LUDUS & PRAGMA

91. Semesta itu membosankan!



91. Semesta itu membosankan!

0Pagi hilang bersama datangnya sinar agung sang raja siang yang panas seakan ingin membakar semua komponen yang ada di bawahnya. Bukan berada di tengah padatnya kota, menghirup kotornya udara berpolusi yang berembus memenuhi seluruh volume bumi, riuhnya suara klakson yang tegas saling bersaut di udara, namun sebuah ruangan ber-AC sejuk dengan suara musik pop yang samar berdentum untuk memecah keheningan. Mal besar yang kemarin dikunjunginya bersama Adam Liandra Kin itu adalah tempatnya singgah siang ini. Bukan untuk kembali berbelanja menghabiskan uang dan seluruh tabungan yang ada di dalam dompetnya saat ini, namun Davira datang sebab sang sahabat yang memintanya dengan penuh pengharapan penuh bahwa gadis cantik yang begitu terlihat mempesona dengan pakaian sederhana tak mewah juga riasan make up tipis tak tebal itu mau sejenak meluangkan waktunya untuk menemani Arka membeli sepasang sepatu basket guna membalut kakinya kala pertandingan basket benar dilaksanakan.     
0

Tak bisa banyak memberi penolakan kala sang sahabat sudah memohon dengan raut wajah yang memelas. Membinarkan matanya dengan lengkungan bibir yang ikut memberi kesan betapa berharganya bantuan dari Davira kali ini. Singkatnya, Arka tak ingin pergi sendiri kali ini. Ada sahabatnya yang berwajah cantik dengan tubuh mungil sedikit semampai yang bisa ia pamerkan pada dunia, lantas mengapa harus berpergian seorang diri bak seorang pangeran yang ditinggal mati calon permasyurinya? Akan terlihat sangat menyedihkan bukan?     

Keduanya berjalan tegas menyusui setiap jajaran toko yang ada untuk sampai ke sebuah bangunan berbentuk persegi yang dibangun di tengah-tengah keramaian yang ada. Bangunan itulah yang nantinya akan menjadi tujuan akhir mereka sebelum memutuskan pulang dan beristirahat sebab besok adalah waktunya untuk kembali memulai aktivitas sebagai seorang pelajar yang baik dan terpuji.     

Toko perlengkapan olahraga! Kalimat besar yang tertulis sebagai identitas bangunan kini terekam jelas oleh kedua lensa mereka. Membuat Arka menarik tangan gadis yang baru saja ingin berbelok menjauh darinya itu agar lekas datang dan menghampiri bangunan yang dimaksud. Berjalan tegas masuk melalui pintu kaca besar yang sengaja di bangun sebagai sekat antara ruang dalam toko dengan lingkungan luar tempat para pengunjung berlalu lalang.     

Arka melangkah ke sudut ruangan. Tepat di depan jajaran puluhan pasang sepatu olahraga ia menghentikan laju sepasang kaki jenjang miliknya. Mulai menelisik apa-apa saja yang berjajar rapi di depannya dengan sesekali memegang dan mengambil sepatu yang menurutnya bagus untuk dimilikkinya saat ini. Tatapannya kini tertuju pada sepasang sepatu kets merah muda dengan ornamen bunga indah yang menghias di kedua sisinya. Warna semburat putih menghias dengan dipadukan garis berwarna abu-abu yang menambah kesan cantik, sederhana, namun elegan pada sepatu olahraga yang kini sukses membuatnya datang berjalan mendekat. Sejenak mengabaikan tujuannya datang kemari. Remaja jangkung itu kini melirik sekilas Davira yang masih sibuk memilah dan memilih sepatu bakset yang pas untuk dikenakan oleh sahabatnya. Lupa bahwa di sini posisi Davira Faranisa hanya sebatas peneman bukan penentu mana yang baik dan mana yang buruk untuk dikenakan oleh sahabatnya dalam menjemput kemenangan tiga hari lagi.     

"Arka! Coba sini!" panggilnya dengan sedikit menyeru sebab posisi keduanya yang bisa dibilang sedikit jauh.     

Remaja yang dipanggil kini menoleh. Meletakkan sepatu kets perempuan yang ada di dalam genggamannya kemudian berlari kecil untuk menghampiri posisi sang sahabat yang sudah menjajarkan tiga sepatu berjenis sama di atas lantai.     

