LUDUS & PRAGMA

94. Pengawal Hari Yang Buruk



94. Pengawal Hari Yang Buruk

0Bus melaju dengan kecepatan sedang membelah ramai dan padatnya jalanan kota. Membawa puluhan penumpang dengan arah tujuan yang sama namun tempat singgah yang berbeda. Dua remaja berseragam sama sudah duduk rapi di bangku kedua dari belakang. diawasi oleh sepasang lensa mata setajam elang yang sedang membidik mangsanya saat ini. Adam Liandra Kin.     
0

Pupus sudah harapannya untuk bisa duduk bersama dalam himpit posisi tak ada celah antara dirinya dengan Davira seperti kala ia mengajak gadis itu untuk menjenguk sang mama beberapa hari lalu. Datangnya ia ke kawasan rumah Davira dengan menaikki taksi yang dipesannya pagi-pagi buta hanya untuk memastikan bahwa gadis itu baik-baik saja sebab perpisahannya dengan si gadis kemarin sore menjelang senja tak bisa dikatakan baik dan pantas. Juga, Adam ingin membiaskan diri dengan berangkat bersama calon kekasih. Jadi, bisa ditegaskan bahwa remaja itu berdusta perihal menginap di rumah teman juga perihal moge kesayangannya yang sedang 'sakit' sekarang ini.     

Namun, apa ini? Yang duduk berhimpit dengan menaruh segala kemesraan pada Davira si gadis pujaannya adalah remaja sialan bernama Arka Aditya. Sumpah demi apapun, Adam sudah berjalan sedekat mungkin dengan Davira tadi, namun Arka mendorong tubuh jangkungnya dan membuatnya sedikit tersungkur ke bangku di depannya. Mau tak mau, akhirnya ia merelakannya. Merelakan Davira duduk bersama dengan remaja sialan yang sudah membuat hatinya dongkol saat ini.     

Jika bukan di dalam bus dan bukan sedang mengenakan seragam sekolah, ia pasti sudah membuat wajah Arka babak belur untuk keduanya kalinya.     

"Ambil," ucap Arka memecah keheningan. Membuat gadis yang sedari tadi membuang tatapannya jauh ke luar jendela bus kini menoleh padanya. Melirik sejenak wajah sang sahabat kemudian memfokuskan sorot lensa teduhnya pada secarik kertas identik bentuk, warna, dan isinya seperti yang diberikan Adam beberapa waktu lalu untuknya.     

"Tiket VIP?" lirihnya berucap.     

Arka menganggukkan kepalanya ringan. "Ambil. Lo bisa datang besok rabu tanpa bayar dan tanpa ngantri. Lo bisa langsung masuk," katanya menerangkan singkat.     

Davira diam. Melirik Adam yang duduk di belakangnya untuk memastikan bahwa remaja itu tak sedang memperhatikan apa yang dilakukan Arka untuknya. Namun, mustahil! Adam dengan jelas melihat dan mampu mengakses pemandangan yang ada di depannya saat ini.     

"Dia udah punya." Adam menyela. Melirik sekilas pemberian Arka kemudian menatap sang remaja yang menoleh tegas ke arahnya.     

"Lo juga lihat 'kan kalau gue ngasih dia tiket tadi," sambungnya meneruskan. Memutar bola matanya malas sebab Arka terlalu berbasa-basi kali ini.     

"Justru karena itu, gue ngasih dia."     

Adam diam. Sejenak mengerutkan dahinya untuk mencoba menerka apa yang dimaksud oleh remaja jangking berponi naik itu.     

"Karena dia pasti pengen datang tapi cuma ada tiket dari lo, jadi gue ngasih—"     

"Lo bisa berhenti untuk jadi orang sok tahu? Dia emang sahabat lo, tapi dia bukan anak lo 'kan?     

"Dia nganggep gue jadi pengganti orang—"     

"Kalian gak bisa diem?" Davira kali ini menyela. Menyahut dengan kasar tiket yang ada di dalam genggaman tangan Arka kemudian menunjukkannya pada dua remaja yang kini diam bungkam tak lagi mampu bersuara.     

"Gue dan aku bakalan nyimpen ini juga!" tukas gadis itu sembari melipat tiket dan memasukkannya ke dalam saku tas punggung yang ada di atas pangkuannya.     

"Puas?"     

