LUDUS & PRAGMA

92. Pasal Sepatu



92. Pasal Sepatu

0Hanya bisa diam sembari terus menatap kepulan asap mie ayam yang dipesannya beberapa waktu lalu selepas hujan turun menghentikan niat keduanya untuk segera pulang dan kembali ke rumah. Memang semesta terkadang suka seenak jidatnya sendiri dengan mengubah takdir cuaca yang sedang terjadi. Jikalau diingat dengan benar, sesaat sebelum Arka dan Davira memutuskan untuk masuk ke dalam bangunan mal dan menghabiskan waktu mereka tak begitu lama untuk mencari apa-apa yang diperlukan Arka Aditya, cuaca sedang bagus-bagusnya dengan langit cerah dan semburat awan putih bersih yang tegas indah menghias angkasa. Sinar sang surya pun bisa dikatakan baik dan sangat baik dengan sengatan panas yang membakar kulit, hanya butuh tak genap satu putaran penuh jarum panjang menyusuri angka-angka yang tersusun rapi mengelilingi bulatan jam kecil di pergelangan tangan Davira, semesta mengubah mood-nya! Menjadikan mendung dan hujan ber-frekuensi sedang tegas menghantam kasarnya permukaan bumi sekarang ini. Menjadikan beberapa aktivitas manusia ceroboh terhenti sebab tak sempat membawa atau mempersiapkan payung dan jas hujan guna memenuhi pepatah kuno yang berbunyi. "Sedia payung sebelum hujan."     
0

Itulah kebodohan yang dilakukan Arka juga sang sahabat yang tak henti-hentinya memberikan umpatan gila pada hujan yang sedang turun saat ini. Membuatnya terjebak dan memilih mengisi perut di sebuah warung kecil sisi bangunan mal. Mie ayam untuk Davira dan mie bakso untuk Arka Aditya. Ada satu mangkuk lagi, bakso tanpa sambal yang tak lagi mengepulkan asap sebab si tuan pemilik tak kunjung menyetuh dan memakannya. Mangkuk bakso milik Adam Liandra Kin.     

Persetanan gila memang terjebak hujan dengan dua remaja aneh yang terus saling padang dalam diam. Seakan mereka ingin memakan satu sama lain bersama semangkuk menu khas kesukaannya anak-anak Indonesia yang mereka pesan beberapa waktu lalu.     

Tak mau banyak acuh dan memikirkan tingkah konyol yang ada di antara dua remaja setara tinggi itu, Davira kini mulai mengaduk dan menggulung mie yang ada di dalam mangkuk. Menyeruputnya perlahan kemudian mengunyah dengan lembut untuk mendorong makanan itu masuk ke dalam lambungnya.     

"Ngomong-ngomong ini buat lo," sela Arka mendorong kotak kardus yang ada di sisinya.     

Dalam ingatan gadis yang kini sejenak menghentikan aktivitas makannya itu, isi dari kotak yang disodorkan Arka padanya adalah tak lain tak bukan sepasang sepatu yang dipilihkannya tadi. Tunggu, ada dua kotak yang identik warna dan bentuknya! Kotak yang satu adalah kotak tempat sepatu basket remaja itu berada. Kotak yang satunya lagi adalah tempat sepatu indah yang dilihat Davira disimpan. Arka menyerahkan sepatu basket untuknya? Ah, tak mungkin. Lalu ia memberikan sepatu indah itu pada Davira? Ah, tak mungkin juga! Mengingat remaja itu mengatakan bahwa sepatu yang dicobanya tadi adalah untuk sang kekasih misterius. Jadi untuk memastikan gadis itu membukanya.     

"Ini 'kan buat pacar lo," tutur gadis itu lembut. Mengambil satu sisi sepatu yang ada di dalam kotak kemudian menunjukkannya pada Arka.     

Remaja yang baru saja sukses memasukkan bakso ke dalam mulutnya itu hanya tersenyum ringan. Kembali mengunyah untuk menghancurkan dan menelan makanan yang ada di dalam mulutnya saat ini.     

"Ambil aja." Arka menjawab dengan singkat. Sejenak melirik gadis yang ada di sisinya.     

"Buat pacar lo," pungkas Davira menutup kalimatnya kemudian mengembalikan sepatu itu ke dalam kotak.     

