LUDUS & PRAGMA

98. Hatiku, Sakit!



98. Hatiku, Sakit!

0Semilir embusan sang bayu kuat membelai helai demi helai rambut gadis yang kini berjalan tegas menyusuri trotoar jalanan untuk sampai ke halte bus yang samar terekam oleh sepasang netra teduh miliknya. Sesekali menghela napas kala tak sengaja tatapannya turun menatap selembar kertas yang menjadi tiketnya masuk ke dalam stadion sebagai tamu VIP yang diberikan kursi nyaman paling depan. Ia menyia-nyiakannya. Sebuah kesempatan yang bisa saja menunjukkan betapa berharapnya Davira pada Adam saat ini. Ya, tiket yang dibawanya bukan atas nama sang sahabat Arka Aditya, melainkan nama pemuda brengsek yang sedang mengusik hatinya belakang ini. Adam Liandra Kin.     
0

"Kenapa ngikuti gue?" selanya dengan nada lirih. Sejenak menoleh ke samping untuk memastikan yang diajak berbicara adalah remaja yang benar tepat dalam dugaannya.     

"Lo 'kan ada tanding." Davira menyambungkan kala yang diajak berbincang hanya diam sembari terus melangkah mengekori dirinya.     

"Lo bisa balik. Gue mau pulang," tukasnya menghela napasnya kasar.     

Davira kini menghentikan langkahnya. Lagi-lagi menghela napasnya kasar kala yang diajak berbicara benar tak menyahut dirinya.     

Gadis itu kini memutar tubuhnya. Menatap perawakan tubuh jangkung yang kini tersenyum aneh kala tatapan mereka bertemu dalam satu titik yang sama.     

"Gue mau nganter lo pulang," jawabnya dengan nada ringan.     

"Balik. Lo bisa dimarahin sama—"     

"Dan ninggalin lo sendiri? Jujur gue merasa bersalah karena ngomong kayak gitu tadi. Jadi, gue anter lo pulang." Arka menjelaskan. Menatap sang sahabat dengan tatapan teduh penuh pengharapan.     

Davira Faranisa kini kembali berjalan. Diikuti oleh sepasang kaki jenjang berperawakan tinggi juga berparas tampan yang kini mencoba untuk mensejajarkan langkah dengan gadis itu. Sesekali menoleh untuk bisa menatap raut wajah sang sahabat yang hanya diam sembari terus menatap jauh ke depan.     

"Lo marah sama gue lagi?" Arka menyahut. Memulai kembali percakapan dengan gadis yang memilih tak banyak bicara kali ini.     

Davira menggeleng ringan. "Buat apa?"     

"Menyinggung soal pembuli dan ...." Remaja jangkung itu kini memungkaskan kalimat rumpangnya. Menghela napas kemudian menggeleng samar kala tersadar bahwa bukan ini waktu yang tepat untuk membicarakan hal semacam itu.     

"Lo mau tau alasan gue gak pernah mau pindah rumah meskipun kenangan buruk ada di dalam sana?" tutur gadis itu dengan nada lembut. Sukses membuat sang sahabat menoleh sembari mengerutkan dahinya samar.     

Benar, alasan itu tak pernah dibicarakan Davira dengannya. Perihal kokohnya pendirian sang gadis pujaan untuk tetap mempertahakan kediamannya meskipun banyak kenangan buruk dengan sang papa di dalam sana. Sebab tak punya banyak uang untuk pindah dan membangun rumah yang lebih mewah lagi? Tentu tidak! Mama Davira atau wanita yang kerap dipanggil Diana itu adalah orang kaya berkelimang harta. Jadi, bukan masalah finansial tentunya.     

Selama ini gadis itu tak mau membicarakan banyak perihal alasannya tetap di rumah itu. Hanya sebuah alasan yang mengatakan bahwa ia sudah terlalu nyaman dengan pemandangannya. Tidak, Arka itu hanya alasan yang digunakannya untuk mengalihkan pembicaraan mereka sebelumnya.     

"Karena Larisa."     

Arka menghentikan sejenak langkahnya kala nama gadis yang tak asing untuknya disebut dengan tegas nan jelas oleh Davira.     

"Saat lo pergi dan pindah rumah ke luar negeri, hanya Larisa yang nemenin gue. Bahkan, dia berusaha untuk masuk ke SMP yang sama dengan gue karena takut gue sendirian. Gue cuma pengen bales itu," terangnya kembali berjalan setelah sesaat terhenti sebab Arka menarik pergelangan tangannya.     