Arka tersenyum. Mengacak puncak kepala gadis yang kini mendengus kesal sebab tingkah menyebalkan dari sahabatnya itu.     

Kemarin pasal sepatu, sekarang hanya pasal tiket mereka mau bertengkar dan membuat Davira turun dari bus sekarang juga?     

"Bisa gak lo gak usah kasar sama cewek gue!" Adam kini menarik kasar tangan Arka. Menampiknya dengan kasar agar ia sedikit menjauh dari Davira saat ini.     

"Dia bukan cewek lo!"     

"Bukan juga cewek lo!"     

"Dia bukan—"     

"Sekali lagi kalian bertengkar, aku turun." Gadis itu kembali menyela. Mengembuskan napasnya kasar kemudian berdecak untuk mengakhiri kalimatnya.     

***LnP***     

Langkah keduanya tegas membelah trotar jalanan untuk sampai ke gerbang sekolah tempat mereka akan menimba ilmu pagi ini. Tak banyak suara yang tercipta untuk memecah keheningan yang ada. Davira terus menatap jalanan yang ada di depannya. Sedangkan Arka sesekali mencuri pandang untuk menatap paras sang sahabat yang semakin terlihat lebih cantik setiap harinya. Untuk Adam? Tentu ia berjalan di belakang sembari terus mengawasi apa-apa yang menjadi gerak gerik mencurigakan remaja sialan bernama Arka Aditya.     

"Kenapa lo gak bawa motor?" Davira kini menyela. Sadar akan aktivitas Arka yang terus saja menatap wajahnya dari samping.     

"Karena lo gak mau bareng sama gue."     

"Gue bilang gue pengen sendirian," sahut Davira melirih.     

"Makanya gue ngikutin lo diem-diem." Arka tertawa kecil nan singkat. Lagi-lagi mengusap kasar puncak kepala gadis yang berjalan di sisinya itu.     

"Lo emang suka rese begini?" Adam menyahut menyela langkah dan posisi keduanya. Menerobos di tengah-tengah jarak bercelah sempit yang diciptakan oleh Arka juga Davira Faranisa.     

"Bukannya lo pagi ini ada rapat sama ketua osis? Lo gak mau ke sana?" Arka menimpali. Mencoba membuat hama satu itu menyingkir dari hadapannya saat itu juga.     

"Aku pergi dulu." Mengabaikan kalimat dari Arka Aditnya, remaja di depannya hanya menoleh pada gadis yang kini terdiam tak berucap atau memberi respon apapun pada remaja jangkung yang kini tersenyum kuda sembari melambaikan tangannya ringan, kemudian berbalik dan melangkah pergi meninggalkan Davira juga si sahabat sialan itu di sana.     

Davira kini menghela napasnya kasar. Menatap sendu kepergian remaja jangkung yang kini mulai hilang ditelan oleh keramaian para siswa siswi berseragam sama dengannya.     

"Lo kecewa dia pergi?" Lagi-lagi Arka menyela. Membuyarkan sentral lensa teduh milik Davira yang sedari tadi terpusat jauh ke depan.     

Gadis itu menoleh. Menggeleng ringan sembari tersenyum tipis kemudian. "Kenapa lo nglakuin itu?"     

Arka diam. Memincingkan matanya tajam sembari sejenak mengerutkan keningnya samar. Melakukan apa? Ia tak sedang melakukan apapun sekarang? Hanya berjalan seirama dengan gadis setinggi bahunya itu. Sesekali menatap dan memandangi paras cantik miliknya juga tersenyum ringan untuk mengekspresikan betapa terpesonanya ia pada paras jelita sang sahabat. Ataukah yang dimaksud Davira barusan adalah sebab ia mengusir Adam?     

"Di dalam bus, ngasih tiket." Davira mengimbuhkan singkat. Berbicara dengan nada lirih dan melunak.     

"Karena gue emang mau ngasih lo itu."     

"Di depan Adam?" Davira menyahut. Menatap paras remaja yang kini lagi-lagi mengunci rapat bibirnya sembari memberi tatapan penuh makna pada sang sahabat.     

Dari ekspresi wajah Davira Faranisa, ia sedikit kecewa saat ini.     

"Kenapa emangnya? Lo keberatan?" tanya remaja itu menghentikan sejenak langkahnya.     

