LUDUS & PRAGMA

80. Pancarona Rasa



80. Pancarona Rasa

0Arka menatap sayu sahabatnya yang kini menyentralkan fokusnya pada jendela besar yang menampilkan pemandangan luar rumah sakit. Davira kacau! Sebab ia lepas kendali saat ini. Membuat sang sahabat baik tahu, luka macam yang ada di dalam hatinya selama ini. Yang ditahu oleh seorang Arka Aditya pasal masa lalu sahabatnya hanyalah sebatas luka sebab sang papa meninggalkannya. Akan tetapi, ternyata luka itu lebih besar dan lebih parah dari dugaan Arka. Bukan hanya pasal manusia tua yang meninggalkan dan menghancurkan segala harapan bahagia bisa tumbuh menjadi gadis baik berbudi luhur yang tak hanya kaya harta, namun juga kaya akan kasih dan sayang dari kedua orang tuanya. Luka yang dimiliki oleh gadis itu juga pasal sebuah asumsi bahwa Tuhan benar-benar membenci dan mengabaikannya saat itu. Mengabaikan tangisan seorang gadis kecil yang terisak di bawah kaki sang ayah dengan menarik jas mahal yang dikenakan oleh manusia tua itu. Davira tak hanya memohon pada Mira untuk mengembalikan sang papa padanya juga pada sang mama. Menempatkan semuanya pada posisi yang benar seperti sebelum wanita sialan itu datang dan mengacau semuanya, namun Davira juga memohon pada Sang Kuasa agar mengembalikan papa lagi. Naas memang nasibnya, yang mendenar doanya kali itu bukanlah Tuhan melainkan iblis jahat yang dengan teganya mengatakan pada Davira untuk berhenti berharap sebab Tuhan sudah membencinya!     
0

"Lo beneran gak mau pulang sekarang?" Arka menyela keheningan. Duduk di sisi Davira kemudian menyodorkan sekaleng soda yang baru saja dibelinya dengan meninggalkan gadis itu sejenak.     

Davira bungkam. Tak mau mengambil kaleng soda yang disodorkan padanya dan terus menatap ke luar jendela. Suasana malam yang damai! Sedamai hatinya saat ini. Damai? Tentu. Davira sudah bertemu dan melihat wanita sialan itu hidup dengan menahan rasa sakit luar biasa dalam sisa hidupnya. Mendatangi dan melihatnya menangis seperti tadi, sungguh membuat sedikit rasa sakit yang ada di dalam hati gadis itu berkurang.     

"Lo gak mau minumannya?" sambung remaja di sisi Davira kembali meletakkan minuman yang ada di dalam genggamanya.     

"Gue tau lo lagi sedih sekarang ini—"     

"Gue bahagia." Davira menyahut pada akhirnya. Menoleh ke arah Arka yang tiba-tiba saja terdiam sebab jawaban mengejutkan dari sahabatnya itu. Juga sebab senyum yang merekah di atas bibir merah muda gadis di sisinya yang kini sigap mengambil minuman kaleng dalam genggaman Arka dan menyeruputnya kasar.     

"Davira! Itu punya gue!" gerutu remaja itu berusaha untuk mengambil lagi kaleng soda miliknya.     

Davira terkekeh kecil. Kekehan kecil itu kini mulai menjadi sebuah tawa ringan yang menandakan bahwa si gadis benar-benar sedang gila akan kebahagian saat ini.     

"Lo beneran lagi seneng?" timpal Arka menyela tawa dari Davira.     

Gadis itu menganggukkan kepalanya tegas. "Bahagia banget!"     

"Karena apa? Karena baru aja melepas beban yang ada di dalam diri lo? Karena melihat wanita itu terbaring lemah dan tak—"     

"Karena melihatnya menangis dan tak mampu berbuat apapun lagi. Gue menang." Davira kini bangkit dari tempat duduknya. Menatap sejenak Arka Aditya yang masih diam sembari terus mencoba untuk tersenyum menanggapi kelakuan sahabat kecilnya itu.     

"Waktunya pulang dan—"     

"Davira?" Suara seorang gadis kini menyelanya. Membuat tak hanya Davira yang menoleh namun juga Arka Aditya sebab suara gadis yang baru saja menginterupsi keduanya itu benar-benar terdengar asing untuknya.     