"Lo 'kan pacar gue." Arka kembali menimpali. Kalimat singkat yang baru saja diucapkannya barusan itu sukses untuk membuat Adam menghentikan aktivitas makannya. Mendongak cepat untuk menatap Davira yang kini menghentikan sejenak aktivitasnya kemudian membalas tatapan yang diberikan Adam teruntuk dirinya.     

"Sejak kapan dia jadi pacar lo?" Bukan Davira yang menyahut, sebab gadis itu memilih diam sesaat setelah mengembalikan sepatu yang diambilnya barusan. Berpura-pura tak mendengar apapun dan melanjutkan aktivitas makannya saat ini.     

"Dia selalu ada di sisi gue, begitu juga sebaliknya. Bahkan kita pernah tinggal berdua dalam satu rumah. Bukankah itu cukup untuk mengatakan bahwa dia adalah pacar gue?"     

"Kenapa lo tinggal satu rumah bareng dia? Lo gak punya rumah?"     

Arka kini menghentikan aktivitasnya. Meletakkan garpu yang ada di dalam genggamannya kemudian tegas memberi tatapan pada remaja yang masih dalam keadaan santai nan tenang meskipun ia baru saja memprovokasi Arka dan memulai pertengkaran dengan remaja itu.     

"Karena kita berjodoh," sahutnya dengan senyum manis yang merekah di atas bibir milik remaja jangkung berponi naik itu.     

"Dan dia? Dia juga berpikir begitu?" tanya Adam enggan mengalah pada remaja sebaya yang duduk rapi di depannya itu.     

"Kenapa lo jadi tertarik dengan apa yang terjadi di antara kita. Bukankah lo di sini adalah pihak yang paling tersakiti? Davira gak pengen lo di sini dan—"     

"Kamu gak pengen aku di sini?" Adam menyela kalimat Arka. Menatap gadis yang kini kembali harus menghentikan aktivitasnya sebab Adam melibatkannya ke dalam pertengkaran konyol mereka berdua.     

Bukankah tadi itu hanya masalah sepele? Perihal sepatu yang harganya tak seberapa mereka sudah beradu mulut dengan kalimat-kalimat konyol untuk membenarkan dan mengangungkan posisi mereka saat ini.     

"Kalau kamu gak nyaman aku akan pergi." Adam melanjutkan. Kali ini sukses membuat sepasang mata Davira membulat sempurna.     

--harus apa dia sekarang ini? Jika dirunut dengan benar bagaimana perasaannya kala Adam datang dan ikut bergabung di sini, bisa dikatakan dengan jelas bahwa Davira ... lega. Entah lega macam apa yang dirasakannya saat ini. Yang jelas, ia hanya sangat lega.     

"Dia diem aja artinya dia gak suka lo ada di sini," sahut Arka kala gadis yang dilontari pertanyaan hanya bungkam tak mampu bersuara apapun lagi saat ini.     

"Bisakah kalian membiarkan aku makan dengan tenang?" Jawaban yang tepat! Tak terkesan membela atau memberatkan satu sisi. Davira hanya ingin berdiri di tengah-tengah saat ini.     

"Arka, ambil balik sepatunya dan cepet habisin mienya jangan cuma dimakan baksonya doang, kenapa gak pesen bakso aja tadi?" gerutu gadis itu sembari mendorong kasar kotak sepatu yang ada di sisinya. Mendekatkannya pada sang sahabat yang hanya diam sembari menatap paras gadis yang jelas mulai jengkel padanya. Namun, ekspresi seperti itu membuat Davira terlihat lucu dan menggemaskan.     

"Dan Adam! Makan aja apa yang ada di depan kamu sekarang. Baksonya udah dingin. Kalau mau pulang, pulang setelah baksonya habis!" tukas gadis itu tak mengubah nada bicara yang terdengar lucu dan mengemaskan, akan tetapi bagi Davira ia sedang benar-benar dongkol kali ini.     

"Dan biarkan aku menghabiskan ini, sebentar lagi hujan selesai." Gadis itu menutup kalimatnya dengan nada melunak. Menghela napasnya kasar kemudian kembali menatap satu persatu remaja yang baru saja dibuat bungkam olehnya.     

"Aku gak tau masalah kalian itu— ah, pokoknya makan aja." Davira kini benar-benar bungkam. Tak ingin lagi menatap paras dua remaja yang masih diam sembari menujukan sentral lensa pekatnya pada paras cantik milik Davira.     

