LUDUS & PRAGMA

97. Pertandingan Yang Sesungguhnya



97. Pertandingan Yang Sesungguhnya

0Gadis bersurai pekat itu kini tegas menatap kerumunan orang asing yang ada di depannya. Saling bersua juga bersama dalam canda dengan sedikit tawa lepas di antara mereka.     
0

Kesepian! Itulah mungkin dipikirkan oleh mereka-mereka yang melihat seorang gadis duduk termenung di bawah pohon ringin dengan bangku panjang yang menjadi tumpuhan untuknya tak menyentuh kotornya tanah. Sesekali melirik jam kecil yang melingkar di pergelangan tangannya kemudian kembali mendongak dan menengok ke kanan serta ke kiri untuk menyudahi kegundahannya dalam hati. Bukan menunggu Davina, melainkan ia menunggu sang sahabat yang katanya akan datang menjemput untuk membawa Davira masuk ke dalam stadion pertandingan.     

Tepat! Hari di mana Adam akan menjemput kemenangan bersama timnya jikalau ia beruntung kali ini. Mengalahkan lawan yang konon katanya adalah si rajanya juara.     

"Sendirian?" tanya seseorang menyela diamnya. Membuat gadis yang tadinya memusatkan tatapannya ke arah kanan, kini menoleh. Suaranya sedikit asing!     

"Candra?" lirih Davira berucap kala perawakan tubuh krempeng berseragam biru tua dengan corak putih di atas dadanya itu datang menghalau pemandangannya.     

Remaja dengan potong rambut cepak itu tersenyum ringan. Menganggukkan kepalanya kemudian mengambil satu sisi kosong di dekat gadis yang kini sedikit bergeser untuk memberinya celah agar Candra tak terlalu dekat dengannya.     

"Nunggu Arka atau nunggu Adam? Atau dua-duanya?" tanya si remaja dengan senyum kuda yang mengakhiri rentetan kalimat tanya teruntuk Davira Faranisa.     

"Arka." Davira menyahut dengan nada lirih. Tersenyum kaku kemudian kembali menoleh agar tak lagi menatap paras standar tak tampan milik Candra Gilang.     

"Dia lagi sama Adam. Ngurus sesuatu, sebentar lagi pasti—"     

"Gue tahu," sela Davira dengan nada sedikit ketus. Membuat remaja yang duduk di sisinya tiba-tiba saja bungkam tak bersuara lagi selepas nada aneh sedikit dingin didengarnya barusan.     

"Lo suka sama Adam?" tanya Candra tiba-tiba.     

Davira menoleh. Mengerutkan samar dan menyipitkan sejenak sepasang mata bulatnya. Sejak kapan Candra peduli akan hal itu?     

"Adam kayaknya suka sama lo," sambungnya mengimbuhkan.     

"Bukan urusan lo," jawab Davira semakin ketus.     

"Gue tau dari Kay—"     

"Bisa lo pergi dari sini? Gue lagi pengen sendiri." Gadis itu kembali menyela. Memotong kalimat remaja yang kini hanya diam sembari mengangguk-angukkan kepalanya mengerti. Ternyata benar, Davira itu gadis yang dingin dan tak acuh.     

"Gue pamit kalau gitu."     

Tak ada respon dari Davira. Gadis itu hanya diam sembari menatap lurus jalanan serta keramaian yang ada di depannya. Bukan membenci Candra sebenarnya, sebab jikalau ditelisik dengan benar ini adalah kali pertama mereka berbincang dengan suasana santai layaknya seorang teman yang ada di dalam satu kelas yang sama. Davira membenci bahasan dan topik yang dipilih Candra untuk mengajaknya berbincang sore ini.     

Davira menghela napasnya sesaat setelah remaja berkaos biru dengan celana pendek yang jatuh tepat di atas lututnya itu melangkah pergi. Punggung lebarnya menghilang ditelan keramaian para pengujung yang akan masuk ke dalam stadion sebab 15 menit lagi, pertandingan di mulai. Namun, Arka tak kunjung datang dan menjemputnya.     

Davira ingat betul akan janji remaja itu beberapa jam yang lalu. Mengatakan pada Davira bahwa ia hanya perlu datang dari rumah dengan menggunakan bus yang sama. Berhenti di halte ke empat dan berjalan tak jauh dari sana. Duduk di bawah pohon ringin besar untuk menunggunya datang menjemput sebab Arka tak bisa benar menemaninya dari awal perjalanan.     

