LUDUS & PRAGMA

85. Sebuah Kata Untuk Memulai Kisah Indah Bersamanya.



85. Sebuah Kata Untuk Memulai Kisah Indah Bersamanya.

"Ayo kita akhiri ini semua." Davira menyela dengan tegas.     

"Semua tentang kita. Tentang Adam dan Davira." ucap gadis itu melirih.     

Adam diam. Memberi tatapan sendu pada gadis yang kini sejenak menghentikan kalimatnya. Sungguh meskipun rangkaian kata yang diucap oleh gadis cantik di sisinya barusan itu terdengar singkat nan jelas yang diucap dengan nada tegas tiada ragu juga kesalahan sedikit pun, namun cukup untuk membuat detak jantung Adam sejenak berhenti. Dadanya sesak dan hatinya kalut. Penolakan kedua tak akan membuat Adam berhenti 'kan? Entahlah. Sebuah rasa yang dimiliki oleh seorang manusia itu juga mempunyai batas dan tanggal kadaluarsanya.     

"Aku tahu kamu gak akan—"     

"Awalnya aku ingin berkata itu. Mengakhiri semua kekonyolan dan permainan bocah seperti ini. Menyukai seseorang ... aku gak pernah melakukan hal itu. Terlalu rumit dan menyusahkan." Davira menyela kalimat Adam. Menoleh pada remaja di sisinya kemudian tersenyum aneh.     

Remaja jangkung di sisinya kembali diam. Entah apa yang sedang ingin disampaikan oleh gadis pujaannya, bagi Adam itu terlalu berbasa-basi dan ambigu.     

"Tapi setelah mendengar jawaban kamu, aku mengurungkan niatku. Tak jadi memilih kalimat itu untuk mengakhiri obrolan kita kali ini," tukas gadis itu lagi-lagi mengembangkan senyum simpul di atas paras cantiknya.     

"Jadi? Apa yang mau kamu katakan sekarang?"     

"Tunggulah, aku pasti akan cepat memutuskan semuanya." Davira menutup kalimatnya. Saling tatap dalam diam sejenak terjadi di antara keduanya. Baik Adam maupun Davira kini tak berucap apapun lagi. Hanya sesekali saling melempar senyum setelah Adam Liandra Kin sukses menerka dan mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh gadis berparas cantik yang ada di sisinya itu. Tentang Davira, ia akan mencoba memulai untuk membuka hati dengan Adam. Entah apapun hasilnya nanti, Adam hanya harus menunggu dengan bekerja sama bersama waktu dan tunggu. Jikalau sudah begitu, menunggu yang ia lakukan akan terasa begitu indah dan menyenangkan.     

"Aku aku menunggunya."     

"Mama nyuruh Kak Adam sama Kak Davira untuk makan siang," sela suara tegas seorang remaja muncul dari balik ambang pintu kaca bertirai cokelat muda di depan mereka. Tersenyum aneh dan sejenak memberi tatapannya untuk Davira kemudian kembali memusatkan fokus lensa miliknya pada remaja jangkung berwarjah identik dengan sang kakak, Adam Liandra Kin.     

"Hm, kamu boleh pergi." Adam menjawab dengan nada ringan. Bangkit dari posisi duduknya kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu gadis di sisinya melakukan hal yang sama.     

Davira tersenyum. "Aku bisa bangun sendiri," katanya sedikit melucu. Membuat remaja yang ada di sisinya itu kini iku tertawa ringan nan singkat.     

***LnP***     

Dentingan suara garpu yang beradu dengan ujung permukaan sendok di atas halusnya permukaan piring kaca yang menjadi tempat nasi bersama lauk pauk juga sayur segar nan enak guna mengisi perut yang sudah lapar sebab separuh hari tak diisi apapun itu kini mulai memudar. Seiring dengan habisnya seluruh nasi juga lauk pauk yang ada. Wanita dewasa bergaun polos selurut tanpa lengan yang duduk di tengah-tengah jajaran para remaja itu kini mulai menginterupsi. Menatap gadis muda yang begitu terlihat anggun juga cantik bersikap sopan santun ditunjukkan dengan caranya menyantap dan menikmati makanan.     