Remaja jangkung berponi naik kini kembali mengekori. Terus menatap paras Davira dalam diam sembari berharap pada gadis yang sama untuk melanjutkan kalimatnya saat ini.     

"Kalau gue pindah rumah, gue takut Larisa gak bisa nemuin gue saat dia butuh gue. Gue cuma gak suka hutang sama orang lain lama-lama." Davira mengimbuhkan. Memicu anggukan kepala dari lawan bicaranya yang kini mulai mengerti dengan cara berpikir gadis di sisinya itu.     

"Tapi lo mengabaikan pesannya," sahut Arka tersenyum ringan.     

"Gue gadis yang buruk 'kan?" kekeh Davira menanggapi kalimat dari sang sahabat.     

Arka mengangguk. Ikut tertawa ringan kemudian melirik selembar tiket yang ada di dalam genggam tangan Davira Faranisa. Tertera nama Adam Liandra Kin jelas di sudut kertas itu membuat Arka yang tadinya tertawa ringan itu kemudian terdiam. Benar dugaanya, kalau sang sahabat akan lebih memilih tiket pemberian Adam ketimbang tiket pemberiannya. Akan tetapi, sepatu yang dikenakan Davira sore ini adalah pemberiannya.     

"Lo memutuskan untuk pergi dengan tiket Adam?" tanya Arka dengan nada melirih. Membuat sang sahabat menoleh kemudian tegas menaikkan sepasang alis bulan sabit miliknya untuk memberi respon pada sang sahabat.     

"Tiket yang lo pegang, ada nama Adam di sana."     

Davira menunduk. "Benar."     

"Dan gue pakek sepatu yang lo kasih," sambungnya tersenyum ringan.     

"Jadi?"     

"Gue berlaku adil. Gue pergi dengan pemberian Adam dan memakai pemberian dari lo. Bukan 'kah itu adil?" tutur Davira dengan nada tegas. Membuat remaja di sisinya kembali tertawa untuk mengekspresikan betapa mengemaskannya raut wajah sang sahabat kali ini.     

"Lo suka Adam?" tanya Arka tiba-tiba.     

Lagi! Sore ini ia mendapat dua pertanyaan yang sama terkait satu makna yang sama pula. Menyukai Adam? Siapa? Dirinya? Jujur saja, Davira tak tahu akan hal itu. Ia sendiri pun tak bisa menentukan perasaan macam apa yang sedang ada di dalam dirinya untuk seorang Adam Liandra Kin kali ini.     

"Menurut lo? Gue gimana sama dia sekarang ini?"     

"Lo bener mau denger pendapat gue?" ucap Arka dengan nada melunak. Gadis di sisinya mengangguk samar. Menatap sang sahabat yang kini tegas menaikkan pusat pandangannya ke atas untuk mencoba memikirkan kalimat seperti apa yang tepat dikatakannya pada Davira sore ini. Tentunya, tanpa harus menyakiti dan merubuhkan harapan yang ada di dalam diri Davira Faranisa.     

"Lo lagi bingung tentang perasaan lo sendiri sekarang," tukas Arka mempersingkat.     

"Kalau lo suka sama dia, akui aja. Jangan menolak," sambungnya menatap Davira.     

"Kalau gue suka Adam ... lo gak papa-papa?" tanya Davira dengan nads sedikit ragu. Sukses menarik pandangan Arka yang kini tegas memberi tatapan lensa pekat miliknya untuk Davira.     

Arka bungkam sejenak. Benar, ia bahkan lupa memikirkan bagaimana perasaannya kalau Davira benar menegaskan harapannya untuk Adam dan menyukai remaja jangkung yang dulu disebutnya sebagai si brengsek tak tahu diri yang suka memainkan perasaan para gadis-gadis cantik.     

"Gue? Kenapa gue? Lo sendiri?" timpal Arka memutar balikkan pertanyaannya.     

"Maksud lo?"     

"Lo tau sendiri kelakukan Adam kayak curut gak tau diri, lo yakin dengan memberikan kepercayaan dan rasa lo buat dia?"     