Remaja itu adalah anggota tim yang akan berperang, jadi ia harus mempersiapkan ini itu untuk mantap maju dan menggugurkan lawannya.     

"Kenapa lo ngusir Candra?" Lagi-lagi seseorang menyela. Membuat gadis yang baru saja menyentralkan fokus lensanya untuk menatap layar ponsel dalam genggamannya itu kemudian mendongak. Menatap perawakan kurus tinggi seorang gadis bermata kucing yang tersenyum ringan untuknya.     

Ah, dari sekian banyaknya manusia yang menghuni bulatnya bumi, mengapa harus gadis jalang ini?     

"Candra bukan tipe orang yang pergi jika baru saja datang dan berbicara dengan orang lain," tukasnya menjelaskan maksudnya bertanya seperti sebelumnya.     

Davira mendesah kasar. Kembali menatap layar ponsel yang ada di dalam genggamannya dan tak mau acuh pada keberadaan Kayla di depannya.     

"Lo mengabaikan gue?" tanya Kayla sedikit menunduk. Mencoba untuk mencari celah agar bisa kembali menarik perhatian gadis yang masih duduk rapi di depannya.     

Davira bungkam. Mengunci rapat bibirnya sebab ia enggan berbicara kali ini. Menanggapi Kayla Jovanka tak akan membuahkan hasil yang menguntungkan dirinya saat ini. Davira Faranisa adalah tipe orang yang benci melakukan hal-bal bodoh dan tak berguna. Seperti menanggapi dan mengajak berbicara Kayla misalnya.     

"Adam adalah calon pacar gue," tukasnya kembali membuka suara.     

Gadis yang dilontari kalimat masih diam. Meskipun sejenak sempat menghentikan aktivitasnya, namun kini ia kembali melanjutkan segala gerak jari jemarinya yang luwes berselancar untuk mengotak atik isi ponsel.     

"Jadi lo harus jauhin dia sekarang. Jangan berharap untuk bisa datang ke sini dengan tiket yang Adam berikan."     

"Ah, gadis sialan," umpat Kayla kala yang diajak berbicara benar-benar mengabaikan segala kalimat yang diucapkannya saat ini.     

Sigap jari jemari Kayla menyambar ponsel yang ada di dalam genggaman Davira. Membuat gadis yang tadinya duduk sembari menatap layar ponsel miliknya itu kini merespon. Mendongak cepat sembari berdecak ringan untuk mengekspresikan betapa sialannya gadis bermata kucing ini.     

"Kembaliin selagi gue masih minta dengan baik," ucap Davira lirih.     

Kayla tertawa kecil. "Lo yang mengabaikan gue duluan," tuturnya sembari miring.     

"Karena lo gak penting." Davira bangkit. Berdiri di depan Kayla kemudian sigap menyambar ponselnya agar kembali ke dalam genggamannya lagi.     

"Jauhin Adam," lirih gadis bermata kucing itu kembali mengulang kalimatnya.     

"Gue gak pernah deketin dia," sahut Davira dengan tegas.     

"Lo tau Davina juga suka 'kan sama Adam?"     

"Bukan urusan lo," tukas Davira memiringkan lengkung bibir yang ada di atas paras cantiknya.     

"Lo mau rebut apa yang menjadi kesukaan temen deket lo sendiri? Kalau dipikir-pikir Davina adalah gadis yang lebih dulu menyukai Adam. Jadi, bisa dikatakan lo adalah tukang rebut di sini." Kayla menjelaskan dengan nada meremehkan. Menatap tajam lawan bicaranya yang kini ikut tersenyum mengimbangi gerak bibir milik gadis bermata kucing yang sumpah demi apapun, kehadirannya sangat mengganggu saat ini.     

"Dan lo juga gadis munafik yang menjilat ludah sendiri. Masih ingat dengan apa yang dulu lo katakan tentang Adam?" Kayla melanjutkan. Mengambil satu langkah maju untuk mendekat pada gadis yang kini mengubah eskpresi wajahnya penuh amarah.     

Memang, dirinya memang gadis munafik. Namun apa urusannya dengan Kayla Jovanka? Bahkan mau jadi sebajingan apapun ia sekarang, itu bukan urusan yang bisa diganggu oleh gadis sialan satu ini.     

