LUDUS & PRAGMA

95. Ketika Hati Yang Berbicara



95. Ketika Hati Yang Berbicara

0Langkah keduanya tegas membelah hijaunya lapangan rumput yang ada di sisi halaman sekolah. Mengabaikan beberapa pasang mata yang tegas menatap ke arah keduanya sekarang ini. Bukan Adam Liandra bersama Kayla Jovanka, ataupun Adam bersama Davira Faranisa. Akan tetapi Adam bersama dengan Davina Fradella Putri. Bukan tanpa alasan yang jelas keduanya kini berjalan beriringan, namun sebab gadis yang hanya setinggi telinga Adam itu sudah berbaik hati menemaninya datang ke rapat osis untuk membicarakan segala persiapan pertandingan yang akan dihadapinya dua hari lagi. Jadi tak ada salahnya 'kan kalau kembali ke dalam ruang basket dengan berjalan menyusuri lapangan dan lorong sekolah secara beriringan? Tentu, tidak akan menjadi masalah besar untuk Adam maupun Davina. Namun, tidak untuk gadis yang terus menatap suasana akrab yang diciptakan oleh keduanya.     
0

Naas memang nasib Davira Faranisa barusan. Niat hati hanya ingin membuang sampah yang sudah memenuhi loker mejanya di tempat sampah depan kelas, ia malah disuguhkan dengan sebuah pemandangan mengejutkan yang kalau dilihat dengan cermat dan teliti, pemandangan itu benar-benar membuat hatinya sumpek kali ini.     

"Kayaknya lo kecewa banget?" sela seseorang membuyarkan fokus Davira. Menarik perhatian gadis berambut pekat yang kini menoleh padanya.     

"Lo yakin ini adalah pertama kali mereka bertemu? Adam dan Davina terlihat akrab," sambungnya menuturkan dengan kalimat lembut. Sejenak tersenyum untuk menutup kalimatnya.     

Davira –gadis yang baru dilontari kalimat singkat olehnya— kembali memutar kepalanya. Tak mau acuh pada keberadaan gadis sebaya dengannya yang sumpah demi apapun, Davira membenci kedatangannya saat ini     

"Bisa lo pergi dari sini?" pinta gadis itu dengan nada lirih. Menghela napasnya kasar untuk mengekespresikan betapa marahnya ia sekarang.     

"Temen deket lo suka sama cowok yang lagi deket sama lo, dan sekarang lo ngeliat dia lagi jalan sama—"     

Srek! Langkah kaki kasar tercipta kala Davira menarik kasar kerah baju lawan bicara yang baru saja ingin memungkaskan kalimatnya. Mencengkramnya erat sembari memberi tatapan tajam bak seorang singa yang sedang membidik mangsanya.     

Seluruh pasang mata yang ada di sekitar mereka kini menoleh. Memusatkan sentral retina mereka pada dua gadis cantik yang sedang beradu tatapan dalam diam saat ini. Davira semakin kuat mencengkram kerah baju Kayla. Membuat gadis bermata kucing itu mulai berekasi kala sesak ia rasakan di atas permukaan lehernya.     

"Gue bilang pergi. Kenapa lo gak ngerti juga?" tutur Davira dengan nada lirih. Mengabaikan seluruh pasang mata yang sedang memberi fokus pada aksi yang dilakukannya saat ini.     

"Kenapa lo jadi suka ganggu gue?" lanjut Davira tersenyum miring. Semakin kuat tangan kirinya mengepal. Seakan-akan segera ingin memberi bogem mentah pada gadis berkuncir kuda di depannya itu.     

"Lo mau pukul dia kayak seorang preman?!" Arka menyela. Datang dan mencengkram kuat pergelengan tangan sang sahabat. Mencoba menahan agar Davira tak melakukan hal konyol yang bisa membahayakan reputasinya saat ini.     

"Lo mau nonjok dia dan dicap sebagai premannya sekolah?" Arka melanjutkan. Kalimat singkatnya barusan itu sukses untuk membuat cengkraman Davira melunak. Melepas kasar dengan mendorong tubuh ramping Kayla hingga membuat gadis itu sedikit terdorong ke belakang.     

"Kalo lo coba urusin hidup dan hubungan gue lagi, itu akan sangat berbahaya buat wajah cantik lo!" Davira memungkaskan kalimatnya dengan memberi penekanan di bagian akhir. Sejenak menatap Arka yang hanya diam sembari mengangguk-anggukkan kepalanya untuk memberi isyarat pada Davira bahwa ia bisa pergi dan kembali ke dalam kelasnya.     

