LUDUS & PRAGMA

82. Saujana



82. Saujana

Akhir pekan adalah waktu yang sempurna untuk memulai hari dengan udara segar yang ada di khawasan taman kota tempat orang-orang umumnya menyambut datangnya cahaya sang surya dengan melakukan olahraga kecil juga hanya sekadar berjalanan-jalan merileksasikan otot selepas satu minggu penuh memenuhi kewajiaban mereka sebagai seorang ayah, ibu, pekerja keras, atau bahkan seorang pelajar bijak yang sudah bersusah payah untuk menimba ilmu guna membangun dan menghadapi keras juga mengerikannya apa itu masa depan. Di tempat dengan satu pohon besar sebagai payung peneduh juga satu bangku panjang yang menjadi tumpuan untuk menyangga tubuh mereka itulah Davira juga Arka Aditya berada. Menghabiskan pagi buta dan menyambut hangatnya sinar mentari bersama mulai ramainya tempat yang didatangi mereka beberapa waktu lalu itu dengan sebuah dikusi ringan tanpa banyak jeda juga tanpa celah yang berarti.     

Arka hanya sesekali tertawa ringan kala gadis di sisinya itu dengan antusias dan semangat tinggi menceritakan sebuah kisah manis berbalut komedi yang sumpah demi apapun membuat Arka sedikit lega bahwa Davira hari ini ... terlihat lebih bersinar dan ceria jika dibandingkan dengan hari-hari sebelumnya. Seperti seakan semua masalah telah menguap habis dan hilang tak berbekas hanya dalam satu malam saja.     

Setelah pertemuan dan perbincangan mereka dengan Rena, gadis itu memutuskan untuk berpisah dengan Rena setelah menghantar teman barunya itu ke halte bus sisi bangunan rumah sakit. Dengan janji temu yang menyertai di akhir lambaian dan senyuman manis di antara kedua gadis sepantaran usia dengannya itu. Selepas semuanya berakhir dengan manis tak ada masalah yang menghadang lagi, Arka menghantar gadis itu pulang ke rumahnya. Tak ada kabar dari gadis itu setelahnya. Dalam tebakan Arka, Davira pasti langsung menuju kamar dan melepas penat dengan memaksa sepasang mata bulatnya untuk terpejam rapat dan menyudahi hari berat yang ia lalui.     

Paginya gadis itu memberikan kabar bahwa ia berada di taman kota sendirian. Katanya dalam pembelaan, tubuh mungilnya bergerak dan berjalan dengan sendirinya tanpa bisa ia kontrol. Jadi, datangnya ke tempat ini bukanlah hal yang direncakan oleh keduanya sebelum ini.     

"Mama lo gimana?" Arka menyela kala gadis di sisinya itu menyelesaikan cerita panjangnya dan berakhir pada sebuah kekehan kecil nan ringan.     

"Maksud lo gimana?" Davira menimpali kala tawa yang diciptakannya baru saja dipaksa untuk segera dihentikan sebab bagi Arka, cukup sudah berceritanya. Kini waktu yang tepat untuk membahas apa yang tak diketahui oleh Arka Aditya tentang sahabatnya itu baru-baru ini. Apapun! Davira harus menceritakan apapun yang dilakukannya tanpa sepengetahuan Arka bahkan itu tentang Adam sekalipun.     

"Mama lo gak cerita apapun lagi tentang pa—"     

"Mama mengakhiri ceritanya dengan mengatakan bahwa Alia dan adiknya akan diadopsi oleh pamannya bulan depan. Katanya papa Alia akan berpindah tugas ke Singapura selama dua tahun paling cepat. Selepas bangkrut, ia harus memulai karirnya dari nol lagi. Singapura adalah tempat yang tepat. Sebab dulu papa—" Davira menghentikan kalimatnya sejenak kala remaja yang ada di sisinya itu hanya diam bungkam sembari terus memberi tatapan pada gadis cantik yang lancar dalam menceritakan segala hal yang ada di dalam otaknya.     

"Kenapa liat gue begitu?" protes Davira sejenak menyela kalimatnya sendiri.     

