LUDUS & PRAGMA

79. Luka Itu Masih Ada!



79. Luka Itu Masih Ada!

0Aroma khas rumah sakit kini menari jelas di kedua lubang hidung Arka Aditya maupun Davira Faranisa. Sedikit gila memang sahabatnya itu, sebab kokoh katanya ia ingin menjenguk Tante Mira di rumah sakit.     
0

Tante Mira? Ya, wanita yang kiranya lebih muda dari sang mama juga tentunya lebih tua dari Davira Faranisa. Kiranya wanita itu berusia 30 tahunan. Wanita sama yang sudah merebut sang ayah dari mama tercinta. Membuat laki-laki tua itu menghianati dan meninggalkan bahtera rumah tangga bahagianya bersama Diana juga sang putri kandung, Davira Faranisa. Sedikit mengejutkan kala gadis itu mendengar kabar dari sang mama kalau Mira sedang mengidap penyakit serius dengan momok menakutkan bahwa ia tak akan pernah bisa lama bertemu dengan orang-orang yang amat dicintainya di dunia. Kata sang mama dalam cerita singkat untuk menjelaskan keadaan buruk yang menimpa keluarga sang papa, wanita berusia 40 tahunan itu mengatakan dengan tegas bahwa Dokter yang menanangani Mira sudah cukup lelah dan menyerah. Mengatakan dengan penuh penyesalan bahwa wanita pemilik nama Almira Septiana itu tak akan bisa hidup lebih lama lagi. Dua bulan, waktu yang paling lama dengan beribu kemungkinan terburuk yang akan terjadi dalam perjalan wanita berusia kepala tiga itu dalam mempertahankan kehidupannya.     

Menyedihkan bukan? Tidak. Tak sepenuhnya Davira berempati pada wanita sialan yang sudah menghancurkan rumah tangga kedua orang tuanya. Gadis itu hanya menaruh segala iba yang dipunyainya teruntuk dua malaikat kecil nan cantik yang menjadi buah hati pernikahan menyebalkan untuknya itu. Alia Putri Septiana juga sang adik kecil yang bahkan Davira sendiri tak tahu, sejak kapan ia lahir dan dinyatakan hidup di dunia ini?     

"Lo serius mau jenguk dia?" Arka menyela. Menatap sang sahabat yang terus saja memusatkan tatapannya menatap lorong sedikit ramai di depannya. Meskipun kepala gadis itu tertutup oleh topi hitam yang juga mau tak mau sedikit menghalangi pandangan Arka untuk bisa menatap dengan benar paras cantik sahabatnya itu, namun dalam keyakinan penuh pastilah tatapan gadis itu sedang dipenuhi dengan kegusaran dan keraguan.     

"Ra! Kalau lo gak yakin—" Arka menghentikan kalimatnya sejenak kala si sahabat menghentikan langkahnya kemudian melepas topi yang ada di atas kepalanya. Menatap sang sahabat kecil yang masih menatapnya dengan tatapan aneh penuh tanda tanya.     

"Gue udah keliatan baik-baik aja?" ucap si gadis sembari menujuk ke arah wajahnya sendiri.     

"Maksud lo?" Arka mengangkat kedua alisnya. Keningnya samat berkerut sebab kalimat Davira terdengar begitu rancu juga ambigu.     

"Gue mau jenguk wanita sialan. Muka gue udah keliatan sangar?" imbuhnya dengan nada melunak.     

Remaja jangkung di depannya kini terkekeh kecil. Mengacak puncak kepala gadis yang ada di depannya kemudian berdecak ringan. "Mau tau gimana keadaan dan penampilan lo sekarang?"     

Arka kembali memutuskan kalimatnya. Menatap penampilan gadis yang sedikit berbeda sebab memadu madankan celana jeans panjang yang dipadukan baju turtle neck dan dibungkus jaket kulit hitam dengan satu topi berwarna senada yang entah untuk apa gadis itu mengenakannya di dalam area rumah sakit begini.     

"Lo keliatan ... imut," ledek Arka kemudian meraih bahu sahabatnya dan kembali menarik tubuh gadis itu untuk melanjutkan langkah mereka.     

Davira berdecak. Kasar meronta untuk melepaskan tangan Arka yang kasar merangkul lehernya itu.     