"Rena?" tukas Davira sejenak mengerutka keningnya. Menerka gadis yang kini berjalan mendekat ke arahnya sembari melambaikan tangannya ringan.     

"Lo punya kenalan preman?" bisik Arka menyela fokus milik sahabatnya.     

"Dia cewek yang baik," ujarnya memberi sanggahan tegas. Mendorong kasar tubuh jangkung milik Arka yang baru saja ingin menempel padanya sebab remaja itu lagi-lagi ingin membisikkan sesuatu pada Davira.     

"Kamu sakit?" tanya Rena kala ia sudah berada dalam posisi layak untuk berbincang dengan Davira Faranisa.     

"Aku? Aku habis menjenguk orang tadi. Kamu sendiri?" timpal gadis itu mengakhiri kalimat dengan senyum ramah di atas paras cantiknya.     

Rena memamerkan kantong plastik putih yang ada di dalam genggamannya. Tersenyum kaku kemudian sejenak melirik Arka yang masih diam sembari terus mengamati penampilan gadis aneh di depannya itu. Tomboy! Mungkin itu konsep yang diusung oleh Rena dalam berpenampilan. Kaos berkerah O dengan jaket jeans bermodel aneh yang sedikit kedodoran juga celana jeans robek di bagian kedua lututnya yang apik nan cocok dipadukan dengan sepasang sepatu convers imitasi dan dua anting bulat kecil yang menggantung rapi di kedua ujung telinganya. Rambutnya hitam lurus jatuh tepat di bawah telinganya. Tak ada make up yang menghias di atas paras cantik nan polos miliknya. Hanya ada lip balm yang wajar diaplikasikan untuk bibir para gadis seusia dengannya. Ah satu lagi, tas punggung kecil yang sedikit kotor seperti tak pernah dirawat oleh pemiliknya.     

"Aku ada gangguan tidur belakangan ini. Jadi aku meminta obat." Rena menjelaskan dengan singkat. Kembali melirik Arka yang terus saja memusatkan tatapan untuk dirinya.     

"Dia temen kamu?" tanya gadis berambut pendek itu kemudian. Membuat Davira menoleh pada remaja jangkung di sisinya kemudian tegas menyenggol bahu lebar milik Arka.     

"Dia sahabat aku. Namanya Arka," ucap Davira memperkenalkan.     

"Terus Adam? Juga sahabat lo?"     

Arka kini bereaksi kala nama remaja brengsek nan menyebalkan yang sudah menyebabkan wajahnya terluka itu disebut jelas oleh bibir mungil nan tipis berwarna merah muda menyala milik Rena barusan. Sekarang Arka tahu bahwa gadis asing yang bisa dikatakan cantik dengan wajah polos nan natural miliknya itu adalah kenalan dari Adam Liandra Kin. Sebab jikalau ia adalah teman Davira, sudah pasti Arka mengenal dan tak asing dengan wajahnya.     

***LnP***     

Kafe sisi bangunan rumah sakit adalah tempat yang dipilih oleh tiga remaja itu untuk menyertai datangnya malam indah sebab cahaya rembulan tegas datang dengan indahnya. Davira memesan cokelat dingin dengan mengurangi kadar gula dalam minumannya. Sedangkan Arka memesan kopi latte untuk sedikit menghangatkan tubuhnya malam ini. Rena? Bukan Rena namanya kalau tak memilih minuman soda dengan campuran dinginnya es balok untuk menjadi peneman kentang goreng yang dipesannya.     

"Kamu sendirian aja?" tanya Davira membuka percakapan. Menatap gadis yang baru saja ingin menyeruput soda dingin di depannya.     

Rena mengangguk. "Sejauh ini kalian adalah teman makanku," timpalnya dengan nada ringan. Tersenyum kaku kemudian melanjutkan aktivitasnya menyeruput minuman dingin yang ada di depannya.     

Arka kini mulai paham. Sahabatnya itu bukan orang yang mudah bergaul dan berbicara dengan orang asing bahkan hingga sampai duduk dalam satu meja begini. Yang membuat sahabatnya itu begitu muda akrab dengan Rena adalah sebab sikap dan sifat yang ada dalam diri mereka identik.     

