LUDUS & PRAGMA

88. Memahami Duka Bersama Waktu.



88. Memahami Duka Bersama Waktu.

0"Rumah kamu bagus dan mewah, mama kamu baik dan ramah, juga ... keliatannya sayang banget sama kamu. Kamu punya sahabat laki-laki yang baik dan ... friendly maybe? And then ... Adam! Dia juga perhatian dan hangat sama kamu. So—" Rena menghentikan kalimatnya kala tak sengaja menatap paras gadis cantik yang sedari tadi memberi fokus tatapan untuknya sembari sesekali tersenyum aneh untuk menanggapi kalimat panjang dari gadis berambut pendek yang jatuh menggantung di atas bahunya itu.     
0

"So?" Davira menimpali. Semakin jelas mengembangkan senyum teruntuk gadis yang baru saja dibiarkannya masuk ke dalam kamar pribadinya itu. Sungguh, ini adalah pertama kalinya Davira melakukan hal itu pada orang yang baru ditemuinya beberapa hari lalu. Bahkan, seumur-umur ia bersahabat dengan Arka Aditya, Davira bisa dibilang sangat jarang mengijinkan Arka untuk masuk ke dalam ruang pribadinya.     

"Hidup kamu pasti sangat nyaman dan bahagia." Rena melanjutkan. Berjalan ke arah balkon yang dibangun di sisi ruang kamar gadis itu dan mendorong pintu kaca yang ada di depannya.     

"Bukankah rumah kamu ini hebat banget? Ada balkon yang mengarah ke sisi paling indah di komplek ini," tunjuknya dengan antusias. Membuat gadis yang tadinya duduk di sisi ranjang empuk miliknya kini tegas bangkit dan berjalan untuk menyusul posisi Rena yang baru saja meletakkan tubuh krempeng tingginya di atas kursi pojok balkon.     

Davira hanya tersenyum. Ikut mengambil kursi kosong di sisi Rena sembari menatap apa-apa saja yang ada di depannya. Pemandangannya memang sedikit indah, namun tak seindah kala pagi menyapa.     

"Kalau pagi lebih bagus lagi. Kalau malam, itu menyeramkan." Davira kini membuka suaranya. Sejenak melirik Rena yang hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Tentu, pemandangan rimbun pepohonan tinggi yang menjadi peneduh hutan di sisi kawasan komplek tak akan ada yang menyukai kalau malam datang dengan gelapnya. Meskipun di atas sana ada cahaya rembulan yang menyinari dengan percaya diri, namun siapa yang suka dengan kegelapan? Tidak ada!     

"Dan aku ... tak sebahagia itu." Gadis yang baru saja mengikat rambutnya itu kembali menyela. Kini tegas menoleh dan menatap gadis yang duduk di sisinya.     

"Kenapa gak bahagia? Bukankah semua orang itu pasti punya sisi kebahagiannya?" protes Rena dengan nada melunak. Melipat keningnya samar sembari sesekali mengerutkan kedua sisi mata tajamnya.     

Davira menaikkan salah satu sisi bahunya bersama dengan sepasang alis cokelat melengkung bulan sabit miliknya yang tegas naik ke atas. Memberi kode respon pada gadis di sisinya bahwa Davira sendiri pun tak tahu, mengapa lebih banyak duka yang ada di dalam dirinya untuk mengiringi datangnya masa remaja ketimbang sebuah suka dan bahagia untuk mewarnai apa-apa saja yang datang dalam kehidupannya?     

"Semua orang pasti punya sisi duka dalam dirinya 'kan? Tinggal bagaimana cara kita mengekspresikan duka itu."     

Rena mengangguk. "Kamu bener."     

"Ngomong-ngomong, papa kamu—" Rena menghentikan kalimatnya kala Davira kembali menoleh dan sejenak membulatkan matanya kemudian mengubah ekspresinya malas. Baiklah, mulut gadis itu memang terkadang tak bisa dikontrol dengan baik!     

"Ah, sorry!" ucapnya menutup kalimat.     

Davira kini tersenyum ringan. "Mereka bercerai saat usiaku masih 8 tahun ... atau mungkin 9 tahun? Entah. Aku malas mengingatnya," kekeh gadis itu di akhir kalimat. Terkekeh kecil namun terdengar miris dan terlalu dipaksakan.     