"Lo denger sendiri 'kan, ambil balik sepatunya!" Adam mengulurkan tangannya. Mendorong kotak sepatu di depannya agar berposisi lebih jauh lagi Davira.     

Arka yang baru saja ingin melanjukan aktivitas makannya untuk menuruti apa kata Davira barusan itu terhenti. Kembali meletakkan gulungan mie yang ada di ujung garpu besi di dalam genggamannya. Menatap Adam yang jelas melempar senyum picik untuk remaja sebaya yang ada di depannya.     

"Bukan urusan lo, ck!" Arka kasar menampik tangan panjang dengan urat yang menjadi pertanda bahwa Adam adalah remaja jantan yang hobi berolahraga untuk membentuk otot-otot dan menurunkan lemak yang ada di dalam tubuhnya.     

"Jadi urusan gue kalau lo maksa dan mengusik cewek gue," gerutu Adam dengan nada kesal.     

"Cewek lo? Dam, bangun!" sentak Arka mengetukkan ujung sendok yang ada di dalam genggaman tangan kanannya kemudian menujuk Adam dengan tiba-tiba. Membuat remaja jangkung di depannya itu sejenak tersentak sebab jikalau ia tak memundurkan wajahnya ke belakang, ujung sendok kotor yang baru saja beradu dengan gumpalan mie bercampur bakso dan kuah cokelat pekat berasa manis itu bisa saja mengenai permukaan hidung mancung miliknya.     

"Cuma lo yang tergila-gila sama sahabat gue, dia ... dia gak suka sama lo," tukas Arka mempersingkat.     

Remaja di depannya kini menyeringai samai. Ikut meletakkan garpu yang baru saja menusuk permukaan bakso besar di dalam mangkok itu dengan kasar. Menciptakan dentuman nyaring kala permukaan besi beradu dengan mulut mangkok yang masih terisi penuh sebab si tuan pemilik tak kunjung menyatapnya. Bagaimana mau disantap kalau pertengkaran selalu saja terjadi di antara mereka berdua hanya sebab hal-hal kecil?     

"Lo sendiri? Lo bohong sama gue kalau lo gak pernah nyatain perasaan sama Davira sebab lo malu karena ditolak mentah-mentah sama dia 'kan?" kekeh Adam memberi ejekan pada remaja yang kini membulatkan matanya sebab kalimat mengejutkan yang bisa saja membuat harga dirinya turun saat ini.     

"Lo udah temenan sama dia bertahun-tahun, tapi belum bisa meluluhkan hatinya? Wah! Gue bener-bener turut berduka atas penolakan itu, Ka." Adam menyambung. Belum puas dengan kalimat ejekan yang baru saja dilontarkannya, remaja itu kini terkekeh ringan.     

"Lo sendiri? Lo nglakuin apapun buat dia sampek ninggalin mama lo yang sedang sakit Cuma buat nemuin Davira tapi cinta lo ditolak dengan alasan lo adalah laki-laki brengsek?" Arka membalas dengan tawa ringan untuk mengimbangi kekehan dari Adam yang baru saja terhenti sebab kalimat yang didengarnya barusan.     

"Wah! Gue turut berduka karena itu, Dam!" balasnya menutup kalimat dengan senyum seringai.     

"Haruskah kita berantem kayak waktu itu sekarang?" Adam menyela. Menatap tajam remaja yang ada di depannya bak seekor elang yang sedang membidik mangsa di udara.     

"Ayo. Siapa—"     

"Kenapa kalian selalu begini, sih! Karena apa kalian—"     

"Karena kamu!" "Karena lo!" jawab keduanya bersamaan. Memotong kalimat gadis yang baru saja ingin memprotes aksi konyol dua remaja itu untuk yang kesekian kalinya.     

"Maksud aku, karena—"     

"Kita selesaikan makannya dan pulang ke rumah masing-masing. Aku akan naik taksi!" tutur Davira sejenak menatap Adam kemudian mengalihkan tatapannya untuk Arka.     

"Gak, gue gak—"     

"Gara-gara lo kan, Ka!" Adam menyela.     

"Kok gue. Lo yang dari tadi bikin masalah!"     

--Ck, dua remaja sialan ini!--     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.