LUDUS & PRAGMA

86. Kisah Yang Menyedihkan



86. Kisah Yang Menyedihkan

0"Karena aku Adam Liandra Kin bukan Arka Aditya," pungkasnya dengan nada tegas.     
0

"Lalu?" sahut gadis di depannya sembari memincingkan matanya.     

"Karena Adam adalah remaja yang menyukai Davira. Lebih dari apapun," ucap Adam sembari mengusap lembut puncak kepala gadis yang hanya setinggi bahu lebarnya itu.     

Davira berdecak ringan. Menatap remaja di depannya itu sejenak kemudian sigap mengalihkan tatapannya untuk berusaha menyembunyikan wajah dengan senyum malu-malu yang dilukiskan di atas paras cantik miliknya. Wajah Davira tak sedang memerah bak kepiting rebus 'kan sekarang ini? Semoga saja tidak.     

"Davira? Adam?" Seseorang menyapa keduanya. Membuat dua remaja yang tadinya diam sejenak sembari saling hadap itu kini menoleh bersamaan. Mencoba mencari tahu siapa yang baru saja menyeru dengan sedikit menaikkan volumenya untuk menyaingi dentuman musik pop di dalam ruangan.     

"Davina?"     

Gadis bersurai pekat yang dipanggil namanya kini melambai ringan. Tersenyum kikuk sembari terus melirik Adam yang diam tak mampu berucap apapun. Dalam ekspresi yang ditunjukkan oleh remaja jangkung itu, ia sedikit terkejut.     

"Kalian datang ke sini bersama?" tanya Davina dengan menaruh kecurigaan penuh pada teman dekatnya itu.     

Davira menggelengkan cepat kepalanya. Menatap sekilas remaja jangkung yang baru saja ikut menoleh ke arahnya.     

"Kami gak sengaja ketemu di depan tadi." Beralasan! Entah mengapa Davira harus beralasan dan menipu si teman dekatnya perihal kedatangannya bersama Adam. Mungkinkah sebab Davina adalah gadis pertama yang mengatakan pada Davira bahwa ia menyukai sosok Adam Liandra Kin sebagai seorang wanita pada laki-lakinya? Mungkin saja. Davira hanya tak ingin hidupnya terkena masalah sebab ini nanti.     

"Dan kenapa Adam ke toko ini? Nemenin kamu—"     

"Dia mau beli kado buat mamanya. Sebentar lagi mamanya ulang tahun," sela Davira dengan lancar. Sesekali tersenyum aneh di bagian akhir kalimat untuk mencoba tetap tenang meskipun jujur saja, apa yang diucapkan oleh gadis itu tak pernah terpikirkan sebelumnya. Katakan saja seperti Davira sedang berbicara asal hanya untuk melegakan dan tak melebarkan kesalahan pahaman di antara mereka saat ini.     

"Benarkah?"     

Adam mengangguk ringan. "Hm, mama aku mau ulang tahun. Jadi aku beliin lip tint," sahut remaja jangkung itu pada akhirnya.     

"Lip tint? Mama kamu pakai lip tint?" Davina kini menautkan sepasang alis sembari samar keningnya berkerut. Bukankah Adam terlalu mengada-ada saat ini?     

"Awalnya dia mau beli itu. Tapi aku bilang kalau mamanya mungkin gak pakai itu dan lebih memilih pakai lipstik. Jadi aku bantu dia cariin lipstik," beber gadis yang kini mulai terkesan kalang kabut. Sejenak menunduk dan menggelengkan kepalanya sebab ia sendiripun tak tahu, sampai sejauh mana ia harus menutupi kebohongannya dengan sebuah kebohongan yang baru hanya untuk membalas segala pertanyaan gadis di depannya sekarang ini.     

"Ah begitu rupanya ...." Davina tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya mengerti kemudian melirik tas kecil yang terbuat dari kertas tebal dengan satu pita di tengahnya. Kembali mendongak dan menatap Davira juga Adam yang kini kembali diam setelah jawaban singkat dari Davina barusan.     

"Aku udah selesai belinya. Kalian mau makan bareng sama aku?" tanya Davina melanjutkan.     

"Aku mau. Tapi Adam mungkin akan merasa canggung. Juga dia terburu-buru katanya tadi. Jadi ... dia akan pulang duluan. Iya 'kan, Dam?"     

