LUDUS & PRAGMA

81. Biarkan Aku Berjalan Dengan Kakiku Sendiri



81. Biarkan Aku Berjalan Dengan Kakiku Sendiri

0"Baru pulang?" Suara gadis menginterupsi di balik ambang pintu. Menyandarkan tubuh ramping nan tinggi miliknya di sisi tembok sembari melipat tangannya rapi dan memfokuskan tatapannya pada gadis berambut pendek yang baru saja melangkah masuk ke dalam rumah.     
0

Ia menghentikan langkahnya senjenak. Menatap sang kakak semata wayang kemudian kembali tak acuh dan melanjutkan langkah kakinya berjalan menyusuri petak ubin demi ubin untuk sampai ke tangga dasar menuju kamarnya.     

"Aku punya sesuatu buat kamu," Lita —gadis cantik yang kini kembali menyela langkah kaki sang adik— menyodorkan sebuah kertas yang ada di dalam genggamannya sembari melangkah mendekat pada posisi Rena yang baru saja dipaksa untuk kembali menghentikan langkahnya.     

"Hadiah uang untuk membeli villa baru?" Gadis muda itu kini menyela dengan pertanyaannya. Menatap sepasang lensa sang kakak yang tegas tersenyum sembari menggelengkan kepalanya samar.     

"Formulir pendaftaran les privat. Ada les matematika, bahasa inggris, kimia, fisika, dan—"     

"Simpan aja untuk kakak sendiri. Rena gak butuh," ketusnya memotong kalimat sang kakak. Kembali melangkah dan menaiki satu demi satu anak tangga untuk sampai ke kamar pribadinya di lantai atas. Meninggalkan sang kakak yang masih diam sembari terus menatap kepergiaan sang adik.     

Lalita bukannya membenci sang adik dengan terus memperilhatkan sikap dingin dan memberikan kekangan padanya juga terkadang tak acuh akan keberadaan dan apa yang terjadi pada sang adik. Semua sikapnya itu berdasar pada sebuah alasan yang tak banyak orang akan mengerti dan menyetujuinya.     

Tak percaya? Mari kita buktikan.     

Jikalau Lalita mengatakan dengen tegas bahwa sikap buruknya terhadap sang adik itu ia lakukan sebab ia peduli dan menyayangi sang adik, percayakah mereka-mereka yang sudah dan akan mendengar alasan dari gadis cantik dua tahun lebih tua dari Rena Rahmawati itu. Tentu tidak 'kan? Dalam pembelaan atas ketidak percayaan itu akan terbesit sebuah kalimat pertanyaan yang kurang lebihnya terbaca dan terdengar seperti ini. "Bagaimana bisa sikap dingin tak acuh seperti itu masuk dalam kategori bentuk kepedulian suadara pada saudara kandungnya yang lain?     

Rena mendorong kasar pintu kamar pribadinya. Kasar menekan tombol lampu untuk menyalakan sumber penerangan utama ruang berdominasi warna abu-abu dengan beberapa hiasan dinding bergaya retro yang menambah kesan cantik namun sederhana sesuai dengan selera yang diidam-idamkan gadis berkonsep gaya pakaian tomboy dan alakadarnya namun tetap terlihat cantik dengan wajah polos nan natural miliknya itu.     

Sebenarnya sih, Rena itu bukan tipe badgirl yang suka membuat onar di tempat umum. Memaki warga manula yang mengganggu dan menyusahkan dirinya juga bukan gadis yang suka membuli teman sebaya di sekolahnya. Rena juga bukan gadis ugal-ugalan pemimpin geng sekolah yang suka membangkang dan membuat keributan atau pemimpin anggota geng bermotor yang suka ngawur kalau sedang melaju di jalanan sepi Kota Jakarta. Rena itu gadis yang baik. Hanya sikapnya yang suka tak acuh sebab tingkat kepedulian yang ada dalam dirinya itu tipis hampir tak ada. Ia adalah gadis berjiwa bebas yang tak pernah benar dibiarkan bebas oleh keluarganya. Itu sebabnya ia membangkang. Dalam prinsip pendirian gadis itu menjalani hidup, Rena adalah manusia biasa. Lebih tepatnya seorang remaja yang masih berada dalam masa peralihan. Ia bukan burung peliharaan yang bisa dikurung di dalam sangkar sempit oleh pemiliknya. Namun, ia adalah burung elang yang berhak tebang mengudara dan mencari mangsa untuk makanannya sendiri. Menentukan jalur terbang juga menentukan bagaimana cara ia hidup dengan caranya sendiri.     