"Wah, Aku iri." Rena menyela. Kalimat singkat yang diucapkannya barusan itu kini sukses membuat Davira menoleh sembari mengerutkan dahinya samar sebab tak mengerti, di bagian mananya Rena harus iri akan takdir menyebalkan yang didapat oleh Davira dari semesta?     

"Terkadang aku bermimpi bahwa orang tuaku bercerai dan aku ... ikut dengan mama. Ah, tidak. Aku lebih suka ikut nenekku." Rena mulai menjelaskan. Membuat gadis di sisinya sigap menyerongkan tubuhnya agar bisa berposisi nyaman kala menjadi seorang pendengar yang baik untuk teman barunya itu.     

"Kenapa begitu? Bukannya punya keluarga lengkap itu im—"     

"Impian banyak orang?" tutur gadis itu melanjutkan. Menggeleng samar sembari tersenyum kecut di bagian akhir kalimatnya.     

"Papa selalu memaksa aku untuk bersekolah di luar negeri. Menguasi bahasa asing, matematika, fisika, kimia, dan ... ah! Aku membenci itu. Katakan aja mereka memaksaku untuk menjadi orang pintar dengan mampu melakukan dan menguasi semua yang ada di dunia. Menyebalkan 'kan?" tukas gadis itu menjelaskan dengan kalimat panjangnya.     

"Dia selalu memarahiku bahkan memukulku setelah penerimaan raport di akhir semester. Katanya, aku bukan anaknya sebab ia tak punya anak bodoh. Hanya Kak Lita yang anaknya, karena dia anak yang pintar." Gadis berambut pendek itu kini melanjutkan dengan nada yang semakin jelas bahwa ia sedang memenadam amarahnya saat ini.     

"Kak Lita diberi banyak kebebasan karena dia pintar. Bebas menentukan apa yang ia mau, ia akan jadi apa nantinya. Semua bebas! Sedangkan aku? Bagai burung dalam sangkar," bebernya menutup kalimatnya dengan senyum yang semakin tegas terlihat benar-benar dipaksakan.     

"Aku punya sayap yang indah dan kuat untuk terbang, tapi aku tak bisa melakukan itu sebab orang tuaku tak mengijinkan aku terbang." Rena menutup kalimatnya dengan nada melirih. Kini sejenak menunduk untuk menatap ujung jari jemari lentik bercat warna merah bata yang saling beradu satu sama lain.     

"Itu dukaku," sambung gadis itu lirih.     

Davira yang tadinya hanya diam mendengarkan tanpa mampu menyela apapun kini mulai bereaksi. Mengulurkan tangannya kemudian menepuk pundak gadis yang ada di sisinya itu. "Burung tidak bisa terbang kalau dia belum bisa menentukan arah tujuannya terbang," tutur Davira dengan nada lembut. Menarik kembali tangannya untuk ia simpan di sisi tubuh mungil miliknya.     

"Jadi ... tentukan dulu mau ke mana kamu terbang. Setelah itu terbanglah. Itu pasti menyenangkan," tutur Davira tersenyum ringan.     

Rena kini mengangguk. Ikut mengembangkan senyum di atas bibir merah muda sedikit pucat miliknya.     

"Kalau duka kamu?" tanya gadis itu kembali membuka suaranya.     

Davira bungkam. Menaikkan kedua sisi bahunya sembari menggeleng ringan. "Aku tak ingin membicarakan itu di hari baik begini," jawabnya memberikan penolakan.     

"Kalau soal Adam? Mau membicarakannya denganku?" Rena mengubah topik pembicaraan. Mencoba untuk akrab dengan gadis yang ada di sisinya itu.     

Bukan tanpa alasan gadis itu datang dan menyambangi kediaman dari teman barunya —Davira Faranisa—. Rena datang dan berkunjung sebab ia merasa bosan! Ya. Hanya itu. Alasan yang cukup sederhana namun sukses untuk membuatnya mengumpulkan niat pergi dari rumah dan menempuh jarak yang bisa dibilang jauh untuk datang ke rumah Davira Faranisa. Toh juga, tak ada salahnya 'kan datang ke rumah baru guna mengakrabkan hubungan yang baru saja terjalin?     

"Adam?" Davira mengulang. Sejenak memutar bola matanya untuk mencoba mencari sesuatu yang bisa ia gunakan sebagai inspirasinya untuk memulai menceritakan apa-apa yang berhubungan dengan remaja jangkung itu.     

"Adam udah punya pacar?" tanya Rena acak kala gadis di sisinya itu tak kunjung mengeluarkan suaranya untuk memulai bercerita.     