"Cobain, kayaknya pas," tukas Davira berjongkok. Sigap melepas tali sepatu remaja yang ada di depannya itu.     

"Gue bisa coba sendiri," ucap Arka memundurkan kakinya. Bukannya apa, ia hanya tak ingin orang yang melihatnya memikiran hal buruk perihal Arka Aditya dan sahabatnya, Davira Faranisa.     

Gadis yang masih kokoh dengan posisinya itu kini sigap menarik kembali ujung sepatu sahabatnya itu. Kasar melepas ikatan yang kuat menyatukan kaki milik Arka dengan sepasang sepatu convers kemudian melepaskannya dengan hati-hati. Menggantinya dengan satu sepatu baru yang ia pilih beberapa waktu lalu. Mengabaikan si sahabat yang terus saja mengerutu sebab aksi Davira kali ini benar-benar tak disetujui oleh dirinya.     

"Tuh 'kan cocok," tukas gadis berambut panjang yang rapi ia ikat separuhnya itu dengan nada antusias. Kemudian sigap bangkit dan mengelap tangannya dengan apa-apa saja yang ada di sekitarnya saat ini.     

"Beli itu," perintahnya kemudian. Menujuk ujung sepatu berwarna abu-abu yang sukses mencuri perhatian Davira kala gadis itu pertama kali masuk dan datang berkunjung.     

"Beneran yang ini?" tanya Arka memastikan. Melirik sejenak sepatu yang dipilihkan sahabatnya itu kemudian menganggukkan kepalanya tegas.     

"Dan coba ke sini sebentar," ucap remaja jangkung yang kini melepas paksa sepatu baru yang dipilihkan untuknya. Memilih kembali memakai sepatu lama miliknya dan membawa dengan tangan kosong barang yang dipilihkan Davira baru saja itu.     

"Coba yang itu," tunjuknya pada sepasang sepatu yang indah menghias etalase utama bagian rak di sisi ruangan.     

Davira menoleh. Menatap remaja yang kini sigap menarik pergelangan tangannya untuk membawa tubuh gadis itu datang mendekat ke arah posisi yang baru saja ditunjuknya itu.     

"Coba," ulangnya kini meletakkan kasar sepatu dalam genggamannya kemudian menuntun gadis yang masih diam sembari terus menatap aktivitas yang dilakukan oleh sahabatnya itu dengan tatapan aneh penuh tanda tanya.     

"Kenapa liatin gue kayak gitu? Ada yang salah di muka gue?" Tunjuk Arka pada dirinya sendiri. Menoleh pada cermin kecil yang ada di sisinya untuk memastikan bahwa tak ada yang salah nan aneh di atas paras tampan miliknya saat ini.     

"Jujur! Lo punya pacar 'kan?" tanya Davira dengan menyipitkan sejenak kedua matanya. Memberi tatapan penuh makna pada remaja yang sesaat terdiam sebab pertanyaan dari Davira ... terlalu ngawur!     

"K—kenapa gue harus punya pacar? Gue 'kan punya lo?" timpalnya sedikit memprotes. Alasan yang tak masuk akal jikalau Davira menanyakan itu hanya perihal sikap manis dan penuh perhatian yang ditunjukkan Arka siang ini pada Davira, sebab kalau diingat dengan baik ini bukan kali pertama Arka bersikap hangat seperti ini. Memeluk, menggandeng, merangkul, bahkan memberi sandaran dan mengusap air mata serta merawat Davira kala gadis itu sedang sakit adalah hal biasa nan wajib dilakukannya pada gadis yang sudah lama menjabat sebagai sahabatnya itu.     

"Lo mau beliin sepatu buat dia dan nyuruh gue yang nyoba 'kan?" sahut gadis bermata bulat dengan lensa hitam teduh itu sembari memincingkan satu sisi matanya. Terdiam sejenak untuk menunggu jawaban dari remaja yang berjongkok sembari sedikit mendongak untuk memberi balasan tatap mata padanya.     

Arka tertawa ringan. "Hm, gue mau kasih ini ke pacar gue." Arka kini mengubah arah sorot lensa teduh miliknya. Melepas sepatu yang dikenakan oleh gadis di depannya itu dengan hati-hati kemudian menggantinya dengan sepasang sepatu yang baru saja ia pilihkan untuk Davira.     

"Jadi lo harus bantuin gue buat liat ini cocok buat dia apa gak," tukas Arka menyambung kalimatnya.     

