LUDUS & PRAGMA

96. Aku Mencintaimu, Juga



96. Aku Mencintaimu, Juga

0"Kita bisa pergi bareng setelah ini," tukas gadis yang berdiri di sisi Adam memberikan usulannya. Menyela beberapa kalimat yang dilontarkan oleh semua penghuni ruangan untuk berlomba-lomba memberikan saran terbaik mereka kali ini.     
0

"Tokonya satu arah sama rumah gue, toh juga gue pulang gak ada yang jemput. Jadi kita bisa naik bus atau taksi untuk ke sana." Gadis itu melanjutkan. Menatap remaja jangkung berponi belah tengah yang kini sejenak terdiam sembari sejenak menatap satu persatu sebagian timnya yang masih bersisa di dalam ruangan. Separuh timnya lagi? Tentu sedang menjemput lelah di tengah panasnya yang sedang menyengat sore ini.     

Tak ada pilihan lain! Mengirim Davina sendiri untuk memesan semua keperluan tim sebagai bekal mereka bertanding dua hari lagi adalah sebuah tindakan konyol tak bertanggung jawab sebagai seorang pemimpin tim basket. Jadi dengan sedikit keraguan, Adam menganggukkan kepalanya.     

"Kita pergi sekarang, keburu petang." Adam bangkit dari tempat duduknya kemudian mengemasi barang-barangnya dan memakai jaket hitam miliknya. Sejenak menatap situasi yang sedang ada di dalam ruangan kemudian melirik jam dinding di sudut ruangan.     

"Bilang sama Arka untuk mengakhiri latihan jam setengah lima. Tiga puluh menit rileksasi dan rehat lalu kalian boleh pulang. Laporkan apapun jika terjadi sesuatu, kalian mengerti?" ucap Adam memberikan perintah dan interuksi.     

Sangat keren! Dengan paras tampan dan tubuh sekekar seorang altet dengan jiwa kepemimpinan tinggi, membuat Adam benar-benar berkharisma saat ini.     

"Kita berangkat."     

Davina yang baru saja ingin masuk ke dalam dunia imajinasinya pasal Adam Liandra Kini itu sejenak membulatkan matanya kemudian sigap mengangguk dan menarik tas punggung miliknya yang ia letakkan di atas meja sisi ruangan.     

***LnP***     

Minimarket di sisi bangunan sekolah adalah tempat singgah yang menjadi tujuan sementara dua remaja yang kini berjalan masuk beriring tanpa ragu sedikitpun. Davina yang mengajak remaja jangkung itu masuk ke dalam guna membeli beberapa camilan dan minuman ringan untuknya di rumah nanti. Menurut tanpa ada bantahan yang diucapkan oleh remaja jangkung yang kini terus berjalan mengekori setiap langkah ringan yang diciptakan oleh gadis setinggi telinganya itu. Menuju ke sebuah almari pendingin yang menyimpan puluhan minuman botol juga kaleng untuk mengambil teh manis kemasan botol kesukaan Davina.     

"Lo mau juga?" tanya Davina menawarkan. Sedikit memiringkan kepalanya untuk memberi celah pada Adam agar bisa memilih apa yang ingin ia beli sore ini.     

"Lo suka soda?" tukasnya kala Adam mengambil satu kaleng soda di dalam jajaran minuman dingin serupa.     

Adam menggeleng. "Seseorang selalu membeli ini kalau pulang, gue penasaran rasanya."     

Seseorang? Untuk Adam, 'seseorang' itu pastilah Davira Faranisa.     

"Gue ambil itu juga kalau gitu." Davina kembali meletakkan teh botol yang ada di dalam genggamannya kemudian menukarnya dengan minuman soda berkaleng yang sama seperti milik Adam Liandra Kin.     

"Gak baik buat kesehatan lo kalau lo gak kebiasa minum—" Kalimat Adam tersela dengan aktivitas Davina yang tiba-tiba saja mengulurkan tangannya naik untuk mengambil sesuatu yang ada di atas rambut pekat milik Adam. Sebab tingginya tak sama, Davina sedikit berjinjit. Memajukkan satu langkah kakinya untuk bisa mendekat dan menjangkau tinggi milik Adam Liandra Kin.     

Naas! Ia tersungkur sebab keseimbangannya tak bisa dikontrolnya sekarang. Ambruk ke depan dengan Adam yang sigap menerima tubuh ramping milik Davina Fradella Putri.     