"Davira ...." Suara lirih memanggilnya. Membuat si gadis sejenak menghentikan aktivitas makannya kemudian menatap si wanita yang baru saja menyebut namanya lirih.     

"Iya tante," balas remaja cantik berambut panjang yang dibiarkan terurai itu dengan nada lembut tak kalah lembutnya dengan nada bicara milik wanita di depannya. Jujur saja, Davira benar-benar asing dengan sikap begini. Berbicara lirih nan lembut dengan tingkat kehati-hatian tinggi agar tak berbuat salah apapun dan juga ... ia harus menjaga sikap agar canggung tak terlihat benar ada di dalam dirinya. Davira sungguh membenci dirinya jikalau harus begini. Namun, mau bagaimana lagi? Ini adalah kali pertamanya datang ke rumah mewah yang dihuni oleh keluarga kecil nan sederhana penuh kehangatan dan kebahagian ini. Jika ia tak menjaga diri dalam bersikap dan berucap, matilah sudah dirinya dicap sebagai gadis bar-bar tak punya sopan dan santun.     

"Kamu baru pertama kali datang ke rumah teman laki-laki?"     

"Mama!" Bukan Davira yang dilontari pertanyaan yang mengubris, namun sang putra Adam Liandra Kin yang baru saja menyeru agar sang mama tak meneruskan kalimat yang dalam tebakannya pasti akan sangat kuno dan monoton.     

"I-iya tante," ucap gadis itu terkekeh ringan. Mencoba untuk tetap tak terlihat canggung meskipun jujur saja, Davira ingin ini segera berakhir dan bernapas lega tak ada lagi hal yang harus dijaga dan dibatasi.     

"Mau menginap di sini?"     

"Mama!" Adam lagi-lagi memprotes. Menatap sejenak Davira yang hanya diam sembari membulatkan matanya sempurna. Kemudian menyenggol bahu sang mama yang masih saja tak acuh dengan keberadaan sang putra.     

Bukankah ini terlalu cepat untuk menanyakan hal begini? Toh juga usia Adam dan Davira belum benar menginjak masa remaja. Katakan saja mereka baru saja memulainya. Memulai masa menyenangkan dan menggairahkan seperti ini. Haruskah Davira mengangguk dan mengatakan iya dengan malu-malu sekarang ini? Mungkin jikalau ia menyetujuinya, ia akan diperintahkan tidur bersama dan ... Ah! Sialan! Pemikiran macam apa ini?     

"Tante pengen mengenal kamu lebih dalam. Membacakan cerita di malam hari, ngobrol ini itu, tertawa bersama. Intinya tante pengen punya anak perempuan," jelasnya menatap Davira penuh pengharapan.     

Sangat manis! Alasan itu sangat manis dan nyaman didengar oleh kedua telinga Davira. Namun apa daya jikalau Davira bukan tipe gadis yang mudah dekat hingga bermalam bersama orang asing.     

"Davira ... Bukannya Davira gak—"     

"Mama udahlah. Mama buat Kak Davira gak nyaman nantinya." Raffa menyela setelah menghabiskan satu suapan terakhir masuk ke dalam lambungnya. Menatap sang mama yang hanya bungkam melipat bibirnya sembari mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.     

"Maaf tante, Davira jadi gak enak." Gadis itu kembali membuka suaranya. Sejenak merubah ekspresi sayu untuk menunjukkan betapa 'tak enak hati' dirinya saat ini. Menolak tawaran baik yang bisa saja menjadi gerbang lebar untuknya bisa dekat dengan Adam Liandra Kin. Akan tetapi, siapa peduli jika keadaannya begini? Hubungan Davira dan Adam masih dibilang seumur tanaman jagung yang baru saja ditanam.     

"Tante yang minta maaf. Karena bikin kamu gak nyaman."     

Gadis yang baru saja meletakkan sepasang alat makan di dalam genggamannya itu kini menggeleng sembari menggoyangkan tangannya ringan. Mencoba untuk memberi isyarat pada wanita dewasa di depannya itu, bahwa suasana yang sedang di antara mereka bukanlah masalah yang besar.     