Davira diam. Menatap remaja yang kini kembali menoleh menatap jalanan luas yang ada di depannya. Mengabaikan perubahan ekspresi milik Davira yang tegas melukiskan wajah kekhawatiran sekarang ini. Arka benar, bagaimana ia menghadapi tentang fakta bahwa Adam adalah remaja brengsek yang suka 'bermain' di atas harapan para gadis teruntuk dirinya?     

***LnP***     

"Gue gak nyangka lo bisa kayak gitu," ucap remaja jangkung berhoodie abu-abu pekat yang kini terduduk rapi di sebuah kursi panjang belakang stadion. Menatap jatuh ke bawah ujung sepatu berwarna senada dengan celana panjang yang dikenakannya sore menjelang petang ini.     

Keringat masih terasa mengalir di selah poni-poni yang masih basah. Meskipun semilir bayu yang berembus sedikit kencang dan cukup untuk menguras habis keringat milik Adam Laindra Kin, namun hawa panas masih begitu terasa memenuhi dalam dirinya.     

"Davira yang—"     

"Gue lihat lo yang mulai." Adam menyela. Membuat gadis yang kini menatapnya sayu kembali terdiam tak mampu berucap apapun lagi.     

Bersalah? Sedikit mungkin. Raut wajah dengan sepasang alis turun dan kerutan di atas keningnya mendandakan bahwa Kayla merasa bersalah pada kekalahan Adam sore ini. Tak ada Arka juga tak ada permainan bagus yang ditunjukkan remaja jangkung itu untuk menghalau lawan dan memasukkan bola ke dalam ring. Adam, tak bisa banyak berkonsentrasi kala bertanding bersama teman-temannya tadi. Jadi, kalah dengan selisih poin yang hanya sedikit tak banyak tentunya adalah hal wajar yang diterima oleh timnya sore ini.     

Bukan sepenuhnya salah Kayla, dalam pendirian gadis itu Adam begitu pasti dengan sebab Davira ada di dalam alasannya. Melihat gadis itu menampar pipi Kayla dengan keras yang menimbulkan bekas memerah di sisi pipi tirusnya juga rasa panas yang masih di rasanya saat ini dan mendengar apa yang dikatakan Arka untuk melunakkan emosi Davira tentunya menjadi beban pikiran yang ada di dalam diri Adam saat ini.     

Selama mendekati Davira, ia pikir bahwa Adam sudah cukup banyak mengetahui tentang rahasia yang ada di balik sikap dingin, tak acuh, dan sok kuat milik gadis pujaannya itu. Akan tetapi, ia salah besar. Masih banyak rahasia masa lampau Davira yang belum ia ketahui hingga sekarang.     

"Apa yang lo mau sekarang?" tanya Adam melirih. Memusatkan tatapannya pada gadis yang kini sejenak terkejut sebab pertanyaan tiba-tiba dari Adam barusan.     

"Gue ... gue mau lo jauhin Dav—"     

"Gue gak bisa." Adam menyela. Memotong kalimat Kayla yang jelas ingin membuat permintaan konyol padanya.     

"Lo bilang sendiri 'kan kalau itu cuma untuk taruhan. Lo mau tiket nonton konser gratis? Gue beliin." Gadis di sisinya sigap menarik tangan remaja yang ada di sisinya. Memohon pada Adam agar ia mau mengerti perasaan dan kekhawatiran yang ada di dalam dirinya saat ini.     

Singkatnya, Kayla Jovanka tak mau Adam hilang.     

"Taruhan cuma alasan gue buat deketin Davira," aku remaja itu dengan nada tegas.     

Kayla menggeleng samar. "Jangan ngomong gitu."     

"Gue suka—"     

"Jangan ngomon gitu!" teriak Kayla mulai menetaskan air matanya.     

"Maaf Kay, gue suka sama Davira."     

Kayla kini menunduk. Deras air mata mulai membasahi pipi tirus miliknya. Hatinya sakit dan dadanya sesak. Pendirian akan harapan untuk Adam hancur sudah sore ini. Semesta memang brengsek dengan tak mau membelanya meskipun ia sedang 'sakit parah' kali ini.     

"Kalau lo keberatan dengan ini ... gue rasa kita gak bisa melanjutkan pertemanan kita." Adam memungkan kalimatnya. Ikut menurunkan tatapan sebab jujur saja, ia merasa bersalah dengan mengatakan ini pada gadis yang sudah sabar menemaninya sebagai seorang teman dekat yang baik.     

... To be Continued ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.