--dan mereka, berpelukan di tempat umum! Bukan sebuah adegan romantis yang sengaja disetting oleh sutradara untuk mempermanis film yang dibuatnya, namun sebuah adegan tak disengaja yang sumpah demi apapun, membuat Davina kini bisa merasakan perlukan hangat dari seorang Adam Liandra Kin. Meskipun adalah sebuah adegan respon yang diberikan Adam untuk menolongnya agar tak jatuh tersungkur di atas lantai, namun tetap saja 'kan kalau itu adalah sebuah pelukan darinya?     

"Oh! Davira!" Davina menyela keheningan yang ada kala perawakan gadis yang tak asing untuknya tiba-tiba saja muncul. Membuat Adam sontak melepas pelukannya dan memutar tubuh jangkung miliknya. Menatap gadis yang kini tegas berjalan maju ke arahnya.     

"Sejak kapan lo ada di dalam sini?" tanya Davina kala sang gadis sudah dekat posisi dan berdiri di depan Adam. Sejenak mendongak sebab Adam terlalu tinggi untuknya.     

"Minggir, aku mau ambil minuman."     

Adam yang tadinya hanya terdiam mematung bak balok es itu kini mulai menepi. Memberi celah pada Davira agar bisa dengan bebasnya memilih apa-apa saja yang diinginkannya. Dalam tebakan Adam itu pasti minuman soda berkaleng seperti yang ada di dalam genggamannya saat ini.     

"Ini 'kan tempat umum." Davira kini menyahut untuk membalas pertanyaan dari si teman dekat.     

"Kalian aja yang salah tempat." Gadis itu mengimbuhkan. Mengambil dua kaleng soda kemudian kembali menutup pintu kaca dan memutar tubuhnya.     

"Kenapa ambil dua? Minum soda terlalu banya—"     

"Kalau kalian memang sedang dimabuk cinta, setidaknya pilihlah tempat yang lebih elegant." Davira menyela kalimat remaja jangkung yang berdiri di sisinya. Meliriknya sejenak kemudian menoleh untuk menatap Davina yang masih diam sembari tersenyum ramah pada Davira.     

"Pihak perempuan yang akan dirugikan kalau orang dewasa lihat tingkah kalian," ucapnya menutup kalimat dengan senyum tipis yang terkesan dipaksakan. Kemudian menepuk ringan pundak Davina dan berlalu pergi meninggalkan keduanya. Toh juga untuk apa Davira tetap berada di sana? Untuk lebih dalam melukai hatinya sendiri?     

"Davira!" panggil Davina menyela langkah si teman dekat.     

"Sorry," lirihnya berucap.     

"Lo emang brengsek, Dav!"—tidak Davira tak akan mengatakan hal bodoh nan konyol seperti itu sekarang ini. Hanya saja, ia sedang mengumpat habis-habisan dalam hati saat ini.     

"Untuk apa minta maaf sama gue? Lo gak salah apapun," tuturnya kembali melangkah. Mengabaikan Adam yang hanya diam tak mampu berkata banyak di sana. Seakan menegaskan bahwa remaja itu masih saja brengsek dengan ketidak berdayaannya kala gadis cantik sedang berada di sisinya saat ini.     

***LnP***     

Bagaimana bisa semesta mengatur sebuah adegan menyebalkan dengan tingkat kecanggungan yang luar biasa tingginya? Sialan memang semesta itu!     

Duduk berjajar dengan posisi Adam yang menjadi pembatas antara Davira juga Davina adalah posisi duduk yang diambil oleh ketiga remaja sebaya usia namun tak setara tinggi itu untuk menunggu datangnya bus kota yang akan membawa tubuh mereka pergi ke tujuan masing-masing. Untuk Davira, ia akan pulang ke rumahnya setelah ini. Dengan sebuah tanda besar yang terbesit di dalam benaknya, bahwa ia sedang dilanda rasa penasaran kali ini. Perihal mau ke mana Davina dan Adam selepas ini? Mereka akan menghabiskan senja bersama dan Adam akan menghantar Davina pulang ke rumahnya?     

"Lo habis ini mau pulang?" tanya Davina sembari sedikit mencondongkan badannya untuk bisa menatap paras Davira yang duduk sedikit jauh darinya.     

