LUDUS & PRAGMA

84. Jangan Hancurkan Harapakanku!



84. Jangan Hancurkan Harapakanku!

0"Kalau kamu gak cemburu, buktikan."     
0

"Dengan cara?"     

"Ikut aku. Aku ingin ngomong sesuatu," tukasnya menutup kalimat.     

Tak ada penolakan banyak nan berarti dari gadis cantik yang kini hanya bisa menurut dan mengikuti semua apa kata remaja jangkung yang menjadi navigasi tujuannya yang jujur saja, Davira tak tahu mau diajak dan dibawa ke mana dirinya saat ini?     

Bukan tanpa dasar alasan yang kuat gadis itu mau menerima uluran tangan Adam Liandra Kin yang menyodorinya helm untuk ikut bersamanya. Davira menurut dan naik ke atas moge remaja itu sebab satu alasan jelas yang harus ia buktikan kebenarannya. Bahwa Davira tak pernah meletakkan sedikitpun kata cemburu dalam kamus hidupnya untuk seorang remaja lawan jenis. Apalagi untuk orang macam Adam Liandra Kin. Gadis itu tak hanya ingin membuktikan dengan kukuh perihal sanggahannya itu pada Adam, melainkan juga pada dirinya sendiri.     

Sedang laju moge itu membelah padatnya jalanan Kota Jakarta. Menerjang sengatan sang surya yang akan terasa membakar jikalau mereka berhenti di lampu merah perempatan atau pertigaan jalan. Tak banyak yang diucapkan oleh Davira maupun Adam Laindra Kin kali ini. Gadis itu hanya sesekali bertanya pada Adam, mau dibawa ke mana ia sekarang ini? Namun, seakan semua orang yang sedang memakai helm di kepalanya itu menjadi orang tuli nan bisu yang tak pandai mengubris kalimat dari lawan bicaranya, Adam hanya diam. Sesekali menoleh ke samping untuk memastikan bahwa Davira baik-baik saja di belakangnya.     

Hampir satu putaran penuh jarum jam, akhirnya moge itu masuk ke dalam sebuah jalan tak terlalu lebar ukuran luasnya juga tak terlalu ramai kondisi dan siatuasinya. Hanya ada beberapa pejalan kaki yang menyusuri jalanan di sisi kanan. Juga ada beberapa orang baik yang mencintai lingkungan berudara bersih dengan berpergian menggunakan sepadanya. Tak luput, pengendara motor juga ikut ambil bagian di jalannan ini. Tak banyak, hanya beberapa yang lalu lalang di khawasan ini.     

Semakin motor gede milik Adam masuk ke dalam khawasan, Davira semakin ingat bahwa ia pernah datang ke tempat ini sebelumnya. Lebih tepatnya, dua hari yang lalu. Saat ia ingin mengembalikan jaket dan hari di mana gadis itu bertemu dengan Rena Rahmawati. Khawasan elit perumahan tempat Adam Liandra Kin tinggal.     

Jujur saja, meskipun ia pernah datang ke tempat ini namun Davira tak tahu di mana dan bagaimana rupa rumah seorang Adam Laindra Kin.     

Gang terakhir. Sebelum akhirnya Adam menghentikan mogenya di depan gerbang besar yang telihat kokoh dan ketat akan penjagaan. Tidak, Davira salah. Hanya ada satu CCTV di depan pintu rumah. Itulah sebabnya, Adam dengan santainya memarkirkan moge mahal miliknya di sini.     

Davira turun dari moge dengan hati-hati. Melepas helm yang ia kenakan kemudian sigap merapikan ramput pekat miliknya yang sedikit berantakan sebab tertarik oleh helm yang dikenakannya barusan. Kemudian memusatkan fokusnya mengarah pada remaja jangkung yang baru saja melakukan aktivitas yang sama dengannya.     

Keduanya kini saling tatap. Sejenak Adam melempar senyum manis pada gadis yang kini mulai memberi tatapan tajam menelisik untuk menatap seluruh bagian rumah mewah Adam Laindra Kin dari luar.     

"Ayo masuk," ajaknya dengan nada lirih. Meraih pergelangan tangan gadis di sisinya itu kemudian menarik tubuhnya untuk membawa Davira masuk ke dalam rumahnya.     

"Kenapa ke rumah kamu?" Gadis itu menyela. Menghentikan langkah kakinya kemudian tegas memberi tatapannya pada Adam.     