Pulang duluan dan meninggalkan Davira bersama Davina di sini? Tidak! Sudah Adam tegaskan bahwa ia adalah laki-laki jantan yang tak akan pernah meninggalkan gadisnya tanpa alasan kuat. Jadi, Adam menolak kalimat Davira barusan. Toh juga selepas mereka berpisah usai mengenyangkan perut nanti, dengan penuh kepercayaan bahwa Davina akan meninggalkan si teman dekatnya itu sendirian di halte bus sebab arah rumah yang berbeda tak saling berdekatan. Jadi, pada akhirnya Davira akan pulang sendirian!     

"Beberapa menit mungkin bisa. Aku ikut kalian," tegas remaja itu menjawab. Tersenyum manis pada Davina yang baru saja melempar lengkungan bibir merah sedikit merona miliknya.     

Ah, sial! Kenapa Adam tak kunjung mengerti juga terhadap situasi dan kondisi yang terjadi sekarang ini?     

***LnP***     

sebuah food court di lantai paling atas mal dengan pemandangan isi kota di siang hari adalah tempat yang dipilih oleh mereka. Tempat di luar ruangan dengan hawa semilir yang membelai helai demi helai rambut adalah bagian ruangan dengan satu meja kotak berukuran sedang dan empat kursi yang mengelilinginya adalah tempat yang dipilih untuk menunggu menu yang dipesan oleh mereka bertiga.     

"Adam lo mau duduk di sisi mana? Melihat pemandangan atau memunggunginya?" tawar Davina berbasa-basi. Sebenarnya sih, gadis itu tak perlu melakukan hal itu. Sebab itu terlalu ... berbasa-basi!     

"Gue bisa duduk di manapun." Remaja itu menjawab dengan singkat. Sejenak menatap Davina kemudian mengalihkan sentral lensa pekatnya pada gadis yang baru saja ingin meletakkan tas slempang miliknya di atas meja.     

"Davira ... kamu mau duduk di sisi mana?" tanyanya melanjutkan. Membuat gadis yang tadinya tak acuh kini sedikit mendongak dan menatap sejenak Adam yang tersenyum selepas mengakhiri kalimatnya. Lalu mengarahkan arah tatapannya untuk Davina yang baru saja mengubah raut wajahnya aneh.     

"Aku bisa duduk di mana aja," jawab gadis itu mempersingkat. Menarik kursi di depannya kemudian duduk dengan rapi tak ada kalimat apapun lagi yang menyertai.     

Adam mengikuti. Menarik kursi di sisi Davira dan duduk di atasnya. Menoleh pada gadis yang kini mulai sibuk mengotak atik isi ponsel dalam genggamannya.     

Davina menghela napasnya kasar. Sejenak gadis itu teringat pasal apa yang dikatakan Kayla padanya. Bahwa diam dan memendam rasanya sendiri tanpa melakukan apapun, tak akan mengubah apapun pula. Bahkan sekarang ini, ia menyaksikannya. Mata dan seluruh fokus Adam hanya ditujukan teruntuk gadis yang duduk di sisinya. Tanpa mau sedikit saja acuh pada keberadaannya yang duduk tepat di depan Adam Liandra Kin.     

Ah, situasi menyebalkan macam apa ini!     

***LnP***     

Suara bising khas jalanan padat tiada pernah sela kalau hari dan jam kerja sedang datang menyapa begini dirasa oleh dua gadis yang kini berjalan beriringan. Memutuskan keluar dari area mal yang sudah cukup memanjakan mata dan lidah mereka. Mengenyangkan perut adalah aktivitas terakhir yang mereka lakukan sebelum memungkaskan segala aktivitas yang mereka lakukan di dalam sana.     

Hanya ada Davira Faranisa dan Davina Fradella Putri. Tak ada Adam, si remaja jangkung. Sebab ia sudah diusir secara halus oleh Davira sebelum ini. Dengan tegas gadis itu mengatakan pada Adam bahwa ia akan pulang bersama Davina. Toh juga jikalau Davina tahu bahwa Adam akan menghantar Davira dengan moge miliknya, maka hancur sudah segala kebohongan yang dilakukan oleh keduanya sebelum ini. Jadi meskipun nanti pada akhirnya Davira akan pulang sendiri setelah menemani si teman dekat menunggu datangnya taksi yang ia pesan, setidaknya tak ada lagi kebohongan yang perlu dilakukannya saat ini.     