"Lo terlihat lebih khawatir dari sebelumnya." Kayla menyahut. Tersenyum picik di akhir kalimat sembari memusatkan tatapannya untuk gadis yang kini kembali memutar tubuhnya dan berniat untuk kembali mendekat pada Kayla. Akan tetapi, tubuh jangkung Arka menghandang langkahnya. Berdiri tepat di sela-sela kedua gadis yang sedang mencoba untuk memulai pertengkaran saat ini.     

"Lo bisa pergi sekarang," ucap remaja bertubuh jangkung itu pada Kayla.     

Gadis yang diberi perintah hanya tersenyum. Sejenak terkekeh kecil untuk mengekspresikan betapa lucunya suasana yang sedang terjadi saat ini.     

"Gue nyuruh lo pergi bukan ketawa," tukasnya dengan nada ringan.     

"Lo lebih khawatir dari Davira rupanya. Membela dan melindunginya saat ini gak akan dia berpaling untuk melihat ke arah lo."     

Persetanan gila gadis berwajah oriental satu ini!     

"Gue lebih khawatir sama lo, Kay." Arka menyahut. Ikut tersenyum untuk mengimbangi lengkung bibir milik gadis yang kini tegas mengubah ekspresinya. Mengerutkan samar keningnya kemudian mengerutkan perlahan sudut mata kucing yang dimilikkinya.     

"Hati lo terlalu sakit untuk diajak berbicara pasal sopan santun."     

"Lo bisa pergi, datang ke sini setelah berhasil menyembuhkan hati lo sendiri." Arka menutup kalimatnya. Menarik pergelangan tangan sang sahabat kemudian 'menyeret' tubuh Davira untuk kembali masuk ke dalam ke dalam kelas meninggalkan semua yang masih diam mematung sembari menonton adegan yang baru saja diperankanya bersama dua gadis bodoh tak paham tempat, situasi, dan kondisi.     

***LnP***     

"Kenapa melakukan hal bodoh kayak tadi di depan umum? Apa yang bakalan mereka pikirkan tentang—" Ucapan Arka terhenti. Menatap gadis yang kini mulai menyibukkan diri mengemas barang-barang yang berserak di atas mejanya.     

"Itu 'kan barang-barang gue?" tanya Arka meletakkan ujung jari telunjuknya untuk menujuk segala aktivitas yang dilakukan oleh sahabatnya sekarang.     

"Habis ini lo pergi 'kan? Jadi gue bantu beresin." Davira menimpali dengan nada santai. Tak mau menoleh atau sejenak melirik Arka yang kini diam sembari sedikit memiringkan kepalanya untuk bisa menatap perubahan raut wajah cantik milik Davira.     

"Lo beneran khawatir," ucap Arka melirih.     

"Khawatir kalau Adam akan jatuh hati sama Dav—"     

"Bisa lo bawa barang-barang lo pergi sekarang karena gue mau ngerjain tugas sebentar lagi?" dengus gadis bermata bulat itu mulai kesal.     

"Lo kesel karena Adam—"     

"Gue kesel karena lo cerewet banget hari ini!" bentak Davira menyita seluruh perhatian teman sebaya yang juga ikut serta menghuni dalam ruang kelas tempatnya dan Arka Aditya berada.     

"Bisa lo pergi sekarang?" pinta gadis itu dengan nada melirih. Membuat remaja yang ada di depannya itu kini hanyab bisa menganggukkan kepalanya dan menuruti segala perintah yang dikatakan oleh Davira.     

Tubuh jangkungnya berputar. Setelah meraih tas yang diberikan Davira untuknya, ia berlalu. Berjalan keluar dari dalam kelas dengan langkah ringan tanpa sebuah salam perpisahan yang berarti.     

Sahabatnya kembali berbohong. Bukan pasal perasaannya yang mulai luluh pada Adam, namun pasal semburat ke khawatiran yang ada di dalam diri gadis itu saat ini. Arka mengenal Davira dengan baik. Bahkan dari cara gadis itu menatap pun, ia paham benar apa yang sedang dirasa oleh sahabatnya itu sekarang. Perihal sebuah kekhawatiran dan keraguan yang kini bercampur menjadi satu dalam sebuah harapan yang mulai tumbuh teruntuk remaja laki-laki yang dulu dikata brengsek dan sangat mengganggu dalam hidup Davira.     