"Karena mama pengen ketemu kamu," tukas remaja itu dengan nada santai.     

Adam melanjutkan langkahnya. Mendorong gerbang hitam besar di depannya kemudian melangkahkan kakinya masuk ke dalam. Davira kini diam sembari mengekori. Gila! Sejak kapan ia seberani ini untuk bertemu dengan mamanya Adam?     

"Kenapa kamu gak bilang kalau mau ajak aku ke sini. Kalau gitu 'kan aku bisa bawa makanan atau buah tangan. Kalau begini—"     

"Kamu udah bawa apel." Adam menyela. Melirik tas kecil berisi kotak makan dengan potongan apel merah nan segar di dalamnya kemudian menyodorkannya pada sang gadis.     

"Kasih itu ke mama. Mama bukan orang yang mengharapkan kado bagus dari tamunya." Remaja itu kini terkekeh kecil. Melanjutkan langkahnya dengan sedikit menambah laju kemudian masuk mendorong pintu kayu di depannya.     

"Mama Adam pulang!" Lantang suaranya menginterupsi. Membuat wanita tua yang tadinya fokus dengan majalah yang dibacanya itu kini menoleh. Mendongak kemudian menatap dua remaja yang baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah.     

Ada Adam, si putra tertua yang membuat wanita itu mengembangkan senyum manis untuk menyambut kedatangannya.     

--dan gadis di sisinya itu ... Ah! Dia datang. Gadis idamanan sang putra yang terus saja diceritakan baiknya pada sang mama oleh Adam. Siapa namanya? Iya benar, Davira Faranisa.     

"Selamat siang tante. Ini Dav—"     

"Davira Faranisa. Anak kelas IPA-2 nomor absen 10. Tak suka pelajaran berhitung dan menyukai hal-hal yang berbau ketenangan. Suka mengumpat pada Adam karena dia sedikit brengsek? Itu masuk akal. Salam kenal, sayang." Mama Adam menyela. Membuat gadis yang kini berdiri di depannya itu kini nyata membulatkan sempurna sepasang mata indahnya.     

Adam menceritakan semua itu pada mamanya? Bahkan perihal Davira yang suka memberi umpatan padanya? Ah, lancang sekali.     

"Ah, Davira bawa sesuatu untuk tante," papar gadis itu sembari menyorokan tas kecil yang ada di dalam genggamannya.     

"Mama yang buat. Katanya dapat salam dari mama," ucapnya melanjutkan.     

Wanita di depannya itu hanya tersenyum manis.Menganggukkan kepalanya mengerti kemudian tegas memberi tatapan pada gadis yang ada di depannya.     

"Cantik." Singkat, namun cukup untuk membuat Adam juga Davira saling pandang satu sama lain.     

"Maksud mama, dia lebih cantik dari gadis yang kamu bawa kemarin di—"     

"Namanya Kayla, Tan." Davira menyela. Tersenyum aneh kemudian melirik Adam yang hanya diam mengunci rapat bibirnya.     

"Kalian pacaran aja. Mama setuju."     

"Huh?" Davira membulatkan matanya. Sejenak diam sebab baru kali ini ia bertemu dengan wanita dewasa yang suka 'ceplas ceplos' dalam berkata. Sedikit mengejutkan memang. Namun, Davira paham. Sikap Adam yang suka berkata jujur dengan nada enteng nan santai seakan tak pernah berbuat dosa dan kesalahan itu, ia dapat dari sang mama rupanya.     

***LnP***     

Taman kecil yang sengaja di bangun di belakang rumah mewah berdominasi cat putih dan abu-abu itulah yang menjadi tujuan akhir Adam menunjukkan seisi rumahnya pada gadis yang hanya diam mengikuti sembari mendengarkan semua cerita dari seorang Adam Liandra Kin.     

Dengan dua gelas jus jeruk dan sepiring camilan ala kadarnya yang ada di dalam almari penyimpanan, dua remaja sepantaran usia itu menikmati udara yang berembus dengan sebuah diskusi ringan tanpa jeda yang berarti. Adam terus menceritakan apa-apa saja yang menjadi hal baik patut dikenang dalam keluarganya. Sedangkan Davira hanya sesekali tersenyum juga menganggukkan kepalanya kala mendengar setiap kalimat terlontar dari celah bibir seorang Adam Liandra Kin.     