Arka tersenyum ringan. "Alia dan adiknya adalah keluarga lo juga," tutur remaja di sisi nya itu sembari mengusap puncak kepala gadis yang kini bungkam mengunci rapat bibirnya.     

"Lo gak mau jengguk mereka?" sambung remaja itu meneruskan kalimatnya. Tersenyum kecut pada gadis yang kini sigap menoleh untuk membuang tatapannya agar tak lagi menatap sahabat sialannya itu.     

Bukankah Davira sudah baik dengan menjenguk Tante Mira kemarin?     

"Gue udah jenguk wanita si—"     

"Lo sendiri yang pernah bilang ke gue 'kan? Jangan membenci anak serigala hanya sebab induknya mencuri dan memakan kucing peliharaanmu." Arka kini mulai menarik dagu gadis di sisinya itu. Membuatnya mau tak mau harus menoleh untuk bisa kembali mengarahkan sorot lensa pekat nan teduhnya pada Arka Aditya.     

"Jadi ayo jenguk mereka sebelum mereka dibawa pamannya pergi jauh dari—"     

"Ah! Lo jadi banyak minta kayak ibu-ibu hamil!" decak Davira dibagian akhir kalimatnya. Sigap bangkit dari posisi duduknya dan sejenak melirik remaja jangkung yang kini mendongakkan kepalanya guna menatap perubahan ekspresi wajah gadis di sisinya itu.     

"Lo gak mau?" lirih remaja itu bertanya.     

Davira bungkam sejenak. Menghela kasar napasnya kemudian. Sungguh menyebalkan sahabatnya satu ini! Selalu saja sukses membuat Davira bimbang seperti ini.     

"Terserah lo aja deh. Gue laper," tukas gadis itu memutar tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan Arka Aditya di sana.     

Senyum mengembang jelas di atas paras tampan remaja jangkung itu sebab perlakuan menggemaskan dari seorang Davira Faranisa. Arka hapal benar bagaimana perbedaan Davira kala menolak sebab ia tak suka dan tak ingin melakukannya dengan Davira yang menolak sebab ia malu untuk mengakui bahwa yang dikatakan dan disarankan oleh sahabat baiknya itu benar dan memang harus dilakukan.     

--dan saat ini ia sedang melihat kategori penolakan dari seorang Davira Faranisa yang terakhir.     

***LnP***     

Pemandangan yang sedikit langka jikalau kalian melihat Adam Liandra Kin berjalan beriringan dengan Kayla Jovanka dengan tema pakaian olahraga yang membalut rapi tubuh mereka berdua, namun kali ini mereka melakukannya. Pemandangan langkah itulah yang dimaksud di sini. Baik Adam maupun Kayla hanya diam dan terus melangkah ke depan sembari sesekali menengok ke kanan dan kiri untuk melihat dan memeriksa jajanan yang mungkin saja bisa masuk dan menggugah seleranya setelah lelah berolahraga mengeluarkan keringat mereka.     

Bukan sebuah pertemuan tiba-tiba bak dua sejoli yang sudah ditakdirkan untuk terus bertemu dan akan selalu bersama dalam duka juga suka dalam menjalani beratnya kehidupan di masa remaja, namun datang dan adanya Adam juga Kayla sebab remaja jangkung berparas tampan mendapat satu pesan singkat yang masuk ke dalam ponselnya kemarin malam. Dalam pesan singkat memberikan sebuah ajakan pada Adam untuk memulai hari esok dengan sedikit gerakan dan berlari kecil menyusuri jalanan di taman pusat kota tempat bazar pagi akhir pekan di buka. Tanpa banyak alasan penolakan dan ribuan pertanyaan yang menghujani, Adam menyetujuinya. Toh juga, weekend ini ia belum benar memikirkan mau menghabiskan waktunya dengan cara apa dan bagaimana?     

Bersama Davira? Mungkin malam minggu adalah waktu yang tepat datang dan menyambangi rumah gadis yang dimaksud dan dengan sifat jantannya bertemu sang ibunda gadis itu untuk meminta perijinan perihal maksud dan tujuannya datang adalah untuk menjemput sang putri dan membawanya keliling kota menghabiskan malam layaknya dua remaja yang sedang dimabuk cinta. Meskipun siapapun akan tahu, bahwa hanya Adamlah yang sedang dimabuk cinta saat ini.     