Davira bungkam. Tak mengubah kesan sorot matanya yang terus saja menatap seluruh aktivitas yang dilakukan Arka padanya. Davira bersyukur! Sekali lagi, ia sangat bersyukur. Semesta mau menyisakan satu orang baik yang terus berusaha menjaga dan berada di sisinya hingga dewasa ini. Tak pernah membuatnya berubah atau berpaling dari Davira apapun situasi dan kondisi gadis itu saat ini. Mencintai Arka sebagai seorang sahabat yang tak akan pernah rela dan mau sahabatnya hilang ditelan waktu dan takdir semesta adalah rasa yang paling indah yang ia miliki saat ini.     

"Lo beneran punya pacar?" tanya Davira melirihkan nada bicaranya. Membuat remaja yang baru saja sukses memasangkan sepatu untuk Davira sigap mendongakkan kepalanya untuk menatap paras gadis yang ada di depannya itu.     

"Kenapa ekspresi lo begitu? Jangan bilang lo cemburu?" kekeh Arka mengacak puncak kepala gadis yang duduk rapi di depannya. Kemudian kembali menunduk dan menatap sepatu yang sudah melekat di kaki Davira.     

"Lo suka sama sepatunya?" tanya Arka dengan nada ringan.     

Davira diam sejenak. Menatap sepatu yang kini menghias di atas kakinya. Indah, warna-warna yang menjadi penyusun keindahan sepatu itu sangat sempurna dan pas. Gadis itu kini mengangguk. "Bagus."     

"Ngomong-ngomong kenapa tanya gue? Katanya 'kan buat—"     

"Selera cewek pasti sama." Arka menyahut. Memotong kalimat dari gadis yang baru saja ingin memprotes kalimat darinya. Bangkit dan kembali menenteng sepatu basket yang dipilihkan Davira untuknya tadi.     

"Lepas sepatunya, kita bayar sekalian sama ini."     

***LnP***     

Menunggu antrian yang panjangnya bak kasih ibu, tak terkira sepanjang masa adalah aktivitas yang dilakukan oleh Davira saat ini. Bukan ia yang mengantri, namun Arka. Toh juga, yang butuh membeli sepatu untuknya dari sang kekasih yang masih misterius nama dan rupanya juga kebutuhan dari Arka sendiri 'kan? Jadi jangan salahkan Davira kalau ia hanya berduduk santai sembari menyandarkan tubuhnya pada dinding kaca sekat bangunan toko untuk menunggu Arka kembali.     

"Datang ke sini sama Arka?" sela seseorang menyela aktivitas gadis itu. Membuatnya menoleh dan memberi tatapan tak percaya bahwa ia akan bertemu dengan Adam Liandra Kin di sini, untuk kedua kalinya? Ah yang benar saja!     

"Hm, kamu kok bisa tau aku—"     

"Bukankah sudah jelas." Adam menyela. Melirik langkah sepasang kaki jenjang yang tegas mengarah pada posisi keduanya.     

"Arka minta ditemenin—" Davira menghentikan kalimatnya. Menggelengkan cepat kepalanya kala tersadar bahwa ia tak perlu melakukannya. Menjelaskan alasannya datang kemari hanya berdua saja dengan Arka bak sepasang kekasih yang sedang menikmati akhir pekan bersama.     

"Gak ada tempat lain yang bisa lo kunjungin selain di sini?" Arka menyahut. Menyela posisi keduanya dan berdiri tepat di depan Adam Liandra Kin.     

Remaja jangkung yang selalu terlihat keren dengan hoodie gelapnya itu kini terkekeh kecil. Sejenak menunduk untuk menyembunyikan lengkungan bibir di atas paras tampan miliknya.     

"Ini tempat umum 'kan?"     

"Lo ngikutin kita?" sahut Arka mengabaikan pertanyaan dari Adam.     

Adam menggeleng. Sejenak melirik Davira yang bungkam tak bersuara sekarang ini. "Ini tempat umum," jawab Adam singkat.     

"Bukankah udah jelas kalau lo ngikutin kita?"     

"Ini tempat umum," tukas Adam mengulang kalimatnya.     

Gadis di belakang Arka kini mendesah kasar. Berdecak ringan kemudian mulai berlalu dan melangkah pergi. Meninggalkan dua remaja aneh yang terus saja berdebat hanya pasal hal-hal kecil tak berguna seperti tadi.     

"Ah, mereka mulai lagi!"     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.