"Harusnya mandi bukan rebahan dengan badan kotor penuh keringat." Lalita kembali menyela. Masuk ke dalam ruang kamar sang adik yang kini mulai bangkit sebab merasa terganggu oleh gadis menyebalkan yang tinggal bersamanya itu.     

"Ambilah. Isi sesuai keinginan kami. Kalau mama dan papa—"     

"Rena gak mau ikut les privat. Itu akan melelahkan." Gadis itu kembali menyela dengan nada ketus. Kemudian bangkit dari posisinya dan berjalan gontai ke arah lemari besar tempat semua bajunya disimpan.     

"Kenapa gak kakak aja yang ikut. Itu akan membuat mama dan papa tambah menyukai kakak," sambung gadis yang kini menarik satu kaos tipis dengan celana panjang kain untuk ia kenakan selepas membasuh diri nanti.     

Lalita diam sejenak. Menyeringai samar kemudian menaikkan kakinya dan menyilangkannya rapi. Meletakkan formulir pendaftaran yang ada di dalam.genggamannya kemudian kembali menatap sang adik yang kini meraih handuk dan berjalan menuju ke kamar mandi di sudut ruang kamar.     

"Kenapa kamu selalu ngomong kayak gitu. Mama dan papa itu—"     

"Menyebalkan!" Rena lagi-lagi menyela kalimat sang kakak. Tersenyum aneh kemudian melepas kaos kaki yang masih rapi membalut jari jemari kakinya.     

"Kamu bilang mama dan papa menyebalkan?" Lalita kembali mengulang apa yang dikatakan sang adik untuk memastikan bahwa apa yang baru saja masuk ke dalam lubang telinganya itu tak salah ia dengar.     

"Kakak. Kakak yang menyebalkan," ucap gadis berambut pendek itu melempar kaos kaki miliknya asal.     

"Kenapa kakak selalu memamerkan bahwa kakak adalah anak kesayangan papa dan mama? Bahkan untuk memberikan formulir itu, mereka menitipkannya sama kakak bukan kasih langsung ke—"     

"Kakak yang mengambilnya. Papa dan mama masih dinas di luar kota." Lagi-lagi Lalita menyela kalimat berisi keegoisan sang adik yang terus saja mengeluh pasal ketidak adilan yang dirasakannya selama hidup sebagai putri termuda keluar Rahman.     

"Juga jangan bodoh," sambung Lalita dengan nada ketus. Menatap sang adik yang kini menghentikan segala aktivitasnya untuk masuk ke dalam kamar mandi. Menoleh ke arah sang kakak yang baru saja mengatakan hal tak terduga untuknya.     

"Jika ingin papa dan mama melihat ke arahmu, jadilah orang pintar dan belajarlah. Ikut les privat dan ubah caramu menyikapi kehidupan, Rena!" sentak gadis berambut panjang sedikit bergelombang yang selalu ia urai menutupi punggungnya itu teruntuk gadis yang lebih muda darinya.     

Ia menghela napasnya kasar. Sejenak hening terbentang baik Rena maupun Lalita hanya diam setelah kalimat bernada tinggi milik Lalita mengakhiri segala kalimat menyebalkan milik adiknya.     

"Jika ingin papa dan mama percaya dan memberi kebebasan padamu, jadilah gadis pintar dan naikkan nilaimu. Minimal naikkan rangkingmu di lima puluh besar peringkat sekolah. Pakailah baju yang layak karena kamu adalah anak—"     

"Anak Pak Reino Rahman Sanjaya? Ah, aku muak mendengarnya." Rena kini menyela. Berjalan mendekat ke arah sang kaka, bukan! Ia bukan berjalan untuk mendekat dan menghampiri sang kakak, namun berjalan ke arah ambang pintu kamarnya yang sedikit terbuka sebab orang yang terakhir kali menerobos masuk tanpa perijinan darinya itu tak menutup kembali pintunya dengan benar.     