"Arka! Sakit bego!" umpatnya dengan nada lantang. Tak peduli beberapa orang asing di sekitarnya menoleh juga menatapnya dengan tatapan aneh sebab ia mengumpat di tempat umum.     

Arka melepas rangkulannya. Menghentikan paksa tawa juga senyum yang ada di atas paras tampannya. "Davira," panggilnya lirih.     

Gadis di sisinya menoleh. Samar mengerang untuk menanggapi panggilan dari sahabatnya itu.     

"Kalau lo ragu, mendingan gak usah datang dan menjenguk. Gak peduli apa kata wanita itu sebab lo gak menjenguk di akhir sisa hidupnya. Dia bukan orang tua kandung lo," tutur remaja jangkung itu mencoba untuk memastikan bahwa sahabatnya itu ... benar baik-baik saja sekarang.     

Davira tersenyum ringan. Mengangguk-anggukkan kepalanya sembari sesekali menundukkan kepalanya untuk menyembunyikan perubahan ekspresi sayu yang tiba-tiba saja terlukis di luar kendalinya.     

"Gue keliatan menyedihkan sekarang?" tanya gadis itu sembari tersenyum kecut.     

Arka menganggukkan kepalanya samar. "Memaksa untuk melakukan hal tak kita sukai itu membuat kita terlihat menyedihkan."     

Davira lagi-lagi hanya tersenyum. Kembali menatap lorong yang ada di depannya. Bungkam dan mengunci rapat bibirnya tak mau lagi menanggapi kalimat yang dilontarkan oleh sahabatnya itu. Sebab semakin banyak ia menyanggah untuk menanggapi, semakin jelas posisinya akan terpojok.     

***LnP***     

Sesaat setelah mendorong pintu dengan satu lubang kecil bersekat kaca di tengahnya itu, Davira hanya diam menatap wanita yang terbaring lemah dengan beberapa selang yang menembus permukaan kulitnya. Entah harus disyukuri gadis itu atau harus menganggap ini adalah salah satu malapetaka besar yang menimpanya, Mira dalam keadaan sadar kali ini. Menatap Davira dengan tatapan sayu penuh makna sembari sesekali memaksakan senyum merekah di atas wajahnya.     

"D--da--davira?" ucapnya lirih dengan nada samar yang tersenggal-senggal. Memanggil nama gadis yang masih diam sembari menatapnya dengan tatapan ambigu. Davira marah? Davira sedih? Gadis itu sedang iba dan bersimpati? Atau tatapan tajam yang sedang ingin menertawakan karma yang datang pada wanita di depannya itu? Entahlah. Bahkan Arka Aditya yang ikut memberi tatapan dan fokusnya untuk Davira pun tak mengerti, apa maksud dari tatapan itu dan apa yang sedang ada dalam pikiran gadis cantik di sisinya itu.     

Iba? Tidak! Sudah dikatakan dengan tegas bahwa Davira tak sebaik itu.     

"Hm. Ini Davira." Gadis itu menjawab dengan nada lirih. Menatap tajam wanita yang terbaring lemah di depannya itu.     

Jikalau ditelisik sebelum gadis itu datang kemari bersama sang sahabat, bisa dikatakan Davira membalas perlakuan yang sama dari sang mama. Gadis itu berdusta. Mengatakan pada sang mama bahwa ia akan pergi bersama sang sahabat hanya untuk sekadar menghabiskan senja dan menyambut datangnya malam dengan duduk di bawah bangunan kafe dan bercengkrama ringan tanpa celah. Bukan datang ke rumah sakit untuk menjengguk wanita sialan yang sudah merenggut kebahagian milik Davira Faranisa.     

Untuk sang papa? Davira tak perlu mengkhawatirkan itu. Sebab kata sang mama, laki-laki tua itu hari ini sedang mengadakan rapat dengan klien barunya guna mengembangakan sayap perusahaan yang sempat patah. Jadi, Davira tak akan bertemu pria dengan pria itu.     

"Gadis kecil yang menangis sembari menarik jas mahal milik papa kala sang papa ingin pergi bersama seorang wanita sialan tak tahu diri."     

Bingo! Tatapan milik Davira barusan itu ... adalah tatapan kebencian bercampur dengan kepuasan melihat musuhnya hancur lembur seperti sekarang ini, dan kalimat yang terucap dari bibir gadis itu barusan adalah perwakilan betapa marah dan kecewanya ia saat ini.     

