     

Ck, sialan! Hanya karena itu Davina goyah akan pertemanannya dengan Davira sekarang ini. Haruskah ia merelakan hubungan baiknya dengan Davira hanya untuk mendapat 'mata' sang pujaan hati?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.