Davira menoleh. Tegas menggoyangkan tangannya untuk memberi respon tidak pada gadis yang baru saja berbicara asal. "Hanya saja dia suka mendekati banyak gadis. Dengan wajahnya yang seperti itu, dia banyak diidolakan," katanya dengan helaan napas ringan nan berat.     

"Jadi?" Rena menanggapi dengan kalimat singkat.     

"Jadi apanya?"     

"Kamu keberatan karena itu?"     

Davira diam. Mengunci bibirnya rapat-rapat setelah kalimat tanya ambigu yang diucapkan Rena barusan tak mendapat jawaban dari dalam hatinya.     

"Itu artinya—"     

"Bukan itu yang bikin aku keberatan." Davira menyela. Membuang tatapannya jauh ke depan untuk menatap apapun yang ada di depannya saat ini.     

"Davina, temen deket aku ... dia suka sama Adam. Singkatnya, dia gak tau kalau aku dan Adam—"     

"Jujur aja." Rena lagi-lagi menyela. Melirik Davira yang tegas menoleh padanya. Semudah itu 'kah melakukan perbuatan terpuji itu? Jujur pada Davina akan apa yang sedang terjadi saat ini, maksudnya.     

"Gak! Aku gak bisa melakukan itu. Toh juga, aku dan Adam gak ada apa-apa kok." Davira menolak. Menggelengkan cepat kepalanya kala tersadar bahwa apapun alasannya, untuk saat ini ia tak akan pernah melakukan kesalahan yang akan menimbulkan dampak besar nantinya. Tak akan pernah!     

"Terus Adam? Dia tau cewek itu suka sama dia?"     

Davira menganggukkan kepalanya sembari menghela napasnya berat untuk kesekian kalinya. "Itu adalah hal bisa untuknya. Tapi untukku ... aku tak terbiasa dengan keadaan begini," tukas gadis itu dengan nada melunak.     

Rena tersenyum ringkat. Mengulurkan tangannya kemudian menepuk-nepuk pundak gadis yang ada di sisinya. "Bagian mana yang gak lo ngerti dan terasa asing?" tanyanya sembari sedikit memiringkan kepala untuk mencuri perhatian gadis yang masih saja menatap apa-apa saja yang ada di depannya.     

"Semuanya." Davira menutup kalimat dengan nada bicara lesu. Membuat gadis yang ada di sisinya samar tersenyum geli untuk kelakuan Davira bagai seorang anak gadis yang kehilangan permen manis miliknya.     

"Selesaikan satu-satu dan kamu pasti akan terbiasanya nantinya."     

"Satu-satu?" Davira mengulang. Mencoba untuk menerka dan mencerna apa yang dimaksudkan oleh gadis yang ada di sisinya itu.     

"Aku belajar ini dari Kak Lita. Ketika dia mendapat masalah dengan mantan-mantan pacarnya, dia selalu menyelesaikannya dari apa yang paling dekat dengannya." Rena menjelaskan. Membuat gadis yang ada di sisinya itu kini samar mengerutkan dahi sembari menautkan alisnya samar.     

"Dari yang paling dekat?"     

Keduanya diam. Saling tatap dalam satu titik fokus kemudian melempar senyum satu sama lain. Rena menganggukkan kepalanya samar. Semakin tegas merekahkan senyum untuk memberi isyarat pada Davira bahwa apa yang ditanyakannya barusan itu benar.     

"Misalkan saja, selesaikan masalamu dengan Davina. Katakan dengan jujur bahwa kamu dan Adam sedang dekat. Mencoba memahami satu sama—"     

"Bukan Davina yang paling dekat." Davira menyela.Tersenyum aneh pada Rena yang baru saja dipaksa untuk bungkam dan menghentikan kalimatnya.     

"Davina adalah masalah yang paling jauh," pungkasnya menutup kalimat dengan senyum simpul di bagian akhir.     

Gadis berambut pendek di sisinya hanya diam sembari sesekali memincingkan matanya. Tak mengerti? Sangat. Bukankah menyelesaikan permasalahannya akan terasa lebih mudah jikalau orang yang sedang berada di sisinya dan membuatnya terganggu mendukung dan mengetahui apa yang mengganjal dalam hatinya sekarang ini? Jika bukan Davina yang menjadi orang paling mengganjal dalam hati Davira, maka orang itu adalah Adam?     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.