"Gue mau bilang sesuatu," sela Kayla menoleh pada remaja di sisinya. Menghentikan langkah kakinya kemudian menarik pergelangan tangan Adam agar ikut melakukan hal yang sama.     

"Soal taruhan anak basket," sambungnya menghentikan sejenak kalimat yang diucapnya. Memusatkan retina matanya untuk menatap sepasang lensa identik dengannya itu.     

"Lo minta Davira sebagai bahan taruhan untuk nonton konser. Kenapa harus—"     

"Karena gue gak bisa milih lo," tukas remaja jangkung ber-hoodie abu-abu itu dengan nada tegas. Sejenak membungkam gadis yang ada di depannya itu.     

"Sebagai kapten, gue harus membuat tim bekerja dengan adil. Bahkan untuk taruhan sekalipun." Adam kini beralasan dengan baik. Entah sejak kapan alasan itu ia siapkan kalau-kalau Kayla tahu perihal taruhan yang hanya tinggal bersisa waktu kurang lebihnya satu minggu berjalan ini.     

"Candra yang ngasih tau?" tanya Adam dengan nada lembut.     

Kayla menganggukkan kepalanya. "Dia hanya bilang sebatas lo milih si sial—maksud gue Davira. Dia gak bilang alasannya."     

Adam kini tertawa ringan. "Dan lo percaya gitu aja sama dia? Berapa kali lo dibohongi sama dia coba?" protes Adam dengan nada meledek. Mencubit kasar pipi tirus gadis yang berdiri di depannya itu.     

Kayla bungkam sejenak. Menaikkan dua sisi bahunya sembari melipat bibirnya ke dalam. Meskipun sejauh ini Adam selalu sukses menenangkan dirinya dari segala kekhawatiran yang ada, namun perasaan yang sekarang ia rasakan terkait taruhan itu sedikit lain. Bahkan jawaban tegas dari Adam barusan tak mengurangi rasa khawatir dalam dirinya.     

"Bagaimana kalau lo beneran suka sama dia?" Bodoh! Harusnya Kayla tahu bahwa tanpa ia menanyakan hal itu pada Adam, sudah sangat jelas bahwa Adam pasti menyukai Davira sekarang ini.     

"Gue akan—"     

Tinnn!!! Nyaring suara motor kini menyela obrolan mereka. Membuat Kayla yang berdiri di sisi jalan sedikit menengah itu terkejut. Sigap tangan panjang berotot pepak milik Adam menarik tubuh gadis itu dan membuatnya jatuh di dalam pelukan hangat miliknya. Membenamkan wajah gadis itu di atas dada bidangnya sembari sesekali mengusap punggungnya. Bukan hanya Kayla maupun Adam yang sedang terkejut bukan main saat ini, namun juga semua orang baru saja hampir melihat darah seorang gadis muda berwajah oriental pagi ini.     

"Hei! Ini untuk pejalan kaki!" teriak Adam lantang. Meneriaki si pengguna motor yang sudah mulai menjauh dari hadapannya. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah yang berlawanan untuk melihat kondisi yang mungkin saja bisa terulang lagi. Sebab dari itu sebelum ia melepas pelukannya untuk Kayla, ia harus memastikan tak ada kendaraan bermotor yang akan menyusul pengendara sialan barusan itu.     

Naas dan malang memang nasib yang datang padanya pagi ini. Dalam posisi yang sedikit jauh, namun cukup untuk bisa mengatakan dengan tegas bahwa gadis yang berdiri di sela-sela kerumunan sembari menatap tegas ke arahnya yang sedang memberi pelukan pada Kayla Jovanka adalah Davira Faranisa dengan ditemani si sahabat sialan yang berdiri di sisi gadis itu dengan arah pandangan yang sama. Menatap Adam Lindra Kin.     

Sigap ia melepas pelukannya. Mencoba untuk mengatakan sesuatu, namun ia sadar dengan jarak dan kondisi seperti ini percuma saja ia berkata untuk menjelaskan situasi dan kondisi serta alasannya memeluk Kayla Jovanka di tempat umum begini. Jadi Adam memutuskan untuk membiarkan gadis itu pergi.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.