Arka menunduk. Menatap ujung sepatunya sebab jujur saja, sahabatnya itu terkadang melampaui batasan seorang iblis. Tak bisa memendam amarah dan umpatan gila bersama kalimat-kalimat pedas miliknya meskipun yang dilontari kalimat dan umpatan itu sedang berada dalam masa sulit sekarang ini.     

"Ini Davira, Tante." Gadis itu kini membungkukkan badannya. Mendekatkan wajah cantiknya pada telinga kanan wanita yang kini mulai mengalirkan air mata di kedua sudut matanya. Takut? Tidak! Mira sedang merasa bersalah saat ini.     

"Tuhan tidak mencintaimu. Jadi ... menangislah dan iba pada takdirmu sendiri, Nak." Davira mulai kalimatnya. Tersenyum seringai dibagian akhir kalimat kemudian menarik tubuhnya untuk bisa berdiri dengan benar.     

"Tuhan membencimu," sambungnya kemudian. Membuat wanita yang kini mulai menangis itu menoleh padanya. Juga sang sahabat yang sedikit terkejut dengan kalimat yang dilontarkan oleh Davira. Kalimat itu terdengar begitu menyakitkan jikalau dikatakan dalam keadaan begini.     

"Kamu tidak berhak bahagia jika Tuhan membencimu!" sentak gadis itu meninggikan nada bicaranya. Terdiam sejenak kemudian membuang tatapannya ke arah lain. Davira masih ingat kalimat itu. Kalimat beruntun yang sukses menggores hatinya dan membuatnya menjadi seperti sekarang ini. Berhenti berharap dan berdoa pada Tuhan. Tak ingin berurusan dengan apapun yang berhubungan-Nya semejak satu kalimat masuk ke dalam hidupnya. Bahwa Tuhan ... membencimu!     

"Tante masih ingat itu 'kan?" tanya Davira sembari tersenyum miring. Wanita yang dilontari pertanyaan kini mulai terisak. Menggelengkan kepalanya tak mampu berucap banyak lagi.     

"Tidak?! Tante tak ingat? Bagaimana perempuan sialan seperti Tante melupakannya, huh!!!" Davira kini berteriak lantang. Membuat Arka yang baru sedari tadi hanya diam sembari mencoba menerka keadaan yang ada di sekitarnya itu kini sigap menarik tubuh Davira untuk mencoba menenangkan dan mengontrol emosi gadis itu.     

"Davira, tenangkan diri lo dulu." Arka menyela. Berbisik lirih sembari merangkul tubuh gadis di sisinya itu.     

Bertahun-tahun lamanya ia bersahabat dengan Davira Faranisa, namun ia tak pernah mendengar kata-kata mengerikan itu terselip di antara cerita dan curhana hati seorang Davira Faranisa. Sekarang ia mulai paham, luka macam apa yang membuat sahabatnya itu berlaku demikian.     

Papanya tak benar brengsek juga menyebalkan seperti dalam cerita Davira selama ini. Yang dimaksudkan brengsek dalam ceritanya adalah sebab sang papa lebih memilih wanita jahat ketimbang mempertahankan pernikahan dan rumah tangga bahagaianya bersama sang mama.     

Jadi bisa Arka simpulkan kali ini bahwa yang brengsek bukan papa Davira. Namun keputusan dan takdir yang dipilih oleh pria tua itu dulu.     

"Tante beneran lupa? Ingat-ingat dengan baik! Bagaimana bisa melupakan itu?" ucap Davira memaksa dengan tegas penuh dengan amarah.     

Remaja jangkung di sisinya kini kuat menarik tubuh sahabatnya itu untuk menjauh dan membawanya keluar dari dalam ruangan. Wanita lemah tak berdaya yang ada di depannya mereka kini mulai terisak. Meremas kuat dadanya yang terasa begitu sesak. Gadis kecil yang diintimidasinya waktu itu kala ia memohon pada Mira untuk melepas mengembalikan sang papa padanya, kini sudah tumbuh dewasa. Datang padanya untuk menangih permintaan maaf dan mengembalikan rasa sakit yang ada pada dirinya.     

Mira lemah. Tak hanya raganya yang tak berdaya kali ini, namun juga hatinya. Melihat Davira juga si teman laki-laki pergi tanpa bisa berucap banyak benar-benar membuat Mira menyesali satu hal kali ini. Mengapa dulu ia mengatakannya?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.