Gadis yang dilontari pertanyaan melepas ringan earphone yang menyumbat telinganya. Menoleh pada Davina yang kini tersenyum ringan untuknya kemudian menganggukkan kepalanya ringan.     

"Lo sekarang jadi jarang pulang sama Arka," sambungnya.     

"Lo adalah anggota official basket, jadi gak perlu gue jelasin 'kan?" tutur Davira dengan nada malas.     

"Kenapa lo jadi cuek banget sama gue?" protes Davina pada gadis yang kini kembali memusatkan tatapannya jauh ke depan. Kembali mengabaikan si teman dekat yang jujur saja, sore ini Davina terkesan begitu menyebalkan untuknya. Mungkinkah itu sebab Adam?     

"Pastikan untuk datang dengan tiket aku," sela Adam sukses membuat dua gadis yang duduk rapi di sisinya itu menoleh bersamaan. Untuk Davira, ia menoleh sebab memastikan bahwa Adam sedang mengajaknya berbicara saat ini. Namun untuk Davina, ia menoleh sebab tak percaya bahwa Adam benar-benar memberikan tiketnya untuk Davira Faranisa bukan Kayla Jovanka seperti dalam tebakannya.     

"Aku gak akan da—"     

"Haruskah aku jemput kamu?" tanya Adam lagi-lagi menyela. Membuat gadis yang tadinya menoleh itu kini kembali membuang tatapannya jauh ke depan.     

"Kita hanya akan pergi ke toko swalayan dekat rumah Davina, setelah itu aku akan pulang." Adam lagi-lagi melanjutkan kalimatnya kala yang di ajak berbicara hanya diam tak mengubris sedikit pun.     

--Haruskah menjelaskan itu? Itulah yang ada di dalam benak gadis berponi tipis yang kini menghela napasnya kasar kala mendengar Adam mulai merendahkan hatinya untuk menjelaskan pada sang gadis pujaan bahwa tak ada hal istimewa yang terjadi antara dirinya dengan Adam Liandra Kin.     

"Aku gak meluk Davina, dia jatuh dan—"     

"Apa aku terlihat perlu mendengarkan itu?" Davira kini menyahut. Menoleh pada remaja yang duduk sedikit jauh dari posisinya saat ini.     

"Apa aku terlihat peduli sekarang?" lanjutnya mengimbuhkan. Membuat Adam sedikit bereaksi sebab ia tak menyangka bahwa gadis cantik pujaan hatinya itu akan menjawab dan merespon seperti itu.     

"Ah! Kalian menyebalkan!" gerutunya bangkit dari tempat duduk kemudian membenarkan posisi seragamnya dan kembali memasang earphone untuk menyumbat telinganya kemudian berlalu pergi meninggalkan halte bus juga Adam dan Davina di sana.     

"Davira, kamu mau ke mana? Busnya belum—"     

"Bukan urusan kamu. Jangan ikut campur," tukas gadis itu memotong kalimat milik Adam dan berlalu pergi menjauh dari sana.     

Semua orang menyebalkan! Bagi Davira semua yang ditemuinya bersama Adam itu menyebalkan!     

"Davina," panggil Adam lirih. Bangkit dari posisi duduknya kemudian menoleh pada gadis yang kini sejenak mengubah ekspresi wajahnya.     

"Lo bisa pergi sendiri ke—"     

"Hm, kejar aja dia." Davina menyela. Bodoh! Memang bodoh dirinya itu! Bagaimana bisa ia mengatakan itu dan membiarkan Adam pergi meninggalkan dirinya sendirian saat ini? Bukankah ia seharusnya mencegah dan mengatakan bahwa ia tak bisa melakukannya tanpa Adam?     

Ah, mengapa ia sebodoh itu? Kini ia lagi-lagi kalah sebelum maju ke dalam medan perang. Merelakan hadiah terbesar yang bisa saja didapatnya hari ini untuk diajak berkeliling kota dengan ribuan alasan yang sudah disusunnya dengan baik sebelum ini. Akan tetapi, sebab kebodohannya yang tak mampu mengutarakan isi hatinya sebab takut Adam menjauhinya itu, ia melepaskan remaja itu pergi. Menatap dengan satu punggung lebarnya yang kini semakin jauh menyusul keberadaan gadis pujaannya, Davira Faranisa.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.