Davira menggeleng. "Gue cuma nyaman."     

Arka menghela napasnya berat. Kembali berjalan kala gadis yang diharap untuk ikut berhenti mengimbangi aktivitasnya itu tak kunjung peka. Tetap pada langkah ringan dengan melipat kedua tangannya rapi di atas perut datar miliknya.     

"Ngomong-ngomong soal sepatu ...."     

"Jangan dibahas. Lo bisa jual lagi kalau gak suka."     

"Gue tau lo datang kemaren malam, tapi—"     

"Lo gak turun?" Arka menyela. Melirik sekilas gadis yang kini menganggukkan kepalanya samar.     

"Gue buka email lama gue karena ... entahlah, gue pengen buka aja." Davira menghentikan sejenak kalimatnya. Berbelok di depan gerbang sekolah untuk masuk ke dalam halaman sekolah yang tentunya sudah berisi banyak siswa dan siswi yang berlalu lalang di depannya.     

"Ada spam email yang masuk."     

"Lo diteror?" Arka kini meninggikan nada bicaranya. Membuat gadis yang tadinya berbicara dengan nada santai sedikit tersentak sebab suara berat nan tinggi itu baru saja masuk menerobos ke dalam lubang telinganya.     

"Dari Larisa." Ia memungkaskan kalimatnya kemudian. Sukses membuat remaja di sisinya terdiam sembari mengubah ekspresi sendu. Nama tak asing yang disebut oleh Davira kini membuat otaknya kembali dipaksa untuk berjalan kembali pada sebuah masa di mana belum ada Adam, Davina, dunia basket, bahkan belum ada seragam putih yang apik dipadukan dengan bawahan abu-abu untuk menandakan indahnya masa sekolah menengah atas dimulai.     

"Awalnya dia hanya menanyaiku kabar. Aku bosan membacanya, jadi aku membuka email yang paling akhir masuk ...."     

"Langsung ke pointnya," sela Arka memaksa. Membuat gadis yang ada di sisinya menoleh sembari sejenak membulatkan matanya dan menaikkan sepasang alis cokelat tipis melengkung bulan sabit miliknya.     

"Dia meminta tolong dan meminta saran." Davira kembali membuka suaranya. Dengan kalimat singkat itu, Arka menarik pergelangan tangan gadis yang ada di sisinya. Menahan tubuhnya agar tak lagi melangkah untuk meneruskan perjalanan mereka sampai ke dalam ruang kelas yang ada di ujung lorong.     

"Tentang apa?"     

"Lo menyesal?" Davira menyela. Mengabaikan pertanyaan singkat dari remaja jangkung yang kini tajam membidikkan mata tajam miliknya untuk Davira Faranisa.     

"Katakan, tentang apa?" ulang Arka memberi penekanan.     

"Dia hanya bilang, dia akan mengatakannya kalau aku membalas pesannya. Tapi pesan itu sudah lama dan—"     

"Lo bales itu?"     

Gadis bersuarai pekat itu menganggukkan kepalanya ringan. Mengerang lirih untuk memberi respon pada remaja yang semakin kuat mencengkram pergelengan tangan milik Davira.     

"Apa katanya?"     

"Arka, itu pesan kurang lebihnya satu tahun yang lalu. Jadi, bisa aja alamat email Risa udah gak aktif lagi," tukas Davira mencoba memberi pengertian.     

"Kalaupun masih aktif, aku juga akan menunggunya." Davira memungkas kalimatnya dengan nada lirih. Membuat cengkraman kuat remaja yang ada di depannya itu perlahan melunak. Menundukkan pandangannya kemudian menghela napasnya ringan.     

"Dia pasti gak berani buat ngirim pesan ke lo. Jadi, gue adalah harapan satu-satunya. Dia mungkin tahu setelah sepuluh atau dua puluh pesan yang gak gue bales bahwa email itu udah gak pernah gue pakek lagi. Tapi, dia memaksa. Karena gue adalah satu-satunya bala bantuan buat dia." Davira kembali menerangkan. Mencoba menerka maksud dan tujuan gadis yang hidup di masa lalunya itu mengirimunya pesan hingga terhitung ribuan spam pesan yang masuk ke dalam alamat emailnya.     

"Dia masih di Lodon?"     

Davira menggeleng. "Entahlah. Gue pun gak tahu."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.