"Adam makin ganteng 'kan kalau gak pakek seragam sekolah? Damage-nya aw!" Davina kini melantur. Tersenyum geli di bagian akhir kalimatnya kemudian tegas memainkan ujung sepatu putih bersih miliknya untuk menyapu kasar daun daun kering di bawahnya.     

Davira diam. Sebab ia tak tahu harus memberi tanggapan macam apa saat ini. Berbicara pasal apa yang menjadi fakta dan kebenarannya? Tidak! Davira tak ada nyali untuk melakukan hal sebodoh itu saat ini. Toh juga, dalam benaknya yang paling dalam ia sendiri tak memiliki keyakinan penuh perihal perasaannya pada Adam. Bisa saja 'kan sekarang ini gadis itu hanya merasa nyaman dengan perlakuan hangat yang Adam tunjukkan untuk mencoba meleburkan sikap dingin yang ia punyai?     

Jadi diam dan terus menunggu waktu untuk meyakinkan semuanya adalah pilihan yang tepat untuk gadis bersurai pekat sedikit ikal itu.     

"Kata orang-orang Adam itu suka sama lo," tutur gadis di sisinya itu secara tiba-tiba. Membuat Davira yang tadinya diam sembari menatap padatnya jalanan kota di depannya itu cepat menolehkan kepalanya dan sontak membulatkan sepasang mata indah miliknya. Sungguh, kalimat yang tak terduga.     

"Wah! Aku iri," pungkasnya menutup kalimat dengan desahan kasar miliknya. Seperti seorang yang baru saja kehilangan semangat sebab seseorang sudah memantahkan motivasi dan dorongan dalam dirinya.     

Davira menghela napasnya perlahan. Kembali memusatkan tatapannya ke depan kemudian tersenyum ringan. "Lo yakin bukan Kayla yang disebut namanya?"     

"Orang yang bilang Adam suka sama lo adalah Kayla."     

Persetanan sinting gila gadis bernama lengkap Kayla Jovanka itu. Bisa-bisanya ia mengatakan hal bodoh yang tak pernah disangkah olehnya selama ini.     

"Lo gak curiga kenapa dia bilang itu ke lo?" Davira bertanya dengan nada ringan. Ikut memainkan ujung sepatu hitamnya sembari sesekali menyeringai untuk mengekspresikan betapa kesal hatinya saat ini.     

Jikalau saja ia boleh pergi dan berlari untuk menemui Kayla, maka ia akan berlari saat ini. Datang pada gadis brengsek itu kemudian menampar habis mulut kotor miliknya.     

"Tentunya gue mikir. Makanya gue bilang itu ke lo." Davina menghentikan sejenak kalimatnya. Menghela napasnya berat seakan percakapan yang dilakukannya bersama si teman dekat itu terasa begitu berat dan melelahkan.     

"Apa yang lo pikirin tentang itu?" tanya gadis di sisi Davina dengan nada melirih.     

"Maksud dan tujuan Kayla mengatakan hal konyol itu. Dia adalah orang baik atau orang jahat yang sedang menyamar dengan wajah polos dan menyebalkan miliknya, gue mikirin itu," terang Davina menjelaskan.     

Gadis di sisinya tertawa ringan. "Dan jawabannya?"     

"Dia gadis sialan." Davina mengumpat di bagian akhir kalimatnya. Ikut tertawa mengimbangi aktivitas yang dilakukan oleh gadis sepantaran usia dengannya itu.     

"Setelah dia mengatakan itu, gue jadi kepikiran satu hal. Sebuah pertanyaan yang menentukan seberapa sialannya Kayla itu," tuturnya selepas tawa yang diciptakan oleh Davina terhenti. Menoleh ke arah Davira yang juga iktu menghentikan paksa tawa di atas paras cantiknya.     

"Apa yang mau lo tanyain?" tanya Davira dengan nada tegas.     

"Lo suka sama Adam?"     

Deg! Sejauh ini pertanyaan itulah yang dihindari oleh Davira Faranisa. Selalu bersikap sok tenang dan baik-baik saja seakan tak ada masalah yang mengganggu dalam benaknya adalah hal yang dilakukannya agar Davina tak menanyakan hal aneh seperti itu. Sebab untuk sekarang ini, Davira tak bisa menjawabnya. Ah bukan tak bisa, melainkan tak mampu.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.