***LnP***     

Selepas acara makan siang selesai dilaksanakan, Adam menawarkan pada gadis cantik yang dibawanya datang menemui sang mama beberapa jam lalu itu untuk kembali berkeliling atau sekadar kembali berbincang ringan di taman belakang rumah. Akan tetapi, dengan penuh kelembutan dan ketidak enakkan dalam dirinya gadis itu memberi penolakan yang tegas. Mengatakan bahwa ada satu tempat yang ingin disambanginya selepas ini. Jadi kata gadis itu menutup kalimatnya sembari tersenyum ramah, Davira minta dihantar ke halte bus utama yang dibangun di perempatan jalan khawasan perumahan elit tempat Adam Liandra Kin tinggal.     

Menghantar Davira ke halte bus dan membiarkan gadis itu pergi sendirian? Tidak! Adam tidak akan melakukannya. Sebab dirinya adalah remaja jantan yang tak akan pernah meninggalkan gadisnya sendirian!     

Jadi, tak perlu ditanya lagi bagaimana kondisi dan situasi yang sedang terjadi saat ini. Adam bersama Davira. Menggunakan motor gede untuk menghantar mereka menyusuri padat dan panas berdebunya jalanan kota kalau siang tengah hari lewatnya satu jam itu datang menyapa.     

--dan setelah beberapa menit hampir satu jam berputar menyusuri jalanan kota metropolitan, di sinilah keduanya berada. Sebuah mall besar yang dibagun sisi padatnya jantung negara.     

Adam masuk ke dalam bangunan mall mengekori gadis yang mulai tak acuh dengan keberadaannya saat ini. Selepas parkir dan melepas helmnya, Davira berjalan cepat seakan ingin meninggalkan Adam di sana. Namun, gadis itu lupa bahwa kaki jenjang milik remaja jangkung itu bisa dengan mudahnya menjangkau posisi gadis itu meskipun jauh adalah kondisi yang tercipta sebelumnya.     

"Mau ke suatu tempat?" lirih remaja yang kini sedikir mempercepat langkahnya untuk mencoba mengirini langkah kaki milik Davira.     

Gadis itu mengerang ringan. Terus menatap lurus ke depan tanpa mau menoleh ke arah Adam Liandra Kin.     

"Toko baju?" tanya remaja jangkung itu acak.     

Davira menggeleng. "Make up. Lip tint-ku habis."     

Remaja yang ada di sisinya itu kini kembali diam sembari mengangguk-angukkan kepalanya mengerti. Sepenuhnya mengerti? Tidak! Bahkan Adam sendiripun tak tahu benda apa yang baru saja disebutkan oleh Davira barusan.     

Gadis itu kini berbelok di salah satu toko. Masuk ke dalamnya tanpa ada keraguan yang tersirat di atas paras cantik miliknya. Kemudian mulai menyusuri setiap sudut ruangan sembari memilah dan milih apa-apa saja dibutuhkannya saat ini.     

"Kamu sering datang ke sini?"     

Davira hanya mengangguk tanpa mau mengubah sorot matanya.     

"Sendirian?" tanya Adam kembali mendapat respon yang sama oleh gadis di sisinya itu.     

Davira kemudian menghentikan langkah dan segala aktivitasnya. Melirik remaja yang kini mulai ikut memusatkan sorot matanya ke arah jajaran benda asing yang dalam ingatannya, itu mirip dengan milik sang mama yang diletakkan wanita tua itu di depan kaca riasnya.     

"Biasanya sama Arka," tukasnya kemudian.     

Adam menoleh. Menatap gadis yang baru saja menyebutkan nama seorang remaja sialan. "Mulai hari ini ... datang ke sini sama aku aja," ucapnya lirih.     

"K-kenapa aku harus datang ke sini sama kamu?"     

Adam diam. Benar, kenapa ya?     

"Aku butuh alasan untuk itu. Rumah kita jauh dan kalau mau ke sini, kamu harus menjemput aku baru kembali ke tempat ini. Ini bisa memakan waktu dua kali lipat lamanya." Davira kini memprotes. Menarik satu lip tint yang menjadi alasannya datang ke mari.     

"Karena aku Adam Liandra Kin bukan Arka Aditya," pungkasnya dengan nada tegas. Sukses membuat gadis yang ada di sisinya mengerutkan dahinya tak mengerti. Adam ... aneh!     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.