"Artinya lo gak punya temen? Atau karena lo adalah anak buangan?" Arka menyahut dengan memusatkan tatapannya pada Rena. Entah mengapa, meskipun ini adalah kali pertamanya ia bertemu gadis tomboy soka asik ini Arka sudah merasa tak enak hati dan cepat-cepat ingin membawa Davira dan dirinya sendiri keluar dari dalam kafe.     

Davira menoleh cepat. Melirik sejenak gadis berambut pendek yang duduk di depannya kemudian tersenyum aneh untuk memberi isyarat pada Arka Aditya bahwa yang diucapkannya barusan itu sudah keterlaluan.     

"Gue yang membuang mereka," tukas gadis itu mempersingkat. Memberi tatapan pada Arka kemudian mengembangkan senyum di atas bibir merah mudanya.     

"Kenapa lo—"     

"Karena mereka menyebalkan. Orang-orang yang mengaku sebagai teman gue itu adalah serigala yang sedang memakai topeng kelinci. Mereka membuatku kesal dan muak. Jadi aku membuangnya sebelum uangku habis karena mereka." Gadis itu menjelaskan dengan tawa ringan di akhir kalimatnya. Mengatakan kalimat demi kalimat dengan nada tenang tanpa merasa berat atau sedih sedikitpun.     

"Kamu punya kakak 'kan? Kak Lita." Davira menyela. Tersenyum manis kemudian meraih tangan gadis di depannya dan menepuk-nepuk punggung tangan Rena dengan lembut.     

"Dia adiknya Kak Lalita?!" pekik Arka sedikit meninggikan nada bicaranya. Menoleh pada Davira yang kini mengangguk samar sembari memberi tatapan aneh pada sahabatnya itu. Sebesar itu 'kah rasa terkejut yang ditunjukkan sahabatnya itu hanya setelah mendengar bahwa Rena adalah adik dari gadis berparas ayu yang menjadi idola para anak-anak basket sebab paras dan fisik yang saling mendukung serta sikap anggun yang melengkapi kesempurnaan dalam diri gadis bernama lengkap Lalita Rahmawati itu?     

"Wah! Kenapa bisa beda banget sama kakaknya." Arka memprotes. Kembali menelisik setiap bagian tubuh gadis tomboy di depannya itu. Benar! Meskipun Rena dan Lita adalah saudara kandung yang hanya selisih umur dua tahun lamanya itu, namun bisa dikatakan bahwa mereka berdua memiliki sifat berlainan bak langit dan bumi. Jika Lita adalah gadis anggun yang feminim, maka Rena adalah gadis tomboy yang hidup secara bebas tanpa mau mematuhi aturan-aturan yang dianggap membebani hidupnya.     

"Meskipun gak ada teman yang bisa mengerti kamu, setidaknya kakak kamu—"     

"Dia lebih menyebalkan dari orang-orang menyebalkan yang ada." Rena kembali menyela kalimat milik Davira. Menatap sejenak gadis di depannya itu kemudian menyeringai samar.     

"Apa yang lo tau tentang Kak Lita?" Rena kini mengubah objek yang menjadi lawan biacaranya. Mengalihkan arah sental retinanya untuk menatap Arka Aditya yang duduk rapi sembari melipat tangannya di atas perut.     

"Berkebalikan dari lo. Anggun, sopan, dan—" Kalimat remaja jangkung itu tersela dengan tawa yang sukses mencuri perhatian seluruh pengujung kafe. Tak hanya mereka yang memberi tatapan penuh tanda tanya pada Rena. Namun juga Davira dan Arka.     

"Itu sebabnya dia menyebalkan. Karena dia terlalu sering menggunakan topeng di wajahnya," kelit gadis berambut pendek itu membiarkan tanda tanya besar kini ada di dalam benak dua lawan bicaranya.     

"Gue yakin lo gak akur sama kakak lo karena lo yang menyebalkan, bukan dia." Arka kembali membuka suara. Mengetuk sisi meja untuk menghentikan tawa aneh gadis di depannya itu.     

Davira bungkam. Terus menatap gadis di depannya sembari sesekali mengerutkan dahinya samar untuk menerka dalam-dalam dengan benar ... luka sebesar apakah yang dimiliki oleh gadis di depannya itu? Sebab yang ia tahu, yang paling banyak tersenyum dan tertawa dialah yang paling banyak menyimpan luka dalam hatinya. Seperti seorang Rena Rahmawati.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.