"Adam," sela Davira menghentikan kalimat Adam.     

Remaja di sisinya terdiam sejenak. Menaikkan sepasang alis garis miliknya kemudian memberi tatapan penuh tanda tanya pada Davira.     

"Katanya kamu tadi mau ngomong sesuatu 'kan? Jujur aja, aku ke sini sebab mau ngomong sesuatu juga." Davira menyela dengan kalimat yang sedikit panjang. Membuat perubahan ekspresi di atas paras tampan milik Adam Liandra Kin.     

"Ngomong aja. Kamu duluan," kata Adam memerintah dengan lembut.     

Davira menganggukkan kepalanya. "Aku tau ini adalah sebuah kelancangan. Tapi ... bukankah kamu terlalu mengada-ada?"     

Ambigu! Sangat ambigu. Kalimat yang baru saja diucap oleh Davira itu benar-benar terkesan ambigu dan main hakim sendiri. Dari sekian banyak cerita Adam teruntuk menghibur dan mengakrabkan suasanan dengan gadis cantik di sisinya itu, tak ada satupun kebohongan atau fakta yang dilebih-lebihkan olehnya. Jadi, di mana letak 'terlalu mengada-ada' yang diucapkan oleh Davira barusan itu?     

"Apa maksud kamu dengan bilang—"     

"Kehidupan kamu. Maksud aku, segala yang kamu lakukan bersama gadis-gadis itu. Bukankah itu terlalu mengada-ada?"     

Adam bungkam sejenak. Menatap Davira yang baru saja mengubah kesan tatapannya untuk memberi isyarat pada Adam, bahwa Davira sedang tak enak hatinya saat ini. Semua kalimat lelucon dan canda tawa yang dilontarkan Adam barusan, ternyata tak ubahnya bak memberi gula di atas permukaan samudera lepas. Sia-sia saja!     

"Apa yang kamu maksud dengan kata mengada-ada?" tanya Adam melirih.     

"Kamu benar bahagia dengan cara seperti itu?     

Davira menghentikan kalimatnya sejenak. Mengulum kasar salivanya kemudian menghela napasnya berat. "Kamu punya alasan yang masuk akal selain 'bermain adalah hal yang menyenangkan' ?" tutur gadis itu kini menyatukan alis melengkung bulan sabit miliknya itu.     

Adam bungkam sejenak. Merubah sesaat sental retina miliknya kemudian mengangguk samar. Kembali menatap Davira yang hanya diam setelah menyelesaikan kalimatnya.     

"Aku harus menjawab apa memangnya? Jawaban apa yang bisa bikin kamu lega sekarang ini?" Adam berkelit. Sedikit mengubah arah duduknya untuk bisa duduk berhadapan dengan Davira Faranisa.     

"Apapun. Jawaban itu akan menentukan kalimat dari aku selanjutnya."     

Adam diam. Tak mengerti? Sedikit. Sebab kalimat yang dilontarkan Davira barusan sedikit berkelit dan berbasi-basi.     

"Fakta bahwa aku sedang memikirkan tentang kita. Akankah aku menjadikan kamu sebagai orang kedua setelah Arka. Itu yang aku maksud."     

"Kenapa kamu menanyakan itu?" Adam kini ikut berkelit. Tak mau lanjung menjawab dan mengikuti alur permainan kata yang dilakukan oleh gadis di depannya itu.     

Davira diam sejenak. Kemudian menunduk dan menarik napasnya dalam-dalam lalu membuangnya kasar. "Sebab aku sudah muak. Kamu terlalu mengada-ada."     

Remaja jangkung di sisinya tersenyum tipis. "Mendekati gadis-gadis dan bermain bersamanya, aku tak pernah bisa bahagia karena itu. Sejujurnya, aku terbebani."     

Davira menatap sepasang lensa di depannya. Berbohong? Sepertinya tidak.     

"Kamu yang selalu menyebut semua laki-laki itu brengsek dan punya alasan karena itu, sama seperti itu aku juga mempunyai alasan yang sama." Adam memungkaskan kalimatnya dengan melirihkan nada bicaranya dan tersenyum simpul.     

"Ayo kita akhiri ini semua." Davira menyela dengan tegas.     

"Semua tentang kita. Tentang Adam dan Davira." ucap gadis itu melirih.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.