"Lo bilang Adam brengsek dan suka mainin cewek 'kan?" tukas Kayla mendorong tubuh Davira dengan jatu jari telunjuk yang ia letakkan di atas dada kiri gadis itu     

"Lo juga bilang kalau lo gak akan pernah mau deket dan berbicara sama Adam 'kan?" sambungnya semakin tegas mendorong tubuh gadis yang masih diam tak bergeming untuk membalas semua aksi Kayla yang mulai menyudutkannya. Membuat semua orang di sekeliling mereka kini sejenak memandang dan memusatkan sorot lensa mereka ke arah dua gadis yang sedang berselisih paham sekarang ini.     

Dari kejauhan seseorang menatap segala aktivias yang keduanya lakukan. Adam Liandra Kin dan beberapa teman basketnya. Arka? Tentu ada. Bahkan ia berdiri di barisan paling depan sejajar dengan tubuh jangkung milik Adam Liandra Kin.     

"Bukannya itu Kayla dan sahabat lo 'kan, Ka?" seseorang membuyarkan fokus milik Arka juga Adam.     

Ia melihatnya. Posisi Davira yang semakin terpojok mengarah pada pohon besar yang ada di belakangnya.     

"Haruskah kita pisahkan mereka?" lanjutnya.     

Adam merespon. Mengambil satu langkah maju untuk datang memisah keduanya. Namun, Arka mencegah. Merentangkan tangannya untuk memaksa langkah Adam agar terhenti sekarang juga.     

"Lo mau lihat Davira kenapa-napa? Kayla kalau marah—"     

"Dia gak akan kenapa-napa, karena dia adalah Davira," ucap Arka dengan nada ringan.     

"Lo juga bilang kalau semua cowok yang ada di dunia ini itu brengsek karena papa lo yang juga sama brengseknya 'kan?!"     

PLAK! Satu tamparan sukses mendarat di atas pipi tirus milik Kayla Jovanka. Kini giliran Davira yang berekasi. Memutar tangan Kayla yang sudah membuatnya terdorong sejauh ini. Membuat gadis itu merintih lirih sebab cengkraman kuat tangan milik Davira Faranisa.     

Sigap jari jemarinya meremas kuas kerah baju yang dikenakan oleh gadis bermata kucing itu. Membawa tubuhnya sedikit mundur untuk mengembalikan posisi nyaman milik Davira sebelum ini.     

"Lo lupa apa yang pernah gue katakan dulu?" Davira semakin kuat mencengkram kerah baju milik gadis di depannya. Menyeringai tajam untuk mengekspresikan betapa 'gembiranya' ia kala melihat perubahan ekspresi milik Kayla Jovanka.     

"Lo berurusan sama orang yang salah." Davira kini mengulurkan tangan kirinya. Menarik rambut milik gadis yang kini sejenak membinarkan air mata di sela kelopak matanya. Merintih kala rasa sakit mulai ia rasakan di sisi kepalanya.     

"Davira, stop!" Seseorang menyela dengan dengan suara lantang. Tak dihiraukan olehnya, gadis itu masih kuat dan kokoh dalam posisinya sekarang ini.     

"Lo mau jadi pembuli seperti mereka juga?!" tukasnya sembari berjalan mendekat.     

"Dan menyebabkan seseorang meninggal?" lirihnya kemudian. Membuat tangan gadis yang sekarang berdiri di sisinya itu melunak. Melirik sejenak Arka Aditya yang sigap menarik tubuh ramping milik Davira untuk sedikit menjauh dari Arka.     

Gadis itu menunduk. Menatap ujung sepatunya kemudian menghela napasnya samar. "Maaf tapi gue gak bisa nonton pertandingan ini," ucapnya kemudian sigap berputar. Menatap sekilas Adam yang hanya diam mematung sebab ia masih tak percaya bahwa Davira bisa melakukan hal sekeji itu di depan umum.     

"Gue pergi," pungkasnya menutup kalimat. Melangkah dan pergi menjauh dari kerumunan orang di sekitarnya.     

"Arka lo mau kejar dia? Kita ada pertandingan tiga menit lagi!"     

"Dia sahabat gue, kalian bisa mengeluarkan gue dari tim karena ini," ucap remaja jangkung yang kini mulai ikut melangkah pergi. Meninggalkan timnya dan berlari mengejar sang sahabat yang tentunya ia akan sedikit terkejut sebab ini.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.