--dan kekhawatiran itu ada sebab si teman dekat yang juga menaruh harapan sama besarnya pada laki-laki yang sama pula.     

"Arka lo mau—"     

"Lo tau Adam suka Davira?" Remaja yang baru saja dilontarkan kalimat rumpang itu menyela. Menghentikan langkah gadis cantik yang baru saja berpapas dengannya di jalanan lorong sekolah.     

Davina terhenti. Sejenak membulatkan matanya kala pertanyaan tiba-tiba tak berdasar itu dilontarkan jelas oleh Arka untuknya.     

"Maksud lo?" tuturnya ikut memberi pertanyaan.     

Arka memutar tubuh jangkungnya. Menghadap si gadis bermata kacang almond yang baru saja mengerutkan dahinya samar.     

"Lo tau Adam suka Davira?" ulang Arka dengan sedikit memberi penekanan di bagian akhir kalimat tanyanya.     

Davina terdiam sejenak. Menelisik arti tatapan yang baru saja ditujukan padanya oleh Arka Aditya.     

"Hm," erangnya mengangguk ringan.     

"Dan lo nurutin semua kalimat Kayla sekarang?" lanjut Arka mulai mengintrogasi.     

"Apa maksud lo dengan ngomong—" Davina menghentikan kalimatnya sendiri kala tersadar sesuatu yang mengganjal dalam hatinya saat ini. Arka ... mendengar semua percakapannya dengan Kayla?     

"Hm, gue denger." Arka kembali membuka suaranya. Memberikan kalimat acak yang sukses menebak apa-apa yang sedang dipikirkan gadis bertubuh tinggi nan ramping di depannya itu.     

Davina kini tersenyum miring. Selangkah memajukan posisi agar sedikit lebih dekat dengan posisi Arka Aditya.     

"Bahkan Davira yang mencintai Adam, gue juga sadar akan hal itu."     

Arka menyipitkan matanya sejenak. "Jangan bilang lo udah ngaku ke Davira kalau lo juga—"     

"Kayla bener, memendam semuanya sendiri tak akan mengubah apapun," sahut Davina lagi-lagi mengakhiri kalimat dengan senyum manis yang mengembang di atas paras cantiknya.     

"Lo temen deket Davira bukan Kayla," protes Arka mendengus kesal.     

"Dan Davira adalah temen deket gue tapi dia membiarkan Adam masuk ke dalam hidupnya. Mengubah perasaan dan memberi harapan untuk Adam juga dirinya sendiri, lo sebut dia sebagai gadis yang baik?" tutur Davina dengan nada meninggi.     

Arka diam sejenak. Menelisik perubahan ekspresi yang ditunjukan oleh lawan bicaranya itu sekarang. "Lo sendiri?" tanya Arka mempersingkat.     

"Lo adalah gadis yang baik?" sambung remaja itu mengimbuhkan.     

Gadis di depannya kini tertawa ringan. Pertanyaan yang lucu? Sedikit untuk Davina.     

"Dan lo? Lo adalah sahabat yang baik buat dia?"     

Arka menggeleng. "Gue sahabat yang menyedihkan lebih tepatnya. Selalu ada untuk Davira bertahun-tahun lamanya, namun gue dikalahkan oleh seorang remaja brengsek yang baru ditemuinya beberapa bulan terakhir. Pengakuan cinta gue juga ditolak mentah-mentah sama Davira ... dan sekarang, dia mulai berubah menjauh dari gue," ucap Arka menerangkan. Membuat tawa ringan milik Davina kini berhenti. Berubah menjadi sebuah ekspresi kaku dengan tatapan mata tajam bak elang yang sedang membidik mangsanya.     

"Tapi setidaknya gue gak menyimpan pisau yang diberikan musuh untuk menusuk sahabat gue sendiri. Itu bedanya kita," pungkas Arka menutup kalimatnya. Menepuk kasar pundak gadis yang kini hanya diam mematung sembari sesekali mendengus untuk mengekspresikan betapa jengkel hatinya saat ini.     

"Kalau Davira jadian sama Adam dan dia pergi ninggalin lo, lo gak papa?" Davina kembali menyela langkah remaja yang kini kembali terhenti dan memutar tubuh jangkungnya.     

"Lo pasti takut juga 'kan?" sambungnya asal menebak.     

Arka tersenyum simpul. "Yang paling gue takutin adalah Davira punya temen deket kayak lo."     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.