"Keluar," lirih Rena sembari mendorong kasar pintu kayu agar terbuka lebar. Sarkas! Memang itulah kelakuan dan sikap Rena jikalau sang kakak sudah mulai membangkan kekayaan dan pangkat yang dipunyai sang ayah.     

Jujur saja Rena tak butuh semua itu! Bahkan jikalau ayahnya yang membangun negara dan mendirikan ribuan gedung bertingkat dengan mewah dan megah menjulang tinggi untuk menggapai luasnya bentangan cakrawala, tiada gunanya jikalau ia hanya manusia tua yang gila kerja dengan membeda-bedakan kasih sayang teruntuk mana anak yang pandai dengan anak yang bodoh tanpa bakat dan minat seperti Rena Rahmawati.     

"Padahal mereka hanya ingin yang terbaik untuk kamu. Namun kamu terlalu muda untuk menjadi orang dewasa saat ini," tutur Lalita kembali meraih formulir yang baru saja ia letakkan di atas meja.     

"Kakak yang akan isi ini. Mama dan papa meminta untuk mengirimkan foto formulirnya. Jadi, terima aja apa yang ada di dalamnya nanti." Lalita kini bangkit dari tempat duduknya. Berjalan ke arah ambang pintu untuk menuruti permintaan sang adik. Keluar sekarang juga dari kamarnya!     

"Kakak sungguh pengen bikin bangga mama dan papa?" Rena kembali menyela. Menghentikan langkah sang kakak yang baru saja ingin berjalan menuruni anak tangga untuk sampai ke lantai dasar.     

Lalita menoleh. Sejenak lensa mereka bertemu dalam satu titik. Tak ada perubahan ekspresi di atas wajah cantiknya. Gadis yang begitu cantik dan anggun dengan cara berpakaian bak seorang putri anak dari petinggi negara itu hanya mengerang ringan untuk menjawab pertanyaan sang adik.     

"Untuk apa?" sambung sang adik mencoba untuk memulai mengintrogasi sang kakak. Jujur saja, selama hidup menyebalkannya sebagai seorang Rena Rahmawati itu, ia tak pernah sekalipun melontarkan pertanyaan seperti pada sang kakak.     

"Karena aku masih membutuhkannya. Membutuhkan mereka," jawab Lalita dengan melirih.     

Rena tertawa ringan. Sejenak menunduk untuk menyembunyikan wajah konyol yang ada di atas paras cantiknya saat ini. Kemudian mendongak untuk kembali menatap sang kakak yang masih diam meskipun sang adik sedang tertawa lepas saat ini.     

Jawaban Lalita baru saja itu lucu? Bagi Rena, Iya!     

"Membutuhkan orang seperti mereka?" tanyannya dengan nada meledek. Membuat perubahan eskspresi di atas wajah sang kakak. Meskipun begitu, Lalita paham seberapa besar 'kah Rena membenci kedua orang tuanya saat ini. Sebesar gunung yang menjulang tinggi? Seluas samudera yang membelah benua? Lebih! Lebih dari itu semua.     

"Kakak tau apa yang selalu ingin kukatakan untuk orang seperti mereka?"     

Lalita diam bungkam tak bersuara apapun. Menunggu sang adik untuk melanjutkan kalimatnya setelah gadis muda itu menyelesaikan tawa ringan yang diciptakannya barusan.     

"Jika tak mampu memberi dukungan, setidaknya jangan mengganggu dan menyusahkan. Kalian adalah manusia tua yang aneh dan menyebalkan." Rena kini menghentikan kalimatnya sejenak. Menatap tajam sang kakak yang masih bungkam enggan bersuara apapun untuk menanggapi kekonyolan sang adik.     

"Itu yang ingin aku sampaikan. Kakak bisa mewakilinya jika mau," ucap gadis itu sembari tersenyum kaku yang terkesan amat sangat dipaksakan.     

"Malam," pungkas gadis itu menutup kalimatnya dengan senyum seringai kemudian kasar menutup pintu hingga menimbulkam bunyi dentuman yang memekak di telinga Lalita.     

Tak marah? Tentunya ia akan marah jikalau berpoisi menjadi sang papa juga sang mama setelah mendengar kalimat yang diucapkan oleh Rena barusan. Sayangnya, ia bukan manusia tua yang dimaksudkan oleh adiknya tadi